IMAM AHMAD BIN HANBAL

TOKOH MAZHAB YANG KOKOH TAK TERTANDINGI

Dalam Rubrik Sirah kali ini, CN mengajak  pembaca  untuk mengenal lebih jauh perjalanan hidup Imam Ahmad bin Hambal, seorang pemuka ahli hadith di zamannya, imam dalam fiqh, sekaligus sebagai tokoh tersohor dalam hal wara’, zuhud, dan kesabaran. Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris bin ‘Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas asy-Syaibani. Silsilah beliau bertemu dengan nasab Nabi SAW pada Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan.

Ketika masih dalam kandungan, orang tuanya pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Beliau dilahirkan, tepatnya bulan Rabi‘ul Awwal tahun 164 H. (Desember 780 M). Ayahnya Muhammad bin Hambal meninggal dalam usia muda (30 tahun), persis ketika beliau baru berumur tiga tahun.

Semenjak itu, ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibani, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkannya. Walaupun  banyak sekali yang  meminang Shafiyyah yang masih muda dan cantik itu, tetapi ditolaknya. Ia lebih memilih sibuk mendidik anak dan menazarkan hidupnya untuk itu. Ini membuat imam Ahmad semakin berbakti pada ibunya, terbukti beliau tidak kawin sampai ibunya wafat.

Beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar  kepada kemajuan dan kemuliaan. Sejak masa kecil beliau mulai belajar membaca dan menghafal Al-Qur’an dan mempelajari ilmu-ilmu Bahasa Arab. Ibunya sangat mengagumi daya hafal  dan kehausan anaknya dalam menuntut ilmu. Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadith saat masih berumur 13 tahun. Beliau terus berada di Kota Baghdad mengambil hadith dari syaikh-syaikh hadith, kota itu hingga tahun 186 H. Melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim Al-Wasithi hingga syaikhnya wafat tahun 183 H. Beliau  berhasil mengambil hadith dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadith lebih.

Sifatnya adalah pekerja keras dalam menuntut ilmu-pengetahuan dengan himmah yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi dorongan semangat. “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadith, tetapi Ibu segera menahan pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai azan berkumandang atau setelah orang selesai shalat subuh.’”katanya.

Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadith dari para perawinya dan orang pertama adalah Al-Qadhi Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah. Beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadith) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman. Tokoh yang paling menonjol  menjadi gurunya dalam Ilmu Fiqh selama tinggal di Hijaz adalah Imam Syafi‘i.

Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan Imam Abu Hanifah dan menjadikan beliau rujukan dalam mengenal kesahihan sebuah hadith. Gurunya yang lain misalnya saja Sufyan bin ‘Uyainah dan Yazid bin Harun.

Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadith sekalipun sudah menjadi ulama’ besar. Suatu saat seseorang melihatnya membawa tinta, dia berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab,

مع المحبرة الى المقبرة

 “Bersama mihbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.”

 Beliau menyusun sebuah kitab yang terkenal, Al-Musnad  dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan dimulainya sejak tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadith. Beliau juga menyusun kitab Al-Manasik, Ash-Shagirdan Al-Kabir, Az-Zuhud, Ar-Radd ‘Ala Al-Jahmiyah wa Az-Zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), As-Shalah, As-Sunnah, Al-Wara ‘ wa Al-Iman, Al-‘Ilal wa Ar-Rijal, Al-Asyribah, satu juz tentang Ushul As-Sittah, Fadha’il Ash-Shahabah. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud dan kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih.

Walaupun dalam kesibukannya yang luar biasa dalam mencari, mengumpulkan dan mencatat hadith, beliau dalam hidupnya selalu melaksanakan shalat malam hingga 300 rakaat tiap malamnya, namun selanjutnya hanya mampu 150 rakaat setelah mendapatkan siksa dari penguasanya. Beliaupun sempat melaksanakan ibadah haji hingga  5 kali, meskipun yang 3 kali ditempuh dengan berjalan kaki.

Puji-pujian Ulama

Imam Syafi‘i berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa dari pada Ahmad bin Hambal.”

 ‘Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hambal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadith kepada kami’. ”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hambal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadith kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.

Bahkan guru beliau, Imam Syafi’i pernah mendapat isyarah dari Rasulullah. Ia bertemu dalam mimpinya, Nabi berkata: ”Sampaikan salamku pada Ahmad bin Hambal, katakan padanya dia akan diuji untuk menyatakan kemakhlukan Al-Qur’an, dia akan tetap dalam kebenaran, dan Allah akan mengangkat benderanya sampai hari kiamat.” Lalu Imam Syafii menyuruh Rabi’, muridnya untuk menyampaikan pesan tersebut. Mendengar berita gembira itu Imam Ahmad langsung menghadiahkan gamis yang dipakainya. Setelah Rabi’ tiba kembali di tempat Imam Syafii, Imam Syafii berkata, “Aku tidak minta gamis itu” ujar Imam Syafii, beliau tahu bahwa Rabi’ tidak mungkin memberikan gamis penuh berkah itu pada seorangpun, “Tapi basahilah gamis itu dengan air, lalu berikan air itu yang menempel di tubuhnya  pada Rab, padaku untuk aku ambil berkahnya. 

Kata petatah, semakin tinggi pohon maka semakin keras tiupan angin yang akan menerpanya. Inilah barangkalai ungkapan yang sesuai untuk mendeskripsikan kehidupan insan terkemuka sekaliber Imam Ahmad bin Hambal, yang ternyata tidak pernah ‘sepi’ dari onak dan duri. Demikian juga halnya dengan Imam Ahmad, beliau berada di zaman kekuasaan kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Pendirian ini begitu kuatnya di kalangan pemerintah, sehingga barangsiapa yang bertentangan dengan pihak penguasa kala itu tentu akan mendapat ancaman yang represif. Termasuk di antaranya Imam Ahmad.

Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad ke hadapannya di Kota Thursus. Beliau pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Kemudian penguasa itu memanggil Imam Hambali dan berkata: “Saya akan memukulmu sampai engkau membenarkan apa yang telah saya benarkan, atau mengatakan seperti yang saya katakan!” Karena Imam Hambali masih tetap dengan pendiriannya, maka Al-Makmun memerintahkan kepada serdadu untuk memukul Imam Hambali.

Ketika cambuk yang pertama singgah di punggungnya, beliau mengucapkan “Bismillah.” Dan manakala  cambuk kedua diayunkan, beliau mengucapkan “La haula walaa quwwata illaa billah” (tiada daya dan kekuatan apa pun kecuali izin Allah). Tatkala cambuk ketiga dipukulkan. Maka beliau pun mengucapkan “Al-Quran kalaamullahi ghairu makhluk” (Al-Quran adalah kalam Allah bukan makhluk). Dan ketika pada pukulan yang keempat, beliau membaca surah At-Taubah ayat 51.

“Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang ditetapkan oleh Allah bagi kami.”
Sehingga seluruh badan mengalir darah merah,kemudian  beliau dimasukkan ke dalam penjara kembali.

Pada suatu hari ketika Imam Hambali dibawa ke Kota Anbar dengan tangan yang terbelenggu, seorang yang alim bernama Abu Ja’far Al-Anbari menghampiri. Imam Hambali bertanya kepadanya: “Hai Abu Ja’far apakah Engkau susah melihat keadaanku?” “Tidak wahai Imam, engkau adalah pemuka umat, karena umat manusia ada di belakangmu. Demi Allah, bila mau menjawab bahwa Qur’an itu makhluk, pastilah umat akan mengikutimu, dan bila tidak mau menjawab, maka umat juga tidak mau menjawab seperti apa yang ingin Engkau jawab. Bila tidak mati dibunuh orang, pasti Engkau juga akan mati dengan cara yang lain. Maka janganlah Engkau mau menuruti kehendak mereka.” Mendengar kata-kata Ja’far itu beliau mencucurkan air mata dan berkata: “Masya-Allah!, Masya-Allah!, Masya-Allah!.

Sepeninggal Al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, Al-Mu‘tashim. Di zamannya, Imam Ahmad dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan, tiap malam dicambuk sampai pingsan. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Begitu hebatnya penyiksaan itu, sampai-sampai setelah beliau keluar dari penjara, mereka membutuhkan waktu bertahun–tahun untuk membersihkan bekas kulit dan daging Imam Ahmad yg melekat di bekas tempat duduknya.

Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan hati yang kokoh tak tertandingi. Berkat kesabarannya, Nabi Khidir pun kirim salam ‘wahai Ahmad para penghuni langit dan sekitar arasy meridoimu berkat kesabaranmu Karena Allah SWT”.

Begitulah akhirnya beliau dibebaskan dari penjara. Imam Ahlus Sunnah wal jama’ah ini dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim meninggal.

Kesabaran beliau mendatangkan karomah, tidak hanya ketika hayatnya, setelah beliau wafat kekeramatan itu dialami putranya Sholeh bin Achmad. Suatu saat rumahnya terbakar. Spontan ia meratapinya. Pasalnya, di dalam rumah itu tersimpan baju peninggalan ayahnya,Imam Achmad bin Hambal. Ia khawatir baju yang sering diambil berkahnya itu ikut terbakar. Namun, Allah berkehendak lain, ternyata baju tersebut tetap utuh, meski barang-barang disekitarnya hangus dilalap api.

Setelah Al-Muktashim meninggal dunia ia diganti dengan puteranya Al-Watsiq. Pada masa ini banyak penganiayaan dilakukan terhadap para ulama. Khalifah Al-Watsiq inilah yang memancung leher ulama terkenal yakni Ahmad bin Naser Al-Khuza’i. Sesudah Al-Watsiq wafat, Al-Mutawakkil naik menggantikannya.

           Pada masa inilah faham Mu’tazilah dicabut dan diadakan pembebasan terhadap semua ulama yang ditahan, termasuk Imam Ahmad bin Hambal. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Al-Qur’an dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para muhaddith untuk menyampaikan hadith-hadith tentang sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusan tersebut, dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan nama Imam disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, ‘Umar bin al-Khaththab, dan ‘Umar bin ‘Abdul Aziz.

            Dalam salah satu nasihatnya Imam Ahmad bin Hambal mengatakan :

إذا أردتَ أن يدوم لك الله كما تحب فكن كما يحب.

“Jika kamu ingin Allah selalu memberi apa  yang kamu senangi, jadikanlah dirimu seperti yang Dia senangi”

20 ribu Orang Kafir

Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar kabar sakitnya, berebutlah orang berdatangan untuk menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumah, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241 H, Imam besar ini harus beristirahat untuk selamanya dan  menghadap kepada Allah dalam usia 77 tahun. Seluruh Kota Baghdad mendadak gempar, kaum muslimin kala itu bersedih atas kepergian beliau. Mereka yang turut mengantar jenazah konon mencapai 860 ribu orang, jumlah tersebut belum (menurut riwayat) termasuk yang di jalan-jalan, dan di perahu. Dengan demikian satu juta lebih orang yang menghadiri upacara pemakaman besar itu. Peristiwa ini kabarnya, telah menarik kalangan non Muslim terkagum kagum,   sehingga pada hari itu, alkisah ada tak kurang 20.000 orang kafir dari kaum Yahudi, Nasrani, dan Majusi menyatakan masuk Islam.

            Biografi manusia besar seperti Imam Ahmad bin Hambal ini telah menyediakan data yang begitu luas, sehingga sulit kita menuangkan keistimewaan beliau dalam kata-kata yang serba terbatas ini. Tapi apa yang tertera dalam sekelumit riwayat hidup Imam Mazhab ini, kiranya dapat memberikan informasi dari angle lain — yang siapa tahu, Anda sendiri belum pernah membacanya dari sisi yang tersaji ini. (Masun Said Alwy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Telegram
WhatsApp