Takbir Idul Fitri dan Misteri Ayat Al-Quran (QS AL BAQARAH: 185)

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: “… dan supaya kalian menyempurnakan bilangan (hari Ramadhan), supaya kalian bertakbir membesarkan asma Allah atas apa yang Dia tunjukkan pada kalian dan mudah-mudahan kalian bersyukur.” (Al-Baqarah: 185)

Ini adalah bagian akhir dari ayat Al-Quran yang dimulai dari firman-Nya:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى

Di sini terdapat tiga ungkapan (frasa), yang masing-masing mengandung perintah: perintah untuk menyempurnakan bilangan hari puasa hingga sebulan penuh, perintah bertakbir pada Allah dan perintah bersyukur pada-Nya.

Coba perhatikan, frasa-frasa di atas bukan kalimat sempurna karena di situ tidak ada subyek-predikat yang memahamkan (مفيد). Berarti, ketiganya harus menjadi bagian dari kalimat sebelumnya. Apalagi dalam frasa tersebut ada kata sambung (waw-‘athaf yang berarti “dan”). Sementara, kalau kita tilik pada bagian sebelumnya dari ayat 185 itu terdapat setidaknya empat kalimat sempurna (“kalam” dalam bahasa Arab). Lantas, ketiga frasa di atas adalah bagian dari kalimat yang mana? Mestinya, menjadi bagian dari kalimat yang paling dekat

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

 Tetapi persoalannya tidak sesederhana itu, seperti akan dikupas nanti.

Bacalah kitab tafsir, dan Anda akan mendapati bahasan yang cukup ramai di antara para ahli tafsir terhadap frasa-frasa di atas. Pasalnya, pilihan redaksi yang dipakai tergolong “tidak lumrah”. Walau begitu, justru pada “ketidak-lumrahan” itulah terletak kehebatan Al-Quran. Seandainya redaksi yang dipakai adalah redaksi yang “biasa”, maka kita tidak akan menemukan keindahan dan kelezatan ketika membacanya. Cobalah Anda baca ayat tersebut dari awal hingga akhir, maka Anda akan merasakan kenyamanan dan kelezatan saat melafalkannya. Selain itu, dalam ketidak-lumrahan tersebut terdapat misteri-misteri makna yang kaya. Kalau redaksinya redaksi biasa, mungkin maknanya hanya tunggal, tidak bersayap.

Di mana letak ketidak-lumrahannya? Coba perhatikan, frasa pertama dan kedua diawali dengan huruf lam, yakni lam illah:  #qè=ÏJò6çGÏ9  dan  #rçŽÉi9x6çGÏ9 . (Lam ‘illah ialah kata yang berfungsi menjelaskan sebab dari frasa lain, sehingga lam itu bisa diterjemahkan dengan “sebab” atau “supaya”.) Sementara pada ungkapan berikutnya digunakan kata لعل  yang berarti “mudah-mudahan”. Penyejajaran (peng-‘athaf-an) lafal-lafal ini saja (antara ungkapan yang didahului dengan “lam ‘illah” dengan yang didahului kata “la’alla”) sudah menimbulkan kesan tidak biasa. Hebatnya, meski tidak biasa, tidak terasa dipaksakan malahan, itu tadi, menimbulkan efek enak pada bunyi: enak didengar dan enak dilafalkan.

Waw-‘Athaf

Ketidak-lumrahan berikutnya ada pada huruf waw-‘athaf (kata sambung yang berarti “dan”) dalam ungkapan pertama (لتكملوا). Para ahli tafsir bertanya, “Waw itu ‘athaf (terhubung) ke mana? Ke kata apa?” Ternyata, tidak mudah untuk memastikan. Ada ahli tafsir yang meng-‘athaf-kannya dengan kata اليسر pada kalimat sebelumnya  يريد الله بكم اليسر. Dengan demikian, maka ungkapan itu harus dianggap berbunyi,  يريد الله بكم اليسر … و يريد أن تكملوا  dan seterusnya (lam di ganti dengan “an” supaya bisa menjadi obyek dari kata kerja “yuriidu”), “Allah menghendaki kemudahan pada kalian … dan menghendaki supaya kalian menyempurnakan bilangan.” Dilihat dari urutan kata, pendapat ini paling bisa diterima karena kedua frasa saling berdekatan meski dipisahkan dengan frasa  ولا يريد بكم العسر. Persoalannya, frasa  لعلكم تشكرون yang masih satu deretan dan juga dihubungkan dengan huruf waw-‘athaf, itu ‘athaf-nya ke mana? Dalam bahasa  Arab tidak mungkin dan tidak boleh kata “la’alla” dijadikan obyek dari kata kerja semacam “yuriidu” itu. (Berbeda dengan lam ‘illah yang dalam logika bahasa Arab bisa diganti dengan “an”, kata “la’lla” tidak bisa diganti dengannya.) Jadi, tidak boleh, misalnya, ada redaksi    يريد لعلكم تشكرون  (Dia menghendaki mudah-mudahan kalian bersyukur). Alhasil, pendapat ini lemah.

Pendapat lain meng-‘athaf-kannya dengan kata-kata yang terbuang (mahdzuf). Menurut mereka, dalam firman itu ada kata yang terbuang, yang bisa dipahami dan disimpulkan dari kalimat sebelumnya – satu hal yang lumrah dalam bahasa Arab. Maka orang boleh saja membayangkan, misalnya, bahwa selengkapnya frasa-frasa itu berbunyi يريد الله بكم اليسر ليسهل عليكم أو لتعلموا ما تعملون   (“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian guna memudahkan kalian” atau “…supaya kalian tahu apa yang kalian perbuat”). Nah, frasa لتكملوا itu ‘athaf (terhubung) dengan frasa ليسهل” atau لتعلموا tadi. Sekali lagi, utak-atik bahasa seperti ini lumrah dalam bahasa Arab asalkan logis, meski sesuatu yang debatable (bisa diperdebatkan). Karena itu, ahli tafsir lain tidak setuju dengan utak-atik demikian. Selain dianggap terlalu mengada-ada, juga karena ada persoalan dari sisi riwayat, sebagaimana akan kita bahas nanti.

Apapun pilihan kita, yang terpenting adalah keberadaan huruf waw itu tidak terasa dipaksakan. Malah justru semakin memperindah bunyi serta menciptakan satu ruang tersendiri untuk kita melakukan eksplorasi dan penelitian mengenai kandungan makna Al-Quran yang terdalam.

Huruf Lam

Ketidak-lumrahan lainnya adalah penggunaan huruf lam itu sendiri. Di satu pihak, itu seperti datang secara tiba-tiba (dalam bahasa Jawa: ujuk-ujuk). Persoalannya, sebagai huruf ‘illat (yang menjelaskan sebab dari ungkapan lain, sehingga bolehlah diartikan “supaya” atau “sebab”), ke mana “lam” itu punya kaitan (ta’alluq)? Para ahli tafsir, seperti Imam Al-Alusi dalam tafsirnya “Ruhul Ma’ani“, berpendapat bahwa kata itu terkait dengan kalimat فمن شهد منكم الشهر فليصمه  dst. di awal ayat. Tetapi masing-masing frasa memiliki kaitan sendiri-sendiri. Frasa لتكملوا  terkait dengan perintah berpuasa secara ada’   (أداء)  dalam bulan Ramadhan  (فمن شهد منكم الشهر فليصمه)  dan secara qadha’  (فعدة من أيام أخر)  — dalam arti, “Kalian Kuperintahkan untuk melaksanakan puasa pada waktunya serta mengqadha’ di hari lain supaya kalian menyempurnakan bilangan hari puasa kalian menjadi sebulan penuh. Dalam hal ini, baik kalian melaksanaannya secara ada’ maupun secara qadha‘ lantaran adanya uzur sakit atau bepergian, dua-duanya memiliki nilai yang sama dari segi barokah dan pahala). Frasa  لتكبروا الله  terkait dengan perintah qadha’  — karena kalian telah diajari tentang bolehnya meng-qadha’ sekaligus tata caranya, maka hendaklah kalian mengagungkan dan memuji asma-Nya. Sedang frasa   لعلكم تشكرون terkait dengan pemberian dispensasi dan kemudahan  (يريد الله بكم اليسر و لا يريد بكم العسر)  — karena kalian sudah diberi dispensansi serta kemudahan dalam beragama, maka hendaklah kalian bersyukur pada-Nya.

Tetapi pendapat lain mengatakan, perintah bertakbir itu tidak ada hubungannya dengan urusan dispensasi yang disebut pada firman sebelumnya – sebagaimana pendapat pertama tadi. Seperti dikatakan oleh Ibnu Katsir, itu murni perintah untuk berzikir pada Allah (dengan mengucap tasbih, tahmid dan takbir) setelah merampungkan satu ibadah. Ini sesuai dengan firman Allah:

فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا

ِArtinya: Maka apabila kalian telah menyelesaikan amal ibadah kalian, sebutlah Allah sebagaimana kalian menyebut bapak-bapak kalian, atau dengan sebutan yang lebih hebat lagi.

Nabi s.a.w. pun selalu ber-tasbih, ber-tahmid dan bertakbir setiap merampungkan salat dan ibadah lainnya.

Ada lagi yang menyebut secara tegas bahwa perintah bertakbir itu adalah takbir (dan tahmid) pada hari raya Idul Fitri. Begitulah pendapat mufassir Al-Qurthubi dan Ibnu Abbas r.a. Kata Ibnu Umar r.a., seperti diriwayatkan Ibnu Jarir, “Adalah suatu tuntutan bagi kaum muslim bila mereka melihat hilal bulan Syawal untuk bertakbir membesarkan asma Allah hingga mereka merampungkan salat Idul Fitri. Sebab, Allah SWT berfirman:

وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: “Dan hendaklah kalian bertakbir membesarkan Allah, dan mudah-mudahan kalian bersyukur.”

Rasulullah SAW sendiri bertakbir pada hari raya. Seperti dituturkan Ibnu Umar r.a., Nabi SAW bertakbir pada hari Idul Fitri dari sejak keluar rumah hingga tiba di mushalla (tempat salat Id).

Pendapat ini cukup indah karena menempatkan frasa  و لتكملوا  sesuai dengan urutannya. Artinya, setelah kalian menyempurnakan bilangan puasa selama sebulan penuh, maka bertakbirlah, sebutlah nama Allah dengan segenap puji-pujian, penyucian dan pengagungan, pada hari raya Idul Fitri.

Takbir adalah perintah yang sudah ada pada wahyu kedua kepada Nabi Muhammad SAW (baca surah Al-Muddatstsir ayat ketiga). Takbir merupakan suatu pengakuan tentang kebesaran Allah sekaligus tentang kekerdilan kita di hadapan-Nya. Di hari lebaran Idul Fitri ini kita bertakbir karena selama bulan Ramadhan kita telah merasakan keagungan-Nya dan merasakan betapa kecil dan kerdil diri kita. Kita bertakbir karena kita telah menemukan berbagai hal yang luar biasa selama Ramadhan. Kita pun bertakbir karena kita telah merampungkan ibadah puasa sebulan penuh berkat kekuatan-Nya. Kita bertakbir pula karena Allah telah memerintahkan kita berpuasa, mengajari kita tentang cara puasa secara qadha’ bila kita ada halangan (sakit atau bepergian). Dan kita bertakbir karena Allah telah memberi kita dispensasi dan kemudahan dalam beribadah, termasuk ibadah puasa.

Hamid Ahmad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Telegram
WhatsApp