KUNJUNGAN MUNSHIB AL-HABSYI HADRAMAUT KE PONPES SUNNIYAH SALAFIYAH
Di pagi itu, Sabtu, 19 Rajab 1426, bertepatan dengan 15 Juli 2006, cuaca di Pondok Pesantren Sunniyah Salafiyah tampak sangat cerah. Secerah hati ratusan santri yang berkumpul di teras dan halaman Masjid Toha yang berada di areal pondok yang terletak di jalan Raya Sidogiri KM 1, Kecamatan Pohjentrek, Kraton, Pasuruan. Mereka tengah menunggu kedatangan tamu istimewa, yaitu Habib Ali bin Abdul Qadir bin Muhammad bin Ali Al-Habsyi, ulama kondang dari Hadramaut, Yaman sekaligus “Munshib” (pemegang maqom) keluarga besar Bin Husein Al-Habsyi dari saat ini.
Tak lama kemudian, Habib Ali bin Abdul Qodir beserta rombongan tiba di lokasi dengan didampingi Habib Taufiq Assegaf (pengasuh Ponpes Sunniyah Salafiyah) dan para habaib. Ini adalah kunjungan beliau yang kedua ke Indonesia (pertama tahun 1989).
Begitu Habib Ali bin Abdul Qadir memasuki Masjid Toha, para santri yang sejak pagi menunggu berebut bersalaman. Bagi mereka, tidak lengkap rasanya jika belum mencium tangan pemegang maqom Al Habsyi ini.
Acara yang disiarkan langsung melalui Radio Dakwah Suara Nabawiy ini diawali dengan lantunan Qasidah Habib Ali Al-Habsyi oleh seorang santri, dilanjutkan dengan tausiyah Habib Ali bin Abdul Qodir. “Alhamdulillah, Kita bersyukur atas nikmat Allah, setelah kita diciptakan sebagai manusia, dijadikan orang yang beriman, dan dijadikan pula sebagai penuntut ilmu,” kata beliau mengawali tausiyahnya. Suara cucu “Shohibul Maulid” yang mantap dan jernih itu seakan menyihir pendengarnya, mereka menyimak dengan seksama.
“Perkumpulan ini merupakan buah perjuangan dan dakwah Nabi SAW beserta para sahabat,” tambahnya. Rasulullah bersabda, “Aku diutus sebagai guru.” Beliau SAW adalah guru pertama kita. Menurut Habib Ali, setidaknya ada 4 ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan misi Nabi SAW
Pertama,
$tBur î£JptèC wÎ) ×Aqßu ôs% ôMn=yz `ÏB Ï&Î#ö7s% ã@ß9$# 4 û’ïÎ*sùr& |N$¨B ÷rr& @ÏFè% ÷Läêö6n=s)R$# #n?tã öNä3Î6»s)ôãr& 4 `tBur ó=Î=s)Zt 4n?tã Ïmøt6É)tã `n=sù §ÛØt ©!$# $\«øx© 3
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun..” (QS Ali Imran :144)
Ayat ini mengajak kita tetap berpegang teguh mengikuti sunnahnya, sekalipun beliau SAW telah wafat.
Kedua,
$¨B tb%x. î£JptèC !$t/r& 7tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur tAqߧ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhÎ;¨Y9$#
“ Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi” (QS Al-Ahzab : 40)
Ayat ini memberi isyarat bahwa Nabi bukan diutus hanya untuk keluarganya, sukunya, maupun bangsanya saja, tetapi beliau diutus untuk seluruh alam.
Ketiga,
ôs% Nà2uä!%y` ÆÏiB «!$# ÖqçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7B
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan”. (Al-Maidah 15)
Merurut Ibnu Abbas, cahaya (nur) yang dimaksud adalah pancaran cahaya Nabi Muhammad SAW. Ini adalah isyarat bahwa Nabi SAW dan Al Qur’an tidak bisa dipisahkan. Mengikuti Al Qur’an adalah dengan mengikuti Nabi, sehingga Aisyah pun menyifatkan bahwa akhlaqnya Nabi adalah Al Qur’an.
Keempat,
Ó£JptC ãAqߧ «!$# 4 tûïÏ%©!$#ur ÿ¼çmyètB âä!#£Ï©r& n?tã Í$¤ÿä3ø9$# âä!$uHxqâ öNæhuZ÷t/
“Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya, bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka (muslimin). (QS, Al-Fath : 29)
Ayat terakhir ini mengajak kita untuk peduli terhadap sesama muslim saling tolong menolong dalam kebaikan dalam satu keluarga besar Islam.
Dalam kesempatan itu pula, Habib Ali juga mengomentari berbagai musibah dan bencana alam, “Kita sebagai umat Islam tidak perlu bingung dengan kejadian-kejadian itu, sebab semuanya telah digambarkan oleh Nabi SAW sebagai proses menuju kiamat. Semuatanda kiamat, dari yang kecil sampai besar pasti terjadi. Sebagai muslim, kita harus menghadapinya dengan sabar dan berusaha tetap menjadi pembela agama Allah,” ujar beliau.
Memang, Allah mempunya sifat Jalal (Perkasa) dan Jamal (Indah), dengan sifat Jalal Allah menguji kita lewat penyakit, cobaan dan sebagainya. Dengan sifat Jamal Allah memberi kita kelapangan dan kemudahan. Maka kewajiban kita dalam menyikapi sifat Jalal dengan bersabar, dan sifat Jamal dengan bersyukur.
Namun, di balik itu semua, ada kabar gembira, karena Nabi bersabda: “Yang paling banyak mendapat ujian dari Allah adalah para nabi, kemudian orang yang kedudukannya di bawah para nabi”.
Dengan kata lain, semakin tinggi derajat seseorang, semakin besar pula cobaannya. Pada hakikatnya Allah ingin mengangkat derajat umat Islam
Di akhir tausiyahnya, imam Masjid Riyadh, Seiwun ini menekankan tentang keutamaan mencari ilmu. Bersungguhlah dalam mencari ilmu, karena Allah mengangkat derajat orang orang beriman dan orang berilmu dengan derajat yang tinggi, Sebagian ulama berkata, “Semakin bertambah ilmuku, aku pun semakin tahu dengan kebodohanku.” Dan ilmu mengajak untuk beramal, kalau tidak diamalkan, maka barokahnya akan pergi.
Ketika disinggung tentang kemasyhuran kakeknya, Habib Ali Al-Habsyi dengan maulidnya “Simthud Durar” beliau menyatakan, Habib Ali memang lebih dikenal sebagai penyusun maulid. Padahal bukan hanya itu, beliau adalah “Syaikhul mutaakhirin” (guru para ulama abad akhir) dan beliaulah yang pertama kali membangun pesantren di Hadramaut, pada tahun 1296 H/1875 M. “Wawasan keilmuannya sangat tinggi,” tutur Habib Ali bin Abdul Qadir yang kini menjadi penggantinya sebagai pengasuh Ribath Seiwun.
Memang, hampir semua ulama’ besar di dunia saat ini punya kaitan ilmu dengan Habib Ali Al-Habsyi. Diantara murid-murid beliau adalah, Habib Abu Bakar Assegaf (Gresik), Habib Alwi Al-Habsyi (Solo) Habib Alwi bin Segaf Assegaf (Pasuruan) Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya) Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf (ayah Habib Abdul Qadir, Jeddah).
Habib Ali Al-Habsyi lebih masyhur dengan kitab maulidnya “Simtud Durar” karena cintanya pada Nabi SAW, beliau juga menggubah ratusan syair dalam bahasa Arab, sehingga dijuluki sebagai Sayyidul Maddahin (pemimpin para pemuji Nabi) yang ke tiga, setelah Imam Al-Bushiri dan Abdurrahim Al-Bur’iy.
Usai menyampaikan tausiyah, atas permintaan Habib Taufiq Assegaf, Habib Ali bin Abdul Qadir kemudian memberi ijazah pada para hadirin.
“Saya ijazahkan pada kalian, sebagaimana ayahku telah memberiku ijazah, dari ayahnya, dari Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, segala hal yang mendekatkan kepada Allah SWT, yaitu ilmu-ilmu para Sadah Alawiyyin, dalam bentuk amalan maupun nukilan, doa-doa, wirid, ratib, dzauq, kitab shahih Bukhori-Muslim dan kitab shahih lainnya, serta kitab para Sadah Alawiyyin dengan sanad yang bersambung pada Imam Bukhori dan para imam, sebagai ijazah umum. Saya izini pula untuk memberi ijazah dengan syarat-syaratnya….”
Ijazah beliau hadirin dengan ucapan, “Qobilnal ijazah,(Kami terima ijazahnya)“
Di akhir acara, Habib Ali sempat mengucapkan terima kasih dan menyatakan senang datang di Indonesia. Yang menarik, beliau mengungkapkannya dengan bahasa Indonesia, sekalipun agak kesulitan. Tentu saja hal ini membuat suasana terasa semakin akrab.
Masun Said Alwy
Nama : Habib Ali bin Abdul Qadir bin
Muhammad bin Ali Al-Habsyi,
Lahir : Al-Hami, Hadramaut 1944.
Pendidikan : Ribath Seiwun, Hadramaut. Universitas Doha, Qatar dengan ijazah S1,
Universitas Aden dengan gelar Bacehelor of Art dalam sastra Inggris
Jabatan : Pengasuh Ribath Seiwun
Anggota Majelis Ulama Yaman Dosen Universitas Al-Ahqaf, Yaman