Pesantren Sunniyah Salafiyah Mencetak Dai Handal
Kalau Anda meluncur dari Surabaya ke arah timur, sebelum pasar Kraton, Pasuruan, ada jalan ke selatan. Berbeloklah ke sana. Pohon-pohon rindang yang berbanjar di kanan kiri jalan membuat perjalanan Anda terasa sejuk dan adem. Hanya dalam hitungan menit – sekitar 5 menit – Anda akan melihat sebuah bangunan masjid yang cukup megah, dengan saputan warna kuning nan mewah, di sebelah kanan jalan. Di belakangnya terdapat bangunan dua lantai yang memanjang ke barat, bersebelahan dengan bangunan dua lantai yang masih dalam tahap pembangunan. Di seberang jalan terdapat bangunan kantor dan deretan kantin serta wartel yang memanjang ke utara.
Itulah kompleks Pesantren Sunniyah Salafiyah yang terletak di Desa Sungi Wetan, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Di belakang masjid dua lantai itu adalah gedung-gedung pemondokan santri. Sedang di seberangnya adalah kantor Pesantren Sunniyah Salafiyah, kantor majalah Cahaya Nabawiy (CN) dan radio Suara Nabawi (SN).
Letaknya memang di daerah pelosok. Lokasi pondok itu sendiri berada di tengah bentangan persawahan nan luas.
Lima tahun lalu daerah ini masih berupa sawah-sawah. Jika malam hari hampir tidak ada orang yang berani melewatinya. Sangat rawan, kata orang. Tapi sejak adanya pesantren Sunniyah Salafiyah, semuanya berbalik. Daerah ini menjadi ramai oleh lalu-lalang santri, gema adzan dan pengajian. Menjadi daerah yang hidup, setelah menjadi daerah yang mati. Lebih-lebih pada Ahad pagi. Lokasi itu dipenuhi ribuan orang yang menghadiri pengajian rutin di masjid Toha tersebut. Pengajian itu diasuh langsung oleh Habib Taufiq bin Abdul Qodir Assegaf, pendiri dan sekaligus pengasuh pesantren Sunniyah Salafiyah.
Tak hanya itu. Setiap ada acara peringatan hari-hari besar Islam, kawasan itu bisa macet total hingga siang hari. Keberadaan pesantren ini juga membawa berkah tersendiri bagi warga sekitar pesantren. Mereka kini tidak perlu lagi jauh-jauh untuk shalat Jum’at. Demikian pula dengan karyawan-karyawan pabrik yang ada di sekitar pesantren. Mereka semua bisa shalat Jum’at di masjid Toha. Ada pula warga masyarakat situ yang membuka warung guna melayani para santri. Sebagaimana kantin dan wartel milik pesantren dapat pula dimanfaatkan oleh warga kampung, selain oleh para santri sendiri.
Baru-baru ini, Habib Taufiq membuka lagi satu unit usaha untuk mendukung pesantren Sunniyah Salafiyah. Usaha baru itu berupa produksi sandal dan sarung dengan merek Sunsal yang merupakan akronim Sunniyah Salafiyah. Cucu Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf itu pun sudah menyiapkan lahan seluas 3 hektar, yang terletak di sekeliling masjid, untuk pengembangan pesantren. “Sebenarnya masih banyak warga yang ingin menjual tanahnya ke kita (Sunniyah Salafiyah-red). Kalau kita turuti semua, kapan membangunnya”, ungkap Habib Taufiq.
Sebelum menempati lokasi ini, aktifitas pesantren dipusatkan di kediaman beliau di belakang masjid Jami’ Al-Anwar Kota Pasuruan. Mula-mula hanya beberapa anak yang mengaji kepada beliau. Lama kelamaan jumlah santri bertambah dan bertambah, hingga akhirnya ada di antara mereka yang ingin menetap alias mondok sebagai santri muqimin. Persoalannya, di mana mereka akan ditempatkan? “Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Ada saja jalan untuk melancarkan niat mulia ini. Beberapa orang mewakafkan rumah dan tanah mereka untuk dijadikan pondok.
Pesantren Calon Dai
Cobalah Anda menelusuri lebih mendalam, dan akan Anda temukan bahwa Pesantren Sunniyah Salafiyah di Kraton menerapkan sistem pembelajaran yang agak berbeda dibanding pesantren-pesantren lainnya. Dalam tinjauan teori pendidikan mutakhir, apa yang dilakukan oleh Habib Taufiq di pesantrennya itu sepadan dengan konsep Accelerated Learning (percepatan pembelajaran) dan KBK (kurikulum berbasis kompetensi). Bagaimanakah itu?
Seluruh santri baru di sini diwajibkan masuk kelas I’dad. Kelas ini merupakan kelas pembekalan. Di sini diberikan materi-materi tauhid, fiqih dan lughah (bahasa Arab). Kelas ini dilaksanakan maksimal tiga tahun. Namun juga bisa ditempuh hanya satu tahun, tergantung kemampuan siswa. Setelah itu santri wajib memilih satu dari tiga kelas takhashshush (spesialisasi). Pertama kelas khusus Takhfidlul Qur’an (menghafal Al-Quran). Jangan salah, di kelas ini siswa tidak hanya menghafal Quran, tapi juga diberi materi-materi fiqih dan nahwu. Hanya saja, untuk kedua materi ini mereka tidak diwajibkan menghafal. Takhashshush kedua ialah Qismusy Syari’ah (kelas syari’ah). Di kelas ini santri berkonsentrasi untuk memperdalam fiqih, ushul fiqih, al-qowa’idul fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih), plus ilmu nahwu. Di sini para siswa diharuskan menghafalkan kitab Zubad yang berisi 1.000 bait nazhom (syair) fiqih. Ketiga, Qismul Lughah (kelas bahasa). Kelas ini memfokuskan siswa pada kajian ilmu-ilmu kebahasaan seperti nahwu, shorof, balaghah dan insya’ (mengarang dengan bahasa Arab). Mereka pun harus mengharalkan kitab Alfiyah Ibni Malik yang berisi 1.000 bait syair nahwu. Ilmu fiqih juga diajarkan pada mereka sebagai pelengkap pelajaran.
Ketiga kelas takhashshush ini dilaksanakan selama dua tahun. Kadang ada santri yang bisa mengikuti dua kelas takhashshush sekaligus. Misalnya ada santri kelas Takhassus Syari’ah, pada tahun pertama sudah mampu menghafal Zubad, maka dia boleh mengambil kelas Takhassus yang lain. Dengan demikian pada tahun ketiga dia akan lulus dua kelas takhashshush. Sekali lagi semuanya diserahkan dan bergantung pada kemampuan individu santri. Dengan demikian, dalam waktu 5-6 tahun para santri bisa menyelesaikan studinya di pesantren ini.
Sebenarnya Habib Taufiq masih punya angan-angan. Beliau berkeinginan membuka Qismul Takmilah (kelas penyempurna). Kelas ini nantinya merupakan kelas pembekalan para calon dai. “Agar mereka siap terjun berdakwah kita akan beri mereka bekal kemampuan bahasa Indonesia dan Inggris baik lisan maupun tulis, ditambah dengan ketrampilan Komputer,” ulas Habib Taufiq. Diajarkan bahasa Inggris agar jangkauan dakwah mereka bisa lebih luas. Sedang kemampuan di bidang komputer juga penting karena sekarang banyak kitab yang sudah menggunakan sistem program komputer.
Menurut Habib Taufiq, kelas penyempurna ini akan berlangsung intensif setiap hari selama setahun. “Untuk juara satu kelas ini akan diberikan beasiswa ke Hadramaut, Mesir atau Madinah,” ungkap beliau.
Yang selama ini berjalan, beberapa lulusan Sunniyah Salafiyah yang dinilai mampu dikirim ke daerah-daerah untuk berdakwah. Mereka tidak hanya dilepas begitu saja, tanpa bekas suatu apa. Guna mendukung keberlangsungan dakwah mereka, mereka diberi gaji secukupnya.
Begitupun untuk para ustadz di Sunniyah Salafiyah. Bahkan ada beberapa dari mereka yang diberi bisyaroh (honor) hingga Rp 100 ribu tiap sekali datang. “Kita ingin memberikan perhatian dan penghargaan. Ya…..tentunya semampu kita,” ujar Habib Taufiq. “Tapi ini membutuhkan dukungan banyak pihak. Kalau dulu yang belajar hanya 5 orang dan kini mencapai 50 orang misalnya, kan berarti membutuhkan dana yang lebih besar.” Muhamamd Nawawi