RIHLAH KE HADRAMAUT 2006
Kisah Perjalanan dari Yaman
Assalamu’alaikum Hadhramaut, Assalamu’alaikum Tarim
Malam itu “Tim Sembilan” baru keluar dari Bandara Sana’a. Pemeriksaan paspor berjalan lancar, tapi entah mengapa tiba-tiba petugas Imigrasi Repubik Demokrasi Yaman mengatakan ijin masuk dan visa saja tidak cukup. Mereka minta harus ada pihak yang menjamin selama di Yaman. Tapi untung, pihak Tour & Travel “Alisan”, Ali Muhammad Mustafa segera minta dikirim surat jaminan itu dari teman di Tarim. Melalui faksimili, surat keterangan yang diminta pun akhirnya masuk ke meja Imigrasi Yaman.
Alhamdulillah, kami yang terdiri dari sembilan orang (“Tim Sembilan”) keluar Bandara Sana’a dengan aman, disambut angin samum padang pasir yang panas itu. Ada yang kaget ketika usai keluar gerbang, karena bagaikan dihadang perang, di altar Bandara ada sebuah panser Angkatan Darat diparkir. Tapi ternyata tak apa-apa dan tidak ada apa-apa, “Ini hal lumrah biasa, untuk penjagaan saja!” ujar Raddad, sopir taksi yang ramping lagi cekatan itu kepada wartawan CN.
Usai shalat Maghrib di Bandara, rombongan “Walisongo” makan malam di sebuah mat’am (restauran) di jantung kota, yang hari-hari itu berdebu. Kami tidak tahu harus makan apa, tapi ada petunjuk dari “komandan” perjalanan agar semua menu dikeluarkan. Setelah menyeruput teh panas khas Yaman yang dihidangkan terlebih dulu, maka tiba-tiba menyusulllah “menu spesifik” roti maryam ukuran jumbo digotong dua orang. Salah seorang anggota rombongan sekonyong terbahak-bahak seraya nyeletuk: “Belum makan sudah kenyang duluan jika melihat roti sebesar ini!” katanya sambil mencubit roti untuk dicicipi. Ia mengaku seumur hidup tidak pernah melihat roti segede itu.
Roti yang dua porsi ini “dilengkapi” madu, yang dituangkan di piring-piring kecil. Nah, madu spesifik Yaman ini yang “laris” diminum para jama’ah peziarah. Karena sudah terlanjur dipesan, komandan “Walisongo” (Dr. H. Untung S,.Rajab, yang kerap dipanggil syaikh oleh rekan-rekannya) ini memerintahkan agar roti diberikan pada orang-orang di luar mat’am yang menunggu. Jiwa sosial komandan perjalanan ini memang sangat tinggi, hingga responsnya pun terasa cepat sekali.
Di Yaman, angka pengangguran ternyata kian bertambah. Maka di depan restauran dan hotel serta di jalan-jalan sering dijumpai orang mencari pekerjaan. Rupanya ini erat hubungannya dengan nilai investasi asing di sini sangat rendah, hingga antara lain membuat lapangan pekerjaan semakin sempit. Oleh karena itu rakyat mengeluh, dan mulai berani mengeritik pemerintah. “Apa kemajuan Yaman sejak dipimpin Presiden Ali Abdullah Saleh?” ujar seorang laki-laki bernada tanya dengan sarung dipingkis, dan di celah ikatan sarungnya melekat zambia (clurit khas Yaman). Ia seolah mewakili seluruh rakyat Yaman yang kecewa karena Yaman “berjalan di tempat”. Sementara secara politik di sini tidak ada keterbukaan, sehingga keamanan terasa sangat ketat. Orang takut masuk Yaman karena negeri ini tertutup. Penguasa membuat aturan dan undang-undang serba tak jelas. Tapi anehnya, konon, aliran sempalan yang berhaluan keras sering “melarikan” diri ke negeri ini (dari kawasan Arab) untuk bersembunyi.
Usai sanatap malam (asya’), kami yang malam itu mau meneruskan perjalanan ke Hadhramaut terpaksa harus urung. Karena petugas pinggiran kota Sana’a yang menghentikan kendaraan meminta surat keterangam (tasrikh) dari Departemen Pertahanan. Surat keterangan yang dimaksud menjelaskan indentitas dan jumlah rombongan serta nopol (nomer polisi) mobil yang dinaiki plus sopir yang harus bertanggung-jawab.
Rombongan “Walisongo” sudah tak sabar, mereka ingin cepat sampai di Hadhramaut. Tapi ternyata kami harus masuk hotel semalam di Sana’a (Ibukota Republik Yaman). Kami menginap di International Royal Hotel, di kawasan tak jauh dari Qasr al-Riyasah (Istana Presiden). Rombongan ini disebut “Walisongo” karena berjumlah sembilan, secara tidak sengaja – karena memang jumlah “kloter” peziarah itu adalah sembilan person.
Toh akhirnya rombongan harus menginap di hotel. Malam itu hampir pukul 24.00 di Sana’a, hari parak subuh. CN dan rombongan menginap. Pagi hari, saat futur (sarapan) di lantai 14 kami menikmati panorama kota tua Sana’a di hamparan tandus padang pasir. Para peziarah dari Indonesia ini menyaksikan angin berdebu menyapu kota sambil menikmati roti dan mencicipi qahwa (kopi) Yaman.
Di hotel bintang empat itu, kami bertemu dua orang Turki, yang juga berziarah di Sana’a. Mereka berdua mencari makam seorang ulama Sunni, Ahmad bin Idris. Dicari-cari tidak dapat, maka keduanya tertarik untuk ke Hadhramaut bersama-sama. “Saya sudah mendengar banyak tentang Hadhramaut, tapi saya tidak tahu dengan apa harus ke sana. Saya mengira hanya bisa sampai di Sana’a ini saja!” ujar Omer Abubakr Al-Maliky, seorang pemimpin Tarekat Arrifa’iyah di Angkara (Turki) itu kepada CAHAYA NABAWIY. Bersama temannya, seorang pengusaha konveksi, Mehmet Yavuz Kurucu, ia memutuskan bergabung dengan kami ke Hadhramaut.”Berziarah ke Hadhramaut memang cita-cita kami sejak dulu, tapi saya tak ada izin masuk ke Hadhramaut,” kata Omer Abubakr, yang secara genealogis dari keturunan al-Hasan itu. Baik Omer maupun Mehmet, ternyata pernah belajar di Ribat Al-Maliky di Mekkah (Saudi Arabia) beberapa tahun silam.
Kami berombongan siang itu akhirnya berangkat melalui darat menuju ke Hadhramaut. Alhamdulilah perjalanan wisata rohani ini lancar saja. Pihak Tour & Travel ALISAN Jakarta yang membimbing perjalanan ziarah ini menyediakan 4 mobil taksi, merk Hyundai tipe Sonata. Perjalanan yang ditempuh untuk jarak sekitar 800 sampai 850 kilometer itu sekitar 12 jam. Mobil berjalan dengan kecepatan rata-rata 140 sampai 150 km per jam di atas jalan lurus aspal hotmix. Rombongan tiba sekitar pukul 21.00 malam di Tarim, dan kami menginap di syuqqah (apartemen) dekat Zambal (pemakaman auliya itu). Semua anggota rombongan merasa lega, setelah tegang dalam perjalanan beberapa lama. ”Assalamu’alaikum Hadhramaut, Assalamu’alikum Tarim, Assalamu’alikum Auliya’, Assalamu’alikum ulama….!”, seru lirih seorang peziarah. Kenikmatan ibadah memang di Mekkah dan Madinah (plus ziarah Rasul). Tapi kenikmatan ziarah-ziarah yang lain tentu adalah Hadhramaut!
Hadhramaut adalah padang sahara. Negeri ini terdiri dari pasir dan gunung-gemunung bebatuan (bahkan ada Rub’ al-Khali, separuh sahara vakum, konon kawasan itu dulu dihuni kaum Yahudi yang diazab Allah dengan “bom nuklir”? sampai musnah hampir semua.
Tapi mengapa, seorang seperti Imam Ahmad bin `Isa Al-Muhajir berhijrah, dari negeri Irak ke Hadhramaut? Ternyata di negeri Abunawas itu telah terjadi chaos: fitnah teologi dan politik. Aqidah dirusak, persatuan dan ukhuwwah terkoyak, maka tempat yang jauh jadi tujuan untuk mengembangkan dakwah Islam mengibarkan panji Lailaha Illallah. Begitulah dari Hadhramaut, pria yang bergelar Al-Muhajir Ilallah (berhijrah kepada Allah, yakni pada kebenaran Ilahi)ini mengembangkan ajaran kakeknya, Nabi Muhammad SAW ke seluruh penjuru. Anak-cucunya kemudian menyiarkan Islam ke sebagian negeri-negeri di Afrika, anak benua India dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia).
Hadhramaut memang gersang dan berbatu-batu, alamnya keras, cuacanya ganas dan iklimnya “buas”. Tapi kelembutan perilaku penghuninya yang sufistik membuat alam yang keras itu jadi lunak. Masyarakat di sini terasa lembut dan berakhlaq tinggi. Timbul harapan: Andai saja semua anak keturunan Al-Muhajir yang di Indonesia ini menerapkan tetesan ‘kelembutan’ itu hingga mereka semua bisa menjadi tuntunan dan bukan sekedar tontotan Tim CN/mb/Ft. Ist. & mb.