TAFSIR INTROSPEKSI HARI ESOK (TAFSIR AL HASYR: 18)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS al-Hasyr 18)
Penjelasan Kata dan Kalimat
Sebagaimana maklum, bahwa seruan Allah dalam al-Qur’an yang ditujukan langsung kepada umat manusia ada yang menggunakan bentuk khitab (orang kedua) dengan kata-kata (Hai, sekalian manusia…) dan ada yang menggunakan kata-kata (Hai, orang-orang yang beriman…). Dalam Ulumul-Qur’an dijelaskan, bahwa bentuk pertama merupakan kebiasaan khitab Allah yang diturunkan ketika Nabi Muhammad SAW belum hijrah (masih di Mekkah) di mana yang hadapi Nabi adalah masyarakat Jahiliyah yang rata-rata belum mengerti ajaran tauhid sama sekali. Dan bentuk kedua dipakai ketika Nabi sudah hijrah ke Madinah, di mana Nabi sudah dikelilingi oleh masyarakat yang sudah beriman, baik dari kalangan sahabat Muhajirin maupun Anshar.
Ayat di atas secara tegas ditujukan (di-khitab-kan) kepada orang-orang mukmin (umat Islam) ketika Nabi sudah berada di Madinah. Ciri dari ayat-ayat Madaniyah (pasca Hijrah Nabi) di samping menggunakan kata-kata (Hai, orang-orang yang beriman…) juga sudah banyak menyangkut persoalan detail ajaran agama. Berbeda dengan ayat-ayat Makkiyah (pra Hijrah Nabi) yang “hanya” mengupas atau mengajarkan pokok-pokok ajaran agama (akidah). Ayat tersebut pada intinya memerintahkan orang-orang mukmin agar senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT dan agar melakukan introspeksi diri (muhasabatun-nafsi) terhadap amal-amal yang sudah dikerjakannya dalam rangka menyiapkan bekal diri untuk hari akhirat.
Ada tiga perintah pada ayat tersebut. Pertama, perintah dengan bentuk kalimat langsung (…bertaqwalah kepada Allah…). Kedua, perintah dengan bentuk kalimat tidak langsung (orang ketiga) yaitu pada kalimat ( …dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah diperbuatnya untuk hari esok….). Ketiga, berupa perintah yang merupakan pengulangan dari perintah pertama yaitu kalimat (…dan bertaqwalah kepada Allah…). Pengulangan ini mempunyai tujuan memperkuat dan menegaskan kembali perintah pertama (taukid).
Namun menurut sebagian ahli tafsir, bahwa perintah taqwa pertama terkait dengan implementasi pelaksanaan kewajiban-kewajiban, sebab dilanjutkan dengan kata-kata ( …dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah diperbuatnya untuk hari esok…). Sedangkan perintah taqwa kedua terkait dengan implementasi menjauhi larangan-larangan Allah, sebab dilanjutkan dengan kata-kata (…sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”). Sebagaimana maklum, bahwa definisi taqwa adalah; melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Maka, maksud dari bagian awal ayat di atas ( Hai orang – orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah ) adalah; “Hai orang-orang yang beriman, takutlah kamu kepada Allah dan waspadalah pada siksa-Nya dengan cara melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya”. Sedangkan bagian kedua ( …dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah diperbuatnya untuk hari esok….) menurut Ibnu Katsir maksudnya adalah; “Dan lihatlah apa yang sudah menjadi tabunganmu berupa amal-amal shaleh untuk persiapan hari esokmu kelak di akhirat ketika kamu dihadapkan kepada Tuhanmu”. Kata (esok) di sini bukanlah hari esok setelah hari ini. Menurut para ahli tafsir, arti kata (esok) adalah akhirat, sebab kehidupan dunia diibaratkan hari ini dan kehidupan akhirat diibaratkan hari esok.
Penjelasan Maksud Ayat
Dari ayat di atas diartikan, bahwa Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman agar benar-benar menerjemahkan keimanan mereka dengan implementasi yang semestinya yaitu kewajiban bertaqwa kepada-Nya. Sebab iman merupakan sesuatu yang abstrak yang hanya bisa dilihat dari indikatornya saja, yaitu kuantitas dan kualitas amal sholeh dari seorang yang beriman. Iman bisa mengalami fluktuasi (naik-turun) dari faktor indikator kongkret tersebut. Kata “iman” dalam beberapa ayat al-Qur’an tidak hanya berarti “sekedar percaya”. Bahkan, banyak kata “iman” yang justeru memiliki arti amal shaleh. Sebagai contoh adalah sebagaimana firman Allah dalam QS al-Baqarah 143:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“…Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu…”.
Menurut para pakar tafsir, kata “iman” di sini maksudnya; shalat yang dilaksanakan oleh Nabi SAW bersama para sahabat sewaktu menghadap Baitul-Maqdis selama 16 bulan sebelum Ka’bah ditetapkan sebagai kiblat umat Islam.
Ketaqwaan harus senantiasa dipelihara, baik ketika seseorang berada bersama orang lain atau ketika sendiri tanpa seorang temanpun. Iman harus senantiasa dipelihara secara utuh dalam kondisi dan situasi apapun. Orang beriman juga harus selalu menjaga perintah dan batasan-batasan (hukum-hukum) yang datang dari Allah SWT. Melihat dengan cermat apa saja yang bermanfaat atau yang berbahaya baginya. Sehingga bisa meraih apa yang semestinya diraih berupa kebajikan-kebajikan dan menghindari apa yang semestinya dihindari berupa apapun yang membawa kerugian baginya, baik di kehidupan dunia maupun akhirat.
Bila manusia memiliki visi dan orientasi ukhrawi, maka tentu akan mengedepankan misi-misi akhirat dengan memperbanyak amal shaleh yang akan mengantarnya kelak ke sana dengan selamat. Menghindarkan diri dari segala faktor atau kesibukan lain yang bersifat duniawi yang dapat memutuskan atau memalingkan seseorang cari perjalanan mencari tujuan ukhrawi. Dan juga, bila dia tahu bahwa Tuhannya adalah Maha Mengetahui apapun yang diperbuatnya dan bila dia merasa bahwa tak ada satupun hal yang dapat disembunyikan dari pandangan Allah SWT, maka hal itu mestinya akan menjadikannya kian berhati-hati dan bersungguh-sungguh dalam menggapai cita-cita ukhrawinya.
Arti Introspeksi
Ayat di atas menegaskan perlunya introspeksi diri bagi seseorang dengan sungguh-sungguh. Artinya, bila seseorang melihat dirinya telah terjebak dalam ketergelinciran (dosa) dan kelalaian (dari dzikir kepada Allah) maka ia harus segera memperbaikinya dengan bertaubat secara sungguh-sungguh (taubatan nashuha) serta berpaling dari semua faktor yang membawa pada kerugian dan petaka di hari akhirat. Taubat nasuha adalah taubat yang memenuhi tiga hal; menyesali dosa yang telah diperbuatnya, memohon ampunan dari Allah, dan bertekad tidak akan kembali lagi pada perbuatan dosa selama-lamanya. Allah SWT Maha menerima taubat orang-orang yang bertaubat dengan sungguh-sungguh
Bila seseorang merasa bahwa dirinya telah berlaku sembrono dan lalai akan perintah-perintah Allah, maka seharusnya dia mencurahkan segala daya yang dimilikinya dan memohon pertolongan Allah SWT agar bisa menyempurnakan, mengoptimalkan dan memurnikan (ikhlas) amal-amalnya. Merenungkan dan membandingkan segala kebaikan dan anugerah Allah kepada dirinya dengan segala bentuk kesembronoan dan kelalaian yang telah diperbuatnya. Hal itu akan menjadikan seseorang merasa sangat malu kepada diri sendiri dan tentu malu kepada Allah, Tuhan yang telah memberinya segala kebaikan dan nikmat yang tiada terhitung. Allah SWT berfirman dalam QS Ibrahim 34 dan QS an-Nahl 18:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan jika kamu menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya…”.
Tidak tepat kiranya bila ayat 18 QS al-Hasyr di atas diartikan dengan pentingnya introspeksi diri dalam hal-hal yang semata-mata bersifat duniawi sebagaimana sering dilansir oleh beberapa kalangan yang tidak bertanggung jawab atau tidak mengerti maksud pesan ayat tersebut. Introspeksi diri untuk hari esok agar lebih baik adalah sangat baik dilakukan oleh seseorang, namun hari esok yang dimaksud dalam ayat di atas bukanlah esok pagi atau masa depan duniawi, atau mendapatkan pekerjaan setelah menamatkan studi, melainkan masa depan yang sesungguhnya yaitu kehidupan akhirat yang abadi. Wallahu A’lamu bish-shawab. Anshori Huzaimi