Matahari di Bumi Tosari
Salah satu ikon Pariwisata Kabupaten Pasuruan adalah daerah Tengger. Daerah ini terkenal karena keberadaan kawasan wisata Gunung Bromo. Didukung oleh keadaan alam yang sangat indah. Kuatnya adat-istiadat Tengger, suku asli daerah Bromo juga menjadi daya tarik tersendiri.
Pada waktu-waktu tertentu, malam minggu atau para acara perayaan upacara Hindu banyak terlihat wisatawan berkeliaran di daerah Tosari. Dari aspek budaya dan suku, Tosari masuk dalam suku dan budaya Tengger. Disamping itu, Tosari juga merupakan daerah penghasil sayur-mayur. Jalan berliku, kadang turun dan menanjak menjadikan tantangan tersendiri. Udara Tosari yang segar tanpa polusi sangat baik untuk kesehatan.
Pada masa sebelum tahun 2000 jumlah umat Islam di Tosari 40 %. Mayoritas warga Tengger menganut agama Hindu. Warga Kristen juga ada, namun jumlahnya masih sedikit. Saat ini, setelah 6 tahun gerakan dakwah dilancarkan, jumlah umat Islam meningkat sekitar 70 %.
Sebelum Tahun 2000
Dimanakah Islam Tosari ? Itulah masalahnya. Jarang sekali diangkat wacana tentang keadaan Islam di Tosari. Sebelum memasuki millenium ketiga ini, Islam di Tosari mengalami nasib kurang menguntungkan. Hampir di seluruh wilayah Tosari mengalami kekurang-pengembangan ajaran agama Islam.
Banyak faktor, diantaranya adalah kurangnya juru dakwah atau warga menyebutnya “Guru Tugas”. Kedua, tidak adanya kesinambungan dakwah dari juru dakwah sebelumnya, akhirnya terjadilah masa fatrah (kekosongan dakwah). Ketiga, kurangnya kesadaran warga dalam beragama. Di Tosari, bukannya Islam tidak ada sama sekali. Karena kurangnya kesadaran beragama inilah menjadikan Islam di Tosari kalah dengan pekatnya kabut dan dinginnya udara. Keempat, masih kuatnya budaya Hindu dan adat istiadat setempat. Hal ini dibuktikan dengan fakta banyaknya warga yang kembali ke agama Hindu karena kurangnya pembinaan.
Bukan hal mudah melakukan dakwah di Tosari. Medan yang berat, budaya yang kuat, masyarakat yang sangat awam, belum lagi “gangguan” dari agama Hindu dan Kristen yang juga menjalankan misi yang sama. Terkadang juru dakwah kurang sabar, kurangnya fasilitas pendukung dakwah dan kurangnya strategi dakwah yang dijalankan merupakan tantangan dakwah di Tosari.
Meretas Kebekuan Dakwah
Habib Taufik bin Abdul Qodir Assegaf, pengasuh ponpes Sunniyah Salafiyah Pasuruan dalam beberapa kali kesempatan ceramah sering mengungkapkan bahwa masih banyak daerah di Pasuruan ini yang belum tersentuh oleh Dakwah Islam. Sangat ironis, jika Pasuruan dikenal tempat lahirnya ulama-ulama besar namun masih banyak wilayah yang tidak mengenal Islam. Berulang kali pula Habib Taufiq mengajak kalangan ulama untuk memperhatikan keadaan Islam di Tosari. Dengan nada keras, pernah beliau mengungkapkan, “Kita ini kalah dengan Wali Songo. Mereka hanya sembilan orang tapi bisa mengislamkan seluruh wilayah Jawa. Di Pasuruan ini ratusan ulama tapi tidak bisa mengislamkan Wonokitri (sebuah desa di daerah Kecamatan Tosari).
Komitmen beliau ini kemudian terwujud dengan pengiriman santri untuk berdakwah di wilayah Tosari. Desember 1999 dan Januari 2000 beliau mengirimkan 15 orang santri untuk bertugas sebagai juru dakwah di wilayah kec. Tosari dan kec. Puspo yang tersebar di empat wilayah.
Empat wilayah tersebut adalah desa Jetak, Baledono, Podokoyo, dan Wonokoyo. Wilayah Jetak dipimpin oleh Masun didampingi tiga orang yaitu Agus, Nasir dan Sofyan. Setahun kemudian tinggal Nasir yang tetap di Jetak. Sementara yang lain, seperti Masun masuk wilayah Junggo dan pindah lagi ke Krajan. Sementara Agus dan Sofyan setelah setahun mereka pulang.
Sedangkan wilayah Baledono dipimpin oleh Imam Musaddad dengan didampingi oleh Hasbulloh, Nawawi dan Jamal. Imam Musaddad sampai hari ini tetap membina wilayah Baledono, dan bermukim di Tosari. Tepatnya di gedung pesantren Sunniyah Salafiyah di Tosari. Ia juga melebarkan dakwah ke wilayah Sinogiri, Purwono dan Tosari.
Terakhir wilayah Wonokoyo dipimpin oleh Syakur didampingi oleh Abdulloh (Sedaeng), dan Iswandi.
Dari empat wilayah dakwah ini, para santri kemudian melebarkan sayap dakwah. Untuk wilayah Jetak melebar ke desa Sinogiri. Desa Baledono melebar ke desa Tanjung, Purwono dan Tegal Poso. Daerah Podokoyo melebar ke desa Wonokitri dan Sedaeng. Untuk daerah Wonokoyo melebarkan wilayah dakwah hingga wilayah desa Krajan yang masuk kecamatan Puspo.
Pada bulan Desember 2006, Sunniyah Salafiyah kembali mengirimkan santri. Muhamad Muslikh atau yang lebih dikenal dengan Cak Mamad (penyiar Radio Dakwah Suara Nabawiy) dikirim ke daerah Wonomerto.
Menjaga Tradisi, Mencipta Budaya
Suku Tengger, memiliki kurang lebih 25 macam upacara adat dan tradisi. Jelas merupakan tantangan yang tidak mudah untuk “mengarahkan” warga kepada cahaya hidayah Al-Islam. Imam Musaddad salah satu, juru dakwah wilayah Baledono dan sekitarnya mengungkapkan, “tidak mungkin kita melarang warga dengan tetap berpegang kepada tradisi yang ada. Alhamdulillah sebagian tradisi sudah mereka tinggalkan seiring dengan masuknya mereka ke Islam. Namun tetap ada beberapa tradisi yang “tidak bisa” ditinggalkan meski mereka sudah beragama Islam.”
Tradisi yang sudah mengakar ini jelas tidak serta merta dapat ditinggalkan. Mereka berpandangan bahwa tradisi tetap harus dilaksanakan. Adapun Islam adalah keyakinan baru yang juga tetap harus dilaksanakan semua kewajibannya. Seperti halnya dengan perayaan hari raya Karo. Bagi mayoritas warga, Karo tidak dapat ditinggalkan begitu saja meski dengan alasan keyakinan. Terutama bagi masyarakat Tengger bagian selatan, jika tidak melaksanakan Karo mereka akan menjadi gila. Keyakinan ini mereka pegang teguh. Sampai saat ini Karo merupakan upacara yang tetap dilaksanakan oleh warga Tosari meski sebagian dari mereka beragama Islam.
Ustadz Basori, seorang juru dakwah asal desa Pleret-Pasuruan, yang telah menetap di Tosari selama 15 tahun mengubah perayaan Karo ini dengan membaca doa bersama di musholla atau di masjid di masing-masing desa. Ia menyebutnya sebagai Tahlil Akbar.
Di wilayah Tosari yang lain pun kini dengan mudah ditemukan kegiatan-kegiatan agama Islam. Mulai dari majlis Yasinan-Tahlil, Maulid Diba plus rebana al-Banjari, Majlis Maulid Dliyaul Lami’, Majlis Maulid Simtud Dluror, Majlis Rotibul Haddad dan masih banyak lagi.
Budaya Islam
Dengan semakin syiarnya Islam di Tosari, lahir pula tradisi-tradisi baru yang diharapkan mampu mengubah keyakinan warga. Maka oleh para juru dakwah, diciptakanlah budaya-budaya Islami di Tosari. Maka jangan heran jika anda ke Tosari, lantunan ayat al-Qur’an, dendang Sholawat Nabi diiringi rebana al-Banjari, atau majlis-majlis Rotib, majlis Maulid Diba’ mudah ditemui. Dalam seminggu acara-acara ini tidak dilaksanakan dalam satu hari. Misalnya majlis rotib, setiap malam ada majlis rotib.
Untuk melestarikan budaya Islami tersebut semua juru dakwah terjun langsung di kalangan anak-anak. Mereka adalah investasi jangka panjang agama Islam di Tosari. Maka jangan heran jika anda mengikuti suatu majlis rotib di sebuah rumah, anaknya Islam tapi orang tuanya masih beragama Hindu. Anggota majlis campur antara anak-anak, Bapak-bapak dan ibu-ibu.
Pada bulan Rabiul Awal dilaksanakan Rotib Akbar dilangsungkan bersama peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Perhelatan mulia ini dilaksanakan di Masjid al-Mujahidin Tosari sebagai acara puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Jamaah dari seluruh wilayah Tosari hadir. Mereka datang dipimpin masing-masing juru dakwah atau guru tugasan di masing-masing desa. Tahun ini acara akbar ini insya Allah akan dilaksanakan hari Sabtu, tanggal 18 Robiutsani 1428 H/ 5 Mei 2007.
Walhasil, juru dakwah harus kreatif demi menanggulangi budaya-budaya yang tidak sesuai dengan Islam. Nanang, juru dakwah desa Kertoanom mengatakan, “Jika Ustadz (panggilan akrab Habib Taufiq) ingin menambah santri tugasan, harapan saya yang menguasai banyak bidang kesenian Islami.”
Menjaga Air Tetap Tenang
Seorang tokoh masyarakat di desa Kertoanom-Tosari mengatakan, “Dakwah ning masyarakat iku kudu nyemplung mesisan, mung ojo nganti kinyut”.( Dakwah di Masyarakat itu harus benar-benar (masuk sungai), tapi jangan sampai hanyut). Adalah Nanang, juru dakwah dari Sunniyah Salafiyah yang mendapat pesan berharga tersebut. Dia adalah santri yang bertugas dakwah di wilayah Kertoanom. Awal 2000 dia masuk Kertoanom dan kini sudah berkeluarga.
Bukan hal yang mudah terjun ke masyarakat dengan latar belakang dan kondisi yang sangat berbeda dengan daerah asal. Oleh karenanya untuk menjaga keberlangsungan dakwah ini Habib Taufiq melakukan trik khusus.
Untuk kali pertama datang di setiap lokasi dakwah pengasuh Sunniyah Salafiyah ini mengirimkan empat orang santri. Kemudian kurang lebih selama setahun diberlakukan masa percobaan dakwah. Selama masa percobaan ini Habib Taufiq kerap kali mengadakan konsultasi dengan masyarakat setempat tentang segala hal berkenaan pribadi dan kegiatan santri dalam menjalankan misi dakwah ini. Hasil konsultasi ini dijadikan pijakan utama untuk memilih satu dari keempat santri tersebut yang nantinya akan tinggal di wilayah tersebut.
Hasil dari strategi tersebut sampai saat ini masih merupakan cara paling jitu. Terbukti di seluruh wilayah Tengger, mereka berhasil menjalankan misi dakwah.
Untuk menjaga “air tetap tenang”, kepada santri yang bertugas, Habib Taufiq berpesan, “Jangan ikut politik dan jangan menghalangi orang berdakwah. Berdakwahlah sesuai orang di sana. Dahulukan yang lebih penting dari yang penting. Jangan karena persoalan sepele, jadi konflik, target utama jadi terbengkalai. Dakwah ini butuh waktu, sistem dan kesabaran.”
Habib Taufiq mengakui bahwa semua keberhasilan dakwah ini karena semata-mata bukan usaha, murni bantuan Allah SWT. “Kita berharap kaum muslim ini bisa bekerja sama untuk dakwah. Kita sering kecolongan dengan pihak kristen. Ini baru Pasuruan yang katanya banyak ulama. Ada tiga pihak menurut saya yang harus bekerja sama yaitu ulama, umara’ dan aghniya’, kalau ini bersatu insya Allah akan lebih berhasil dakwah ini,” tambahnya.
Strategi kedua yang telah dijalankan oleh semua juru dakwah Sunniyah Salafiyah adalah meningkatkan kualitas silaturrahmi. Di sela-sela kegiatan dakwah secara langsung, seperti pengajian, rotiban, yasinan dan tahlilan, para juru dakwah ini menyempatkan diri mendatangi rumah-rumah warga. Keakraban sangat terasa ketika CN datang di Tosari. Beberapa kali CN harus menolak tawaran warga agar bermalam di rumahnya. Jangan kaget jika hampir di setiap rumah yang anda masuki anda ditawari makan.
Dakwah di Tosari tidak semulus keberhasilan hari ini. Sebelum dan selama perjalanan misi dakwah ini berulang kali terjadi sedikit “singgungan” dengan pihak non muslim ; Hindu dan terutama Kristen. Dengan pihak Hindu singgungan yang terjadi tidak sampai pada tahap kronis. Namun dengan pihak Kristen, sampai detik ini masih terasa posisi vis a vis ini.
Namun semuanya berhasil diatasi. Tantangan ini pula yang menjadikan semua juru dakwah dari berbagai kalangan dan pesantren bersatu mengembangkan Islam di Tosari.
Meski tetap harus diakui dalam beberapa hal kita tetap harus waspada terutama pada gerakan kristenisasi. Muhammad Nawawi