SOLUSI KEKERINGAN SPIRITUAL UMAT
Tarekat adalah jalan menuju Allah, sebagai dasar untuk membuktikan buahnya
dalam menjalankan syariat. Tarekat bertujuan membersihkan hati
dari segala perbuatan yang mengakibatkan kita lupa kepada Allah SWT
(Habib Lutfi bin Yahya)
Sebuah rumah di kawasan Noyontaan Gang 7 Pekalongan selalu ramai dikunjungi para tamu. Pintu rumah itu selalu terbuka dan tidak pernah menolak para tamu yang datang. Mereka datang dari lingkungan Pekalongan dan luar Pekalongan bahkan luar Jawa. Demikianlah suasana sehari-hari di kediaman Habib Lutfi bin Yahya, pemimpin tertinggi Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMA).
Memang, tarekat telah menjadi alternatif utama solusi kekeringan spiritual masyarakat. Secara fitrah, manusia merindukan kembalinya nilai-nilai ilahiyah dalam bathinnya yang telah tercerabut oleh keadaaan zaman yang melingkupinya. Yang justru mengasingkan dan menjauhkannya dari Allah SWT. Lihat saja anggota JATMA yang mencapai 30 juta lebih dengan 60 macam tarekat menunjukkan bahwa tarekat menjadi salah satu pilihan ibadah, terutama sebagai upaya lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Boleh dibilang, tarekat sudah menjadi trend atau kecendrungan dalam hal pemikiran atau gaya hidup masyarakat dewasa ini.
Secara etimologis, tarekat memiliki banyak arti : jalan, cara (al-kaifiyyah); metode, system (al-uslub); aliran, haluan (madzab). Secara epistemolgis (istilah) tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Allah dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan.
Sebagai jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, orang yang mengamalkan tarekat tidak dibenarkan meninggalkan syari’at, bahkan pelaksanaan tarekat merupakan pelaksanaan syari’at agama. Oleh karena itu, melakukan tarekat tidak bisa sembarangan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau syekh. Syekh inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya yang melakukan tarekat. Bahkan ia menjadi “perantara” (wasilah) antara murid dan Tuhan dalam beribadah. Karena itu, seorang syekh haruslah sempurna suluk-nya (perjalanannya) dalam ilmu syari’at dan hakikat menurut al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’.
Mereka, para mursyid inilah yang secara estafet memimpin tarekat-tarekat yang ada. Bahkan tidak sedikit dari para mursyid sudah mencapai maqam kewalian. Maka tidak heran, jika seorang mursyid menjadi tumpuan bagi kelangsungan suatu kelompok tarekat. Namun, menurut Habib Lutfi, tidak semua jenis tarekat adalah mu’tabar (silsilah ajarannya jelas, diakui). Masih terdapat beberapa tarekat yang tidak muktabar. Maka untuk tarekat yang mu’tabar perlu dibuatkan wadah untuk menjaganya dari ajaran-ajaran yang keluar dari jalur tersebut. Pengamal tarekat menurut Habi Lutfi itu seperti seseorang yang minum obat dengan resep dokter.
Mengamalkan doa dan wirid yang jelas silsilahnya dari Rasulullah yang diajarkan secara turun-temurun kepada pengikutnya.Sementara pengamal wirid yang bukan tarekat seperti orang yang membeli obat warungan, yang tak diberi ijin dokter dan dijual bebas.Sehingga, kalau terjadi apa-apa kurang bisa dipertanggung jawabkan.
Di Indonesia, beberapa aliran tarekat yang muktabar antara lain Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Khalidiyah, Tijaniyah, Syatariyah, Syadziliyah, Alawiyah, Khalwatiyah dan Idrisiyah. Kebetulan, tarekat-tarekat ini berlatar belakang Nahdlatul Ulama, sehingga organisasi yang mewadahi tarekat-tarekat diberi nama Jam’iyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah (JATMA). Jam’iyah yang dididirikan pada tahun 1957 ini terus berkembang hingga saat ini anggotanya mencapai 30 juta lebih.
Habib Lutfi sendiri yang banyak orang menyebut sebagai ahlu kasysyaf (martabat mendekati seorang wali) adalah khalifah pada tarekat Syadziliyah. Posisi beliau inilah yang menjadikan beliau sebagai tumpuan ummat. Setiap hari ada saja yang ingin dibaiat untuk masuk tarekatnya. Tak jarang, jika jumlah yang dibaiat sangat besar, Habib Lutfi menyempatkan diri datang ke sana.
Di dalam JATMA, beliau mengemban posisi sebagai Rais ‘am Idarah Aliyah (struktur tertinggi). Sebagai pendamping beliau di posisi ketua Tanfidziyah, adalah K.H. Lutfil Hakim Muslich dari Mranggen, Semarang. Pada akhir Maret 2005 yang lalu JATMA melangsungkan Muktamarnya yang ke-10. M. Nawawi