Sunan Ampel Penyebar Dakwah Islam di Nusantara

Ada sebuah wacana baru yang mencuat di kalangan ahli sejarah dewasa ini. Mereka menunjukkan bukti-bukti sejarah, bahwa Sunan Ampel bukan hanya seorang ulama yang mengkader santri-santrinya melalui pondok pesantren, lebih dari itu Sunan Ampel adalah Raja Surabaya yang memiliki kekuasaan untuk mengatur pemerintahan dan memberlakukan syariat Islam sebagaimana yang terjadi pada era Rasul di Madinah. Maka dari itu, dalam sirah kali ini CN akan mengangkat sosok Sunan Ampel dengan mengutip sumber sejarah dari sebuah buku hasil penelitian historiografi  Drs. Agus Sunyoto, M.Pd yang berjudul Sunan Ampel Raja Surabaya: Membaca Kembali Dinamika Perjuangan Dakwah Islam di Jawa Abad XIV-XV.

Sumber-sumber sejarah Tiongkok dari Dinasti Tang telah mencatat, bahwa sesungguhnya Islam sudah masuk ke Pulau Jawa sejak perempat akhir abad ke-7 Masehi, yakni saat di Jawa berdiri kekuasaan Ratu Simha di Kalingga. Namun, orang Islam kurang mendapat tanggapan yang baik, karena orang-orang Arab yang datang ke Kalingga menimbulkan ulah konyol yang mengakibatkan kaki putera mahkota dipotong. Disebutkan oleh ahli sejarah sebagaimana tertulis dalam prasasti Kelagen, bahwa Penduduk Islam yang saat itu tinggal di pemukiman yang disebut Loran atau Leran, mengenalkan Islam melalui jalan kekerasan, Haji Wura-Wari (dari Leran) menyerang Maharaja Darmawangsa di Wotan Mas, sehingga Islam pun mendapat tantangan keras dari raja-raja setempat kala itu.

Penyebaran dakwah Islam pun tidak bisa maksimal, sehingga dewasa itu Islam tidak sampai berkembang pesat ke kalangan masyarakat bawah. Islam pada masa itu hanya dianut oleh para saudagar Arab yang membentuk koloni-koloni di daerah pesisir dan sebagian kecil pribumi.

Hingga akhirnya pada masa Sunan Ampel hidup, Islam disampaikan melalui cara-cara yang lebih damai melalui prinsip mau’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan dengan metode dakwah menggunakan bahasa (dalam pengertian luas: adat, bahasa, budaya) yang dimengerti oleh suatu kaum. Ajaran Islam kala itu dikemas sebagai ajaran sederhana, ditanamkan pada masyarakat sesuai adat dan kepercayaan penduduk setempat.

Istilah-istilah yang digunakan untuk peribadatan Islam pun diambil dari bahasa setempat, seperti istilah sembahyang untuk mengganti shalat, langgar untuk mengganti mushalla, pasa (upawasa) untuk mengganti shaum, neraka untuk mengganti naar, swarga untuk mengganti jannah, bahkan dalam naskah-naskah suluk tertua nama Allah tidak disebut, tetapi diganti dengan sebutan Hyang Suksma, Hyang Manon, Hyang Tunggal, Hyang Widi, dan di depan nama Nabi Muhammad SAW ditambah gelar kanjeng yang bermakna junjungan atau raja.

Salah satu upaya dakwah Islam terkenal Sunan Ampel yang berbentuk penyesuaian kepercayaan masyarakat kepada Islam adalah ma-lima. Sebelumnya ma-lima adalah ajaran Syiwa-Buddha. Dalam upacara ma-lima, para penganutnya beribadah dengan membentuk lingkaran suci di ksetra (kuburan), yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dalam upacara itu, mereka memakan daging, ikan dan arak sampai kenyang. Puas mengenyangkan perut, upacara dilanjutkan dengan melampiaskan nafsu syahwatnya dan kemudian melakukan Samadhi. Di tengah-tengah upacara seorang bhairawa tertinggi meminum darah tumpukan mayat yang kemudian dikenal di kalangan masyarakat bawah dengan istilah upacara meminta wadal atau tumbal.

Untuk menghindari pelaksanaan upacara tersebut, Sunan Ampel melarang penduduk muslim menjalani laku ma-lima yang makna asalnya adalah melarang dilakukannya upacara ma-lima dari Syiwa-Buddha. Dijelaskan oleh Sanyoto (2004), peranan Sunan Ampel dalam mengubah acara keagamaan ma-lima itu, terlihat pada berubahnya ksetra (pekuburan) terkenal di timur masjid menjadi kampung penduduk yang beragama Islam. Ksetra di timur Masjid Ampel itu, akhirnya diubah menjadi kampung hunian penduduk muslim dengan nama tak diubah yakni Kampong Setro yang dipungut dari nama lama ksetra yang bermakna lapangan mayat.

Acara ma-lima itu sendiri pun tidak dihilangkan begitu saja, melainkan diislamkan dengan nama baru, yakni kanduri. Di dalam upacara kanduri itu, orang membuat lingkaran tetapi anggotanya laki-laki semua dan tidak telanjang. Di tengahnya disuguhkan makanan terdiri dari daging ayam, ikan dan minuman. Kemudian orang-orang berdoa dengan doa-doa Islam dan memakan suguhan yang dihidangkan di tengah lingkaran. Seiring dengan waktu, ajaran ma-lima Syiwa-Buddhabergeser maknanya menjadi moh-lima, yaitu moh main (tidak main judi), moh minum (menjauhi minuman memabukkan), moh maling (tidak mencuri dan korupsi), moh madat (tidak memakai narkoba), dan moh madon (tidak berzina).

Seperti itulah, Sunan Ampel adalah seorang da’i yang cerdas. Metodologi dakwah pembauran dengan masyarakat akar rumput yang merupakan titik sentral dari sasaran dakwah, telah menyebabkan rakyat Majapahit menerima dakwah Islam dengan lapang dada. Selain keluarga pembesar Majapahit, rakyat jelata pemeluk Hindu dan Budha baik dari sekitar Majapahit maupun wilayah lain berbondong-bondong datang belajar Islam kepada Sunan Ampel.

Raja Surabaya

            Kedatangan Sunan Ampel dari negeri Campa (yang saat ini masuk wilayah Vietnam Selatan) ke Surabaya bersamaan dengan terjadinya peperangan besar bangsa Campa dengan bangsa Vietnam. Dalam buku Sanyoto (2004), disebutkan bahwa kemungkinan datangnya Sunan Ampel ke Surabaya sekitar awal dasawarsa keempat abad ke-15, yakni saat Arya Damar sudah menjadi Adipati Palembang. Berdasarkan berbagai riwayat yang mendekati shahih, Sunan Ampel berada di Palembang pada tahun 1440 M.

            Dewasa ini, berkembang tesis yang dibangun oleh para ahli sejarah. Bahwa Sunan Ampel adalah seorang Raja Surabaya, bukan seorang ulama yang memiliki pesantren di kawasan Ampel Denta. Tesis ini dibangun setidaknya berdasarkan pada alasan: Pertama, tidak ada bukti hingga hari ini bekas-bekas reruntuhan yang menunjukkan keberadaan pesantren di Ampel Denta.Kedua, tidak ditemukannya dalam sejarah santri-santri hasil didikan Sunan Ampel yang menjadi ulama masyhur. Ketiga, kader-kader didikan Sunan Ampel justru menunjukkan kedudukan sebagai penguasa seperti Prabhu Satmata Raja Giri Kedhaton, Raden Patah Adipati Demak, dan Raden Kusen Adipati Terung. Keempat, pada Serat Centhini yang ditulis abad 17, mencatat bahwa pesantren tertua di Surabaya terdapat di Sidoresmo (dresmo) dengan pemimpin pesantren seorang kiai yang bernama Ahmad Sungeb (hal ini sekaligus mematahkan anggapan bahwa pesantren Ampel Denta adalah pesantren pertama yang ada di Surabaya).

Adapun landasan yang dibangun bahwa Sunan Ampel adalah seorang Raja Surabaya yaitu pertama, berdasarkan sumber Regent Soerabaja yang menyebut bahwa Raden Rahmat bukanlah seorang ulama pengasuh pondok pesantren, sebaliknya beliau digambarkan sebagai bupati pertama Surabaya. Kedua, sebutan sinuhun atau susuhunan yang melekat pada nama Raden Rahmat merupakan gelar untuk seorang ratu yang sudah digunakan di Jawa dan Sunda sejak sebelum masa Majapahit, belum ada bukti sebutan tersebut digunakan untuk menyebut seorang ulama pengasuh pondok pesantren. Ketiga, dengan menikahnya Raden Rahmat dengan Nyi Ageng Manila (cucu Raja Surabaya Arya Lembu Sura) menguatkan dugaan bahwa keberadaannya mengantikan Arya Lembu Sura sebagai bupati Surabaya. Keempat, dalam naskah Primbon kuno milik Prof. K.H.R. Moh. Adnan menceritakan bahwa Sunan Ampel menetapkan Syari’at Islam yang diperuntukkannya bagi orang Jawa. Di dalam naskah itu disebutkan bahwa Sunan Giri dan Sunan Ampel menyusun aturan adat-istiadat dalam keluarga yang meliputi pasal-pasal tentang peminangan; nikah-talak-rujuk; pembentukan keluarga batin dan adat istiadatnya, termasuk masalah pengasuhan anak, perwalian, pengawasan, pewarisan, hukum jinayah, qishash, kepemimpinan, perbudakan, peperangan dan masalah bid’ah.

Sekalipun berkedudukan sebagai seorang raja di Surabaya, tetapi Raden Rahmat bertindak sebagaimana raja pendahulunya, Arya Lembu Sura, yang sangat bersemangat dalam mengembangkan dakwah Islam. Kedudukannya sebagai raja tidak menghalangi Sunan Ampel untuk berdakwah di luar Surabaya, ia mengirimkan putera-putera dan sanak kerabatnya untuk mendakwahkan agama Islam kepada penduduk di bekas wilayah Majapahit. Putera Sunan Ampel yang bernama Mahdum Ibrahim, masyhur disebut Susuhunan Bonang, dikenal berdakwah ke berbagai daerah di pedalaman Majapahit. Putera Sunan Ampel yang bernama Pangeran Hamzah (Syaikh Kambyah) berdakwah di pedalaman Tumapel dan dikenal dengan sebutan Pangeran Tumapel. Putera beliau yang bernama Raden Qosim atau dikenal di kalangan penduduk Cirebon dengan nama Masaih Munat, menjadi Wali Nagari Caruban Girang dan beroleh gelar Pangeran Kadarajat. Raden Qasim kemudian menjadi Adipati Paciran.

Putera beliau yang bernama Raden Mahmud, menjadi kepala wisaya (buyut) di Sepanjang dan dikenal dengan nama Pangeran Sapanjang. Saudara sepupu Sunan Ampel, Khalifah Husein, dikirimnya ke Pamekasan untuk menikah dengan puteri Arya Waribin, putera Arya Lembu Sura. Khalifah Husein di minta berdakwah di Sumenep, Balega dan Surabaya.

Gerakan dakwah dari ulama yang dikirim Sunan Ampel dilakukan juga keluar Jawa. Masyarakat Bayan dari Suku Sasak Sumbawa, misalnya, mengaku bahwa leluhur mereka diislamkan oleh Sunan Ampel dari Jawa. Sisa peninggalan dari masa silam, mereka tunjukkan dalam bentuk mata air Lokok Jawa, mata air Ampel Duri dan mata Air Ampel Gading yang diyakini dibuat oleh kekeramatan Sunan Ampel.

Demikianlah, atas jasa dakwah Islam Raja Ampel yang bijaksana, kita terbebas dari belenggu jahiliyah dipersatukan dalam satu akidah Islamiyah. Di bawah bendera Muhammad SAW.  ERNAS@

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Telegram
WhatsApp