Syekh Abdus Shamad al-Falimbani
ULAMA YANG SELALU RINDU MAKKAH
Syekh Abdus Shamad al-Falimbani adalah seorang ulama sufi besar Nusantara, yang mengarang kitab Hidayat As-Salikin, Syiar As-Salikin dan berbagai kitab lainnya. Beliau adalah seorang yang sangat anti penjajah, seorang yang mengerahkan seluruh kemampuannya untuk kejayaan Agama Islam (li’ila’iKalimat Allah).
Ayah beliau, Syekh Abdul Jalil adalah mufti di negeri Kedah. Setelah menjabat Mufti, Syekh Abdul Jalil dinikahkan dengan seorang perempuan bangsawan di kesultanan Kedah yang bernama Wan Zainab binti Datuk Seri Maharaja Putra Dewa. Tidak lama setelah perkawinan itu, datanglah seorang murid Syekh Abdul Jalil dari Palembang yang bernama Raden Siran dan ia mengajak Syekh Abdul Jalil untuk berkunjung ke Palembang karena murid-murid Syekh Abdul Jalil rindu untuk bertemu dengan guru mereka.
Setiba di Palembang, Raden Siran mencarikan istri untuk Syekh Abdul Jalil. Wanita beruntung itu adalah Raden Ranti. Dari pernikahan ini, Syekh Abdul Jalil dikarunia putra yang bernama Abdus Shamad.
Abdus Shamad dikirim Oleh ayahnya ke negeri Pattani, Thailand Selatan. Saat itu Pattani dikenal sebagai tempat mengkaji ilmu-ilmu ke islaman dengan sistem pondok yang mendalam. Tidak diketahui di pondok mana saja beliau belajar. Kemungkinan besar beliau sempat belajar di berbagai pondok besar seperti Pondok Bendang Gucil Keresik, Pondok Kuala Bekah atau Pondok Semala.
Setelah beberapa waktu belajar di Pattani, ayah beliau mengirim Syekh Abdus Shamad untuk belajar di Makkah. Sudah menjadi kebiasaan pada masa itu untuk mengirimkan anaknya belajar di Makkah. Sebab bagaimanapun luas ilmu pengetahuan seseorang tidaklah diangap mantap sebelum mengambil berkah di Makkah dan Madinah sebagai tempat lahirnya agama Islam, berguru kepada para ulama yang dipandang sebagai Waliullah.
Lebih kurang selama tiga puluh tahun Syekh Abdus Shamad belajar di Makkah bersama kawan-kawannya. Diantara teman belajar belajar beliau saat itu adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Pangkajene (Sindereng Daeng Bunga) Bugis, Syekh Abdurrahman Al-Masri dan Daud bin Abdullah al-Fathani.
Di Madinah beliau berguru ilmu tasawuf kepada beberapa mursyid terkenal antara lain : Alimul Allamah Syekh Muhammad Sulayman al-Kurdi, seorang Syaikhul Islam dan Immaul Haramain. Juga belajar kepada Syech Athaillah, seorang ulama dari Mesir. Terakhir kepada Syekh Abdul Karim As-Samman Al-Madani, pendiri tarekat As-Sammaniyah.
Syekh Abdul Karim As-Samman Al-Madani adalah guru utama Syekh Abdus Shamad, bahkan pada akhirnya beliau menjadi khalifah tarekat Sammaniyah dan khadam (pelayan) Syekh Abdul Karim As-Samman Al-Madani. Hal yang sama juga dilakukan oleh sahabat beliau Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Daud bin Abdullah al-Fathani.
Sebagaimana diketahui Syekh Sulaiman al-Kurdi adalah guru dari Muhammad bin Abdul Wahab, pencetus gerakah Wahabi (al-Harakat al-Wahhabiyah). Adalah merupakan suatu keanehan, jika Syekh Abdus Shamad dan kawan-kawan beliau adalah pengikut faham Ahlus Sunnah wal Jamaah dari golongan Madzab Syafi’i, sedang Muhammad bin Abdul Wahab dianggap telah keluar dari golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Padahal mereka seperguruan dan sama-sama menerima ilmu pengetahuan dari guru yang sama. Selain itu Syekh Abdus Shamad adalah pengikut tarekat dan tasawuf yang setia, sebaliknya Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang yang sangat menentang keras berbagai aliran tasawuf dan tarekat.
Syekh Abdus Shamad adalah seorang yang sangat setia kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim As-Samman, hal ini terlihat bagaimana kekaguman beliau pada gurunya yang tercantum dalam mukaddimah kitab karya beliau yaitu, Siyar As-Salikin.
Dalam berbagai kitab yang ditulis oleh Abdus Shamad seringkali ia menyebutkan nama dan mengutip perkataan Syekh Muhammad bin Abdul Karim As-Saman, baik dalam Siyar As-Salikin maupun kitab-kitab yang lainnya.
Kebesaran pengaruh Syekh Muhammad Abdul Karim As-Saman di Palembang juga dapat dilihat dari tulisan Prof. Dr. Hamka: “Sultan Daud Badaruddin Palembang menitahkan kepada Syekh Ahmad Kemas agar ia mengarangkan riwayat hidup dan ajaran guru tasawuf yang masyhur di Madinatul Munawwarah bernama Syekh Muhammad Samman.
Prof. Dr. Hamka dalam salah satu bukunya menyebutkan bahwa Syekh Abdus Shamad al-Falimbani tidak pernah pulang ke Palembang, hal ini ia lakukan karena sangat bencinya kepada penjajah Belanda. Tetapi sumber lain yang terpercaya menyebutkan bahwa ia pulang ke tanah airnya bersama kawan-kawannya, yaitu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani, Syekh Abdul Wahhab Bugis dan Syekh Abdurrahman al-Masri.
KH. Saifuddin Zuhri menulis: sebelum meninggalkan tanah suci, Syekh Abdus Shamad mengajukan sebuah pertanyaan retorik (kiasan/sindiran) kepada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: “Kita akan pulang ke tanah air. Ilmu yang kita peroleh selama di Al-Haramain akan kita berikan kepada bangsa kita, kita persembahkan kepada Islam untuk kebahagiaan masyarakat seluruhnya. Kita akan berikan segalanya kepada orang lain. Nah untuk diri kita sendiri apa?”
Diceritakan bahwa Syekh Abdus Shamad dan kawan-kawan sempat pergi ke Mesir, namun mereka ke Mesir tidak untuk berguru tetapi untuk mengunjungi dan mempelajari berbagai lembaga pendidikan yang ada di Mesir kala itu. Di Mesir tidak hanya kota Kairo yang mereka kunjungi, tetapi juga kota-kota kecil lainnya. Banyak lembaga pendidikan yang menjadi perhatian mereka, terutama metode pendidikan di Mesir yang berbeda dengan metode pendidikan yang selama ini mereka peroleh di tanah air. Mereka berkeinginan untuk menerapkan metode yang mereka dapatkan di berbagai lembaga pendidikan Mesir di tanah air.
Sekembali dari Mesir, mereka tidak tinggal lama di Madinah maupun Mekkah. Setelah Syekh Muhammad bin Abdul Karim memberikan izin, maka berangkatlah mereka dari Madinah menuju Jeddah. Dari Jeddah dengan menumpang perahu layar pulanglah mereka ke tanah air. Setelah sekian bulan berada di tengah laut, tibalah mereka di Pulau Pinang, sekarang salah satu Negara bagian Malaysia. Dari Pulau Pinang mereka melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi Kedah dan Perak (Malaysia). Dengan melalui jalan darat, mereka menuju Singapura. Syekh Daud al-Fathani meski telah dekat ke kampung halamannya Pattani (sekarang bagian dari Thailand), ia tidak langsung kembali pulang ke tanah tumpah darahnya, tetapi demi memperlihatkan kesetiakawanannya ia akhirnya ikut bersama kawan-kawannya mengunjungi Betawi (Batavia, sekarang Jakarta).
Di Batavia beliau berempat ditangkap Belanda dengan tuduhan pengacau dan meresahkan masyarakat. Mereka dibawa ke sebuah kapal Belanda yang sendang berlabuh. Diatas kapal itu mereka dicecar pertanyaan yang sangat rumit, namun dengan pengetahuan yang tinggi semua pertanyaan itu dapat mereka jawab. Belanda menjadi kagum dan setelah tiga hari diatas kapal mereka dibebaskan tanpa syarat.
Banyak cerita yang menarik ketika Syekh Abdus Shamad berada di Palembang. Sejak peristiwa diatas kapal itu, maka kebenciannya kepada pemerintah kolonial Belanda semakin memuncak. Ketika berada di Palembang, ia bertambah kecewa karena tanpa hak Belanda telah memegang kekuasaan atas Islam. Sultan yang berkuasa tidak dapat menjalankan pemerintahan. Melihat keadaan yang demikian, beliau memohon petunjuk kepada Allah dengan shalat istikharah.
Akhirnya Syekh Abdus Shamad meninggalkan Palembang, berangkat menuju Mekkah dengan tidak menumpang kapal Belanda, melainkan membuat sendiri kapal dengan dibantu oleh murid-muridnya, walaupun ia bukan seorang ahli pembuat kapal. Pada saat keberangkatan itulah ia menguji ketawakkalannya kepada Allah.
Tentang asal-usul dan tahun wafatnya terdapat perbedaan pendapat. Dalam beberapa tulisan disebutkan tahun wafatnya adalah 1203 H. yaitu pada penghujung penulisan kita ‘Syi’ar as-Salikin” juz keempat. Tetapi bagi para penganut tasawuf di Asia Tenggara, terutama pengikut Sammaniyah, mempercayai bahwa Syekh Abdus Shamad al-Falimbani menghilang dalam khlawat di Masjid Legor pada saat perang antara Kedah dan Siam di tahun 1244 (1831M).
Muhammad Nawawi