TAFSIR SURAH AL-IKHLAS

قال الله تعالى :

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ  اللَّهُ الصَّمَدُ  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.’ ” (QS Al-Ikhlas [112 ]: 1-14).

Surat Al-Ikhlas terdiri dari 4 ayat pendek. Ia termasuk satu dari surah-surah yang turun di Mekah sebelum Nabi SAW berhijrah ke Madinah. Meski pendek bunyi kalimat-kalimatnya, namun surah yang satu ini merupakan pondasi sikap tauhid (pengesaan) terhadap Allah SWT. Sikap tauhid merupakan sikap pemurnian terhadap akidah dan keyakinan, dan oleh karena itu  ia disebut dengan nama Al-Ikhlas. Dengan kata lain, pemurnian akidah dengan mengakui keesaan Allah yang Maha tiada tanding dan tiada banding.

Faktor yang jadi sebab turunnya surah ini adalah ketika orang-orang musyrik berkata kepada Nabi SAW, “Tolong gambarkan tentang Tuhanmu! Apakah Tuhanmu itu dari besi atau dari tembaga?” Maka diturunkanlah surah al-Ikhlas ini sebagai jawaban yang menyucikan Allah dari segala hal yang tak patut bagiNya.

Orang-orang Quraisy yang merupakan masyarakat Nabi SAW adalah kaum musyrik watsani dan amensime. Mereka memiliki sesembahan yang terbuat dari berhala-berhala batu dan kayu. Ini merupakan tradisi turun-temurun meski pun orang Arab sebelum Islam juga sudah mengenal Allah sebagai Pencipta alam semesta. Setelah era Nabi Ismail AS, bangsa Arab tak pernah dituruni ajaran samawi oleh Allah SWT selama ribuan tahun. Mereka pun terjebak dalam kesyirikan hingga turun-temurun sampai datangnya agama tauhid  yaitu Islam di abad 6 M.

Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa surah Al-Ikhlas diturunkan terkait dengan pernyataan dan pertanyaan orang-orang Yahudi kepada Nabi Muhammad SAW, “(Makhluk) ini adalah diciptakan Allah. Lalu siapa yang menciptakan Allah?” Maka turunlah surah Al-Ikhlas. Pendapat ini berasal dari Ibnu Abbas RA.

Menurut tiga pakar tafsir lainnya, yakni Ad-Dhohhak, Qatadah dan Muqatil bahwa orang-orang Yahudi datang kepada Nabi SAW dengan mengatakan, “Tolong gambarkan kepada kami seperti apa Tuhanmu itu, Muhammad! Barangkali nanti kami beriman kepadamu. Sebab Allah telah menyifati diriNya dalam Taurat. Maka tolong gambarkan terdiri dari apa Allah itu? Apakah Dia juga makan dan minum? Lalu siapa pula yang akan menjadi pewarisnya?” Maka turunlah surah Al-Ikhlas.

LIMA PRINSIP KETUHANAN

Dalam surah Al-Ikhlas setidaknya ada lima prinsip ketuhanan yang harus kita pahami. Pertama adalah prinsip bahwa Allah Maha Esa. Itu artinya ketika dikaitkan dengan kalimat tauhid (la ilaha illallah) yang juga disebutkan dalam banyak ayat di Al-Qur’an, maka prinsip yang kita dapat dalam ayat pertama Al-Ikhlas adalah bahwa Allah itu Maha Esa. Tiada tanding, tiada banding dan tiada sekutu bagiNya. Oleh karena itu maka segala macam anggapan, asumsi dan pendapat yang mengarah pada penyekutuan terhadap Allah adalah batil  dan tidak benar.

Menurut beberapa teolog Islam seperti Al-Asy’ari dan al-Maturidi, ada dua tinjauan mengenai pengertian Allah Maha Esa. Pertama, bahwa Allah adalah Subyek Maha Tunggal yang tidak tersusun dari unsur-unsur yang merupakan kesatuan (united). Kedua, bahwa tak ada zat atau subyek lain yang seperti, setara atau sama dengan Allah SWT. Allah tidaklah seperti semesta atau makhluk dengan segala unsurnya.

Dalam ayat قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ  Rasulullah SAW diperintahkan untuk mengatakan “Dialah Allah Yang Maha Esa.” Jika dikaitkan dengan pertanyaan orang-orang musyrik mau pun orang Yahudi terkait ketuhanan, maka ayat ini menyatakan dengan tegas pengukuhan bahwa Dia (Tuhan) tak lain adalah Allah Yang Maha Esa. Ayat ini juga menafikan dugaan-dugaan barnuansa syirik. Bahwa Tuhan dua, Tuhan tiga dan seterusnya adalah batil dan tidak bisa diterima. Penuhanan subyek lain merupakan tindakan penodaan terhadap keesaan Allah SWT.

Prinsip kedua adalah prinsip totalitas bagi eksistensi Allah SWT. Ini bisa kita ambil dari ayat kedua yakni  اللَّهُ الصَّمَدُ  . Kata “Ash-shamad”  berarti “dia yang dituankan dan tertinggi.” Dia yang selalu dibutuhkan dan menjadi tempat pengaduan dan memohon. Allah adalah Subyek yang tak pernah membutuhkan kepada yang lain dan senantiasa dibutuhkan oleh yang lain. Baik yang butuh kepada Allah mengakui atau tidak mengakui, menyadari atau tidak menyadari. Kebutuhan oleh pihak lain yang kebanyakan tidak disadari itu adalah seperti kebutuhkan pada bumi, udara, sinar matahari, makanan, air dan seterusnya. Allah-lah yang menyediakan semua itu, bukan yang lain.

Pandangan sekuler manusia kerap membutakan simpulan dan pengertian bahwa semua yang ada di dunia ini merupakan ciptaan Allah yang disediakan untuk umat manusia. Kebanyakan manusia kurang menyadari akan pemberian Tuhannya. Ciptaan Allah dinikmati dan dikesploitasi, tetapi Allah sebagai Penciptanya dilupakan dan diingkari. Adakah tindakan zalim yang melebihi sikap yang demikian itu? Siapakah selain Allah yang memiliki status tak pernah membutuhkan kepada selain dirinya, sementara dirinya senantiasa dibutuhkan oleh lainnya?

Allah adalah Tuan dari segala tuan. Pemilik dari segala pemilik. Pencipta dan pengatur semesta raya, dari yang micros sampai yang cosmos. Hanya Dia yang berhak dan pantas dituhankan, disucikan, diagungkan dan disembah oleh penduduk semesta. Karena itu makna ash-Shamad adalah tempat menyembah dan tempat meminta. Menyembah Allah pada dasarnya merupakan kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan meminta kepadaNya. Allahlah yang memenuhi segala kebutuhan manusia, dan oleh karena itu maka dialah yang berhak disembah. Yang demikian tiada lain selain Allah SWT.

KEBATILAN TRINITAS

Prinsip ketiga dan keempat adalah bahwa Allah SWT tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Ini juga bagian dari pengertian keesaan Allah. Tak ada apa pun yang timbul dan muncul dari Allah yang merupakan unsur atau bagian dari diriNya. Segala sesuatu selain diriNya adalah ciptaanNya, bukan bagian dari diriNya. Dengan begitu maka tak ada sekutu apa pun bagiNya. Tak ada pula anak atau keturunan bagiNya. Ayat  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ    dengan tegas menolak kesyirikan dengan menyifatkan Dia mempunyai anak. Maha suci Allah sebagaimana pada firmanNya :

وَقَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ بَلْ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ

“Dan mereka berkata, “Allah mempunyai anak.” Maha Suci Allah (dari mempunyai anak). Tetapi justeru milikNya-lah apa yang di langit dan di bumi. Semua tunduk kepadaNya.” (QS Al-Baqarah [2]: 116)

Meski Nabi Isa AS dibekali berbagai mukjizat hingga kemampuan menghidupkan orang mati, tetaplah dia seorang manusia utusan Allah. Beliau dan yang lainnya bukanlah Tuhan. Nabi Isa juga tidak merekomendasikan atau mengajarkan penuhanan dirinya. Nabi Isa juga menyembah Allah SWT. Konsep ketuhanan Isa AS (Jesus) tak pernah bersumber dari Nabi Isa sendiri.  Jika Isa adalah anak Allah, maka niscaya Rasulullah Muhammad SAW juga diperintahkan untuk menyembahnya. Konsep Trinitas adalah batil dan bukan konsep samawi.

Islam datang tidak dengan ajaran baru melainkan melanjutkan ajaran Allah yang pernah diturunkan via Taurat, Mazmur mau pun Injil. Islam hanya meluruskan kembali apa yang sudah dibelokkan oleh elit pemeluk Al-Kitab. Yang mengutus Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa adalah Tuhan yang sama. Jika dalam Al-Qur’an Allah menolak dan memurkai kesyirikan atas DiriNya, bagaimana ajaran syirik seperti menganggap Allah memiliki anak bersumber dariNya?

Jika Allah tidak beranak, maka mustahil pula Ia diperanakkan. Jika Allah adalah anak dari subyek lain, maka berarti Allah itu bermula. Jika Ia bermula maka Ia tidak absolut dan bergantung pada pihak lain. Artinya, ada pihak lain yang seperti Allah yang mendahuluiNya. Tentu konsep ini tidak bisa diterima oleh akal sehat. Allah telah menegaskan status kufur kepada orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah satu dari tiga unsur, atau mengatakan bahwa Allah adalah Jesus (Isa) putera Maryam. Allah SWT berfiman :

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ

“Sungguh benar-benar telah kafir orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah itu Dialah Al-Masih putera Maryam.’” (QS Al-Maidah [5]: 17)

Prinsip kelima adalah bahwa eksistensi Allah tidak sama dengan apa pun atau siapa pun. Kekuasaan Allah bersifat absolut, sedangkan manusia nisbi dan terbatas. Kekuasaan manusia tak lebih dari titipan. Ketika ajal tiba atau kekuasaan itu diambil olehNya, maka tak ada siapa pun yang mampu mempertahankan kekuasaannya. Begitu pula dengan kepemilikan manusia yang bersifat semu. Pada saatnya kepemilikan itu akan berakhir. Allah menciptakan dan manusia hanya mengolah dan menemukan.

Sehebat apa pun manusia menciptakan teknologi canggih, otak cerdasnya berasal dari sperma dan sari makanan yang diciptakan oleh Allah. Manusia tak menciptakan diri mereka sendiri. Manusia hanya menjalani proses biologis yang ditetapkan oleh Allah. Bahan-bahan alam yang menjadi mesin dan alat-alat elektronika, semuanya diciptakan oleh Allah. Oleh karenanya, tak ada apa pun atau siapa pun yang menyerupai apalagi menyamai Allah SWT. Teknologi hanyalah bagian dari sunnah  atau ketetapan Allah yang ditemukan oleh manusia melalui hukum-hukum alam yang juga ditetapkan olehNya.

Allah menciptakan hidup dan mati,  dan makhluklah yang menjalaninya. Manusia bisa membunuh, tetapi Allah-lah yang mematikan obyek yang dibunuh itu. Terkadang kita melihat ada orang yang tertembak, tetapi ternyata dia masih tertolong dan bertahan hidup. Manusia bisa mengobati, tetapi Allah-lah yang memberikan kesembuhan. Banyak pasien diobati dengan pengobatan yang mahal dan canggih, namun nyawanya tetap tidak tertolong. Makhluk itu bermula sedangkan Allah tidak. Makhluk itu berakhir dan Allah tak akan pernah berakhir. Maka tak ada siapa pun yang menyamai Allah.

Allah adalah Subyek Yang Maha Nyata namun juga Maha Abstrak. Akal sehat kita bisa “menemukan” dan memahami eksistensi Allah dari fakta semesta yang merupakan kreasiNya. Secanggih apa pun teknologi manusia, ia tak akan pernah menemukan Allah secara face to face. Ini karena semata-mata Allah belum mengizinkan makhlukNya untuk bisa melihatNya di dunia ini. Wallahu A’lamu bish-shawab….(*) Anshori Huzaemi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Telegram
WhatsApp