KIAI HAMID PASURUAN: TIGA KUNCI RAHASIA ‘KEHEBATANNYA’

Suatu hari M. Thoifur diutus kiainya, KH. Fathur Rohman Lasem (Jawa Tengah), untuk datang ke Pasuruan. Tujuannya adalah meminta pertimbangan Kiai Hamid Pasuruan terkait pinangan kepada Muhimmah, putri Kiai Fathur Rohman. Thoifur adalah santri sekaligus abdi dalem (khaddam) kakak ipar Kiai Hamid itu.

Sesampai di hadapan Kiai Hamid, belum sempat Thoifur mengutarakan maksudnya, Kiai Hamid mendahului. “Kamu (akan) aku kawinkan dengan Muhimmah,” katanya.

Bisa dibayangkan, betapa bingung hati Thoifur. Wong dia ke Pasuruan disuruh memintakan pertimbangan untuk pinangan kepada Ning Muhimmah, kok sekarang dia ditawari menikahi gadis tersebut. Namun, karena itu merupakan kata-kata Kiai Hamid, dia tidak bisa menolak. “Inggih,” katanya.

Persoalannya, bagaimana dia menyampaikan hal itu kepada Kiai Fathur Rohman? Alhamdulillah, ternyata tidak ada persoalan. Kiai Fathur Rohman, begitu tahu apa saran Kiai Hamid (yang berarti tidak setuju dengan pinangan tersebut dan menganjurkan supaya mengawinkan putrinya dengan Thoifur), langsung mengiyakan. Thoifur pun dinikahkan dengan Muhimmah. Kelak, Thoifur menjadi kiai sekaligus tokoh yang cukup disegani di Lasem. Kiprahnya begitu nyata dan diakui di tengah masyarakat, sehingga masyarakat tak segan untuk mengorbitkannya di pentas nasional.

Kiai Hamid, di masa hidupnya, adalah rujukan bagi nyaris seluruh anggota keluarga besarnya. Termasuk anggota keluarga yang lebih tua usia atau lebih tinggi derajat hubungan kekeluargaannya (kakak, paman atau bibi). Beliau tempat mereka meminta pertimbangan untuk hampir seluruh persoalan pelik mereka. Bisa dikatakan, apapun pertimbangan Kiai Hamid akan mereka terima. Coba lihat, bagaimana Kiai Fathur Rohman langsung berputar haluan, dari semula hendak menerima pinangan pemuda lain, lalu menikahkan putrinya dengan santri sekaligus khaddamnya, yang semula tak diperhitungkannya sama sekali. Apa rahasianya sehingga Kiai Hamid begitu istimewa?

Hati Tentram

Bahkan tidak hanya anggota keluarga. Banyak orang di luar keluarga yang menjadikan Kiai Hamid sebagai rujukan untuk berbagai urusan mereka. Dari urusan pernikahan sampai urusan pekerjaan dan semacamnya. Bila mereka bingung untuk memutuskan, mereka datang kepada Kiai Hamid. Apapun saran beliau, mereka terima. Bila mereka merasa sedih, sumpek, mereka datang kepada Kiai Hamid. Mendengar nasihat Kiai Hamid, hati mereka terasa plong. Bahkan melihat wajah Kiai Hamid saja, hati mereka seperti disiram air. Sejuk dan tentram. “Yang tidak dipunyai kiai-kiai sekarang pada diri Kiai Hamid ialah, bila dimarahi oleh beliau, orang tidak merasa sakit hati, malah bersyukur,” kata KH. Masyhudi Pasrepan, Pasuruan. Hal ini diamini oleh Kiai Syadid dari Kencong, Jember, yang pernah berguru kepada Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Mekah. “Saya bersama teman saya pernah dimarahi oleh Kiai Hamid gara-gara kami berbicara bahasa Arab. Beliau marah sekali. ‘Orang itu tidak boleh pamer, riya’…’ begitu antara lain beliau berkata. Tapi, kami tidak sakit hati. Malah kami sangat bersyukur. Waktu itu kami merasa senang sekali karena beliau berkenan memarahi kami. Kami merasa diingatkan,” katanya. Begitu istimewanya Kiai Hamid. Apa rahasianya?

Kiai Musthofa Bisri alias Gus Mus mengatakan bahwa Kiai Hamid itu wali yang “muttafaq ‘alaih” (konsensus). “Bahkan ayah saya, Kiai Bisri Mustofa dan guru saya Kiai Ali Maksum … yang paling sulit mempercayai adanya wali di zaman ini harus mengakui (kewalian Kiai Hamid),” katanya.

Kiai Hamid, di masa hidupnya, adalah faridu ‘ashrihi. Seolah wali itu (di tanah Jawa) hanya beliau sendiri. Nyaris tak ada orang yang mengaku wali semasa hidup beliau. Ibarat lampu, sinar mereka terasa redup oleh sinar Kiai Hamid yang begitu kuat. “Beliau adalah punjer-nya tanah Jawa,” kata Gus Mus.

Memang, kewalian Kiai sudah menjadi kesepakatan umum. Tak peduli dia santri atau bukan. Tak peduli dia pejabat atau bukan. Para ustaz, para kiai, para habaib, bahkan tak sedikit orang non-nahdliyin yang mengakui kewalian beliau. Begitu istimewa Kiai Hamid, apa rahasianya?

Pas dengan Siapa Saja

Saya melihat, setidaknya ada tiga kunci rahasia “kehebatan” Kiai Hamid. Ketiga hal itu sangat sulit dan tak banyak dipunyai orang lain, namun perlu diteladani – karena beliau menjumputnya dari junjungan beliau, Rasulullah s.a.w. (Sudah tentu ketiga hal ini dalam diri Rasulullah s.a.w. jauh lebih dahsyat.)

Pertama, seperti dikatakan Kiai Syadid Kencong, beliau pas dengan siapa saja. Ibarat sepatu, beliau pas untuk dipakai siapa saja. Tidak terasa kekecilan, apalagi kesempitan, tidak pula terasa kebesaran. Siapa saja yang bertemu dengan beliau, dia merasa pas. Merasa nyaman. Dan bisa mengambil pelajaran. Coba, betapa sulitnya untuk bisa seperti itu. Ada orang yang pas dengan siapa saja karena sikap munafiknya. Bermuka dua. Ibarat sepatu, dia bisa berubah-ubah ukuran – terkadang membesar, terkadang mengecil. Tetapi Kiai Hamid jauh dari hal demikian. Beliau tetap konsisten dengan kewara’an dan kesalehan beliau, tapi beliau bisa pas dengan siapa saja. Biasanya, ada kiai-kiai yang pas dengan orang miskin saja, tapi orang kaya tidak merasa nyaman. Atau sebaliknya, orang kaya merasa pas, orang miskin merasa disepelekan. Kiai Hamid tidak demikian. Orang kaya, orang miskin, pejabat, orang biasa, semuanya merasa cocok dengan beliau. Baik dia santri, ustaz, kiai, habaib, maupun orang awam, semua merasa pas bila bertemu dengan Kiai Hamid.

Ada yang lebih spesial lagi. Terkadang yang datang lebih dari satu orang. Entah tiga orang atau lebih. Mereka datang dengan maksud berbeda-beda. Lalu Kiai berkata singkat kepada mereka. Mungkin berupa perlambang, mungkin nasihat, mungkin cerita, atau lainnya, dan mereka semua merasa terlayani. Merasa hasil maksudnya.

Keistimewaan Kiai Hamid yang bisa pas dengan siapa saja ini barangkali berkaitan dengan sifat-sifat beliau sebagai berikut:

1. Kecondongan beliau untuk berkhidmat, melayani. Beliau melayani seluruh anggota keluarga. Kalau ada yang butuh sesuatu, beliau bantu. Kalau ada yang tertimpa musibah, beliau hibur. Beliau perhatikan, dan beliau besarkan hatinya. “Aku sekarang menjadi bapak kalian,” kata beliau kepada Ustaz Sholeh Ahmad Sahal, ketika ditinggal wafat ayahandanya. “Kalau ada perlu, kapanpun kamu boleh datang padaku.” Bahkan tidak hanya anggota keluarga, kepada siapapun beliau siap membantu, menghibur dan menerima pengaduan. Hampir semua orang yang membawa dagangan ke tempat beliau, beliau beli barangnya, meski beliau tidak butuh. Beliau lalu membagikannya pada orang lain. Beliau suka direpoti tapi tidak suka merepotkan.

2. Kecenderungan beliau untuk selalu membuat nyaman orang lain. Beliau tidak membuat orang lain panik atau tegang. Kalau ada yang terlanjur panic atau tegang, beliau kendurkan syarafnya. Entah dengan melucu atau kata-kata yang meneduhkan. Pembawaan beliau yang tidak kaku membuat orang nyaman. Anak, istri, menantu, saudara, pembantu, santri, tetangga, atau siapapun, dibuat nyaman di dekat beliau. Beliau mendidik tanpa membuat tegang. Misalnya, mengajari qashidah kepada cucu beliau sambil bermain. Beliau mendakwahi orang juga tanpa membuat yang didakwahi tegang. Bahkan, terkadang dia tidak merasa kalau sedang didakwahi, tapi pesan itu sudah merasuk ke dalam hatinya.

3. Beliau tidak membeda-bedakan antara satu dan lain orang. Bahkan cintanya kepada orang miskin luar biasa. Kalau diberi makanan oleh orang miskin, beliau memakannya hingga habis walaupun si pemberi tidak melihat. Dan jika ada tamu, semua kebagian perhatian beliau. Semua ditanyai, semua merasa dihargai.  

4. Beliau selalu berkomunikasi dengan hati, bukan akal, apalagi nafsu.

Soal Gengsi

Hal kedua yang khas, dan sulit dipunyai orang lain ialah, beliau nyaris tidak mengenal kata gengsi. Beliau – meminjam kata-kata anak sekarang — tidak pernah “jaim”, jaga image, atau jaga penampilan. Karena seorang kiai maka penampilan harus berwibawa, dibuat-buat, dan semacamnya. Beliau apa adanya. Terkadang orang yang tidak pernah mengenal wajah beliau terkecoh. Tidak mengira bahwa orang yang ada di dekatnya adalah orang yang namanya sudah demikian beken di seantero Jawa, bahkan hingga ke lain pulau. Beliau pernah lari bertelanjang kaki guna memberi tahu kuli bahwa ada orang yang sedang membutuhkan tenaganya untuk mengangkat barang mebel.  

Akhirnya, last but not least, yang sangat spesial pada diri Kiai Hamid adalah, beliau tidak mau menggunjingkan orang lain (ghibah). Ini terdengar sangat sederhana, tapi tidak banyak orang yang dapat mengamalkannya. Bergunjing adalah perbuatan tercela yang paling sulit dihindari, termasuk oleh kiai sekalipun.

Bergunjing timbul dari rasa benci. Beliau tidak punya rasa benci pada orang lain. Bergunjing juga bisa menerbitkan rasa benci atau iri kepada orang lain. Bisa pula meninbulkan rasa sombong, ujub. Karena itu beliau menghindari bergunjing. Beliau ada orang membicarakan orang lain di hadapan beliau, beliau segera mengalihkan topik pembicaraan. Atau, beliau akan meninggalkan majelis itu.  Hamid Ahmad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Telegram
WhatsApp