Perguruan Islam Tremas Pacitan – Jawa Timur

Melacak Kejayaan Dinasti At-Tarmasie

Selama lebih satu abad sebelum kemerdekaan RI, sebutan ulama at-Tarmasie telah mewarnai Dunia Islam. Tidak terbatas di dalam negeri, bahkan di negeri seperti Arab Saudi, yang saat itu menjadi gudangnya ulama, ulama at-Tarmasie telah menjadi pilar utama. Keterbatasan geografis, teknologi tidak menjadi penghalang melesatnya derajat kemuliaan. Dari bumi Tremas yang sangat terpencil hingga Makkah al-Mukarromah, nama-nama mereka senantiasa disebut dalam majlis-majlis Ilmu. Perguruan tinggi-perguruan tinggi di Iraq, Maroko, Mesir, Arab Saudi menggunakan karya-karya at-Tarmasie sebagai literatur wajib.

Pada abad 15 Nusantara berada di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit. Hampir seluruh masyarakat kala itu memeluk agama Hindu dan Budha. Kedua agama ini berkembang di Indonesia ketika di negara asalnya, India mulai mengalami masa-masa kemunduran. Begitu juga di daerah Wengker selatan atau di sebut juga pesisir selatan yang saat itu daerah ini masih dikuasai seorang sakti beragama Hindu yang bernama Ki Ageng Buwana Keling. Daerah ini dikenal sebagai cikal bakal daerah Pacitan.

Kegoncangan masyarakat pimpinan Ki Ageng Buwana Keling mulai terjadi seiring dengan datangnya para muballigh dari kerajaan Demak. Rombongan Muballigh ini dipimpin oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syekh Maulana Maghribi. Mereka meminta Ki Ageng Buwana Keling dan masyarakat setempat agar bersedia memeluk agama Islam. Peperangan pun tak terelakkan dan akhirnya dimenangkan oleh muballigh Demak.

Sejak saat itulah wilayah Pacitan dengan mudah memeluk agama Islam. Demikianlah dari tahun ke tahun sampai masa Bupati Jagakarya I berkuasa (tahun 1826), perkembangan Islam di Pacitan maju dengan pesatnya. Bahkan tiga tahun kemudian putra dari Demang Semanten yang bernama Bagus Darsokembali dari pesantren di Ponorogo di bawah asuhan Kiai Hasan Besari Sepuh. Dengan dukungan ayahnya R. Ngabehi Dipomenggolo, beliau mendirikan pesantren di Semanten (2 KM arah utara kota Pacitan). Setelah kurang lebih satu tahun beliau pindah ke Tremas. Inilah awal berdirinya pondok Tremas.

Perpindahan beliau ke daerah Tremas bukan tanpa alasan. Di antaranya adalah faktor kekeluargaan. Saat itu mertua dan istri beliau menyediakan sebidang tanah di daerah yang jauh dari pusat keramaian dan pusat pemerintahan itu. Sehingga menurut beliau cocok dijadikan tempat para santri yang ingin memperdalam ilmu agama. Bagus Darso adalah nama kecil KH. Abdul Manan pendiri pesantren Tremas.

Nama Tremas sendiri memiliki latarbelakang cerita yang cukup unik. Tremas berarti keris pusaka kecil yang terbuat dari emas. Keris ini awal mulanya dimiliki oleh Punggawa Keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot. Oleh raja Surakarta saat itu, Ketok Jenggot diperintahkan untuk membuka hutan di daerah Pacitan dengan bekal keris pusaka tersebut. Setelah berhasil, keris tersebut ditanam di tempat pertama kali ia membuka hutan. Akhirnya daerah tersebut disebut dengan Tremas.

Periodisasi Tremas

Secara garis besar periode kepemimpinan Tremas dapat dibagi menjadi dua yaitu masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Periode pertama Tremas dibawah asuhan KH. Abdul Manan (1830 – 1842). Sebagai jaman rintisan, jumlah santri saat itu belum terlalu banyak. Mertua KH. Abdul Manan, yakni Raden Ngabehi Honggowijoyo menjadi pendukung utama pesantren terutama dalam hal pendanaan pesantren. Pengajian-pengajian yang beliau berikan berkisar tentang masalah shalat dan ilmu tauhid. Beliau wafat pada minggu pertama bulan syawal tahun 1282 H. meninggalkan tujuh orang putera dan dimakamkan di desa asal beliau, Semanten.

Sejak kecil, KH. Abdul Manan dikenal anak yang cerdas dengan berbagai keistimewaan. Bahkan guru beliau, KH. Hasan Besari Sepuh, Tegalsari Ponorogo, saat itu mengakui bahwa kemuliaan KH. Abdul Manan sudah tampak sejak kecil.

Periode kedua, Tremas di pimpin oleh KH. Abdulloh (1862 – 1894). Beliau adalah putra pertama KH. Abdul Manan. Pada masa kecil beliau berguru langsung kepada ayahnya KH. Abdul Manan. Setelah cukup dewasa, KH. Abdul Manan mengajak beliau ke Makkah untuk belajar di sana. Setelah beberapa tahun di Makkah beliau pulang dan membantu mengajar di Tremas. Pada masa kedua inilah santri Tremas semakin berkembang. Tidak hanya dari Pacitan saja, ada yang dari Solo, Ponorogo, Salatiga, Kediri, Purworejo. Karena tidak ada kendaraan, maka untuk ke Tremas mereka harus berjalan kaki melewati gunung dan hutan yang lebat. Dengan bertambahnya jumlah santri, maka dibangunlah asrama santri di sebelah selatan jalan.  Asrama ini pada masa KH. Dimyathi dikenal dengan sebutan Pondok Wetan.

Pada masanya, KH. Abdullah sudah memulai pengkaderan dengan cara mempercayakan santri-santri lama untuk mengajar santri-santri baru. Sementara bagi mereka, santri lama, diberikan pelajaran kitab yang lebih tinggi. Beliau juga berhasil mendidik putra-putranya menjadi ulama besar di zamannya. Pada masa beliau ini pula muncul sebutan ulama At-Tarmasie yang sangat disegani di negara Arab. Bermula dari beliau yang pernah belajar di Makkah. Kemudian beliau mengirimkan putranya, yaitu Muhammad Machfudz untuk menuntut ilmu di Makkah. Setelah mukim di Makkah Muhammad Machfudz belajar kepada Syeikh Abu Bakar Syatha hingga menjadi ulama besar yang mampu mendudukkan dirinya sebagai salah seorang pengajar di Masjidil Haram.

Selang beberapa tahun, KH. Abdulloh menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya. Kali itu beliau mengajak ketiga orang putranya yaitu K. Dimyathi, K. Dahlan dan K. Abdur Rozaq. Dengan tujuan agar ketiga bersaudara ini belajar langsung kepada Syekh Machfudz. Selain tiga orang saudaranya sendiri terdapat KH. Hasyim Asy’ari Jombang yang juga pernah berguru ke beliau. Puluhan kitab yang telah Syekh Machfudz tulis. Beberapa diantaranya menjadi literatur wajib di perguruan tinggi Maroko, Iraq, Saudi Arabia dan sebagainya. Beliau terus bermukim di Makkah hingga wafatnya pada hari Rabu bulan Rajab tahun 1338 H. Dimakamkan di Makkah dengan upacara yang mengharukan di kalangan keluarga Syatha.

KH. Abdullah sendiri akhirnya wafat dan dimakamkan di Makkah al-Mukarromah pada Senin malam Selasa, tanggal 29 Sya’ban 1314 H. Sementara itu, pesantren yang selama ditinggal KH. Abdulloh ke Makkah, di pimpin oleh K. Muhammad Zaed sambil menunggu waktu pulangnya KH. Dimyathi untuk meneruskan perjuangan ayah dan kakeknya.

Sepulang dari Makkah, KH. Dimyathi (1894 – 19324) langsung memimpin pesantren Tremas. Di masanya Tremas mengalami perkembangan sangat pesat. Seiring dengan semakin dikenalnya kitab-kitab karya Syekh Machfudz dengan sebutan At-Tarmasie, baik di daerah Jawa dan Melayu. Pada masanya, santri Tremas hampir mencapai 2000 orang. Seluruh tanah milik pengasuh sudah dibangun asrama-asrama untuk santri. Masjid yang awalnya ada di sebelah timur, dipindah ke tengah-tengah pekarangan seperti yang ada sekarang ini. Untuk kegiatan belajar, didirikan gedung madrasah. Sistem Madrasah ini dimulai pada tahun 1928 M. kitab-kitab yang diajarkan pun semakin meningkat. Seperti mulai diajarkannya kitab Fatchul Mu’in, Ihya’ Ulumuddin, Tafsir Jalalain, Alfiyah Ibnu Malik, Manhajul Qowim, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Inilah masa kejayaan perguruan Islam Tremas.

KH. Dimyathi dikenal sebagai ulama yang sangat alim dan tawadlu’. Sabar dan sikapnya yang sederhana. Beliau tidak pernah marah kepada santri. Meski beliau menemui santri yang melanggar aturan pesantren, sering beliau berucap, “mungkin lebih baik kamu pulang dahulu.” Maka pulanglah santri tersebut dengan rasa penyesalan mendalam.

Jika beliau menerangkan pelajaran atau kitab,  sangat jelas, aehingga sering diceritakan santri yang paling bodoh sekalipun dapat memahami dengan baik, sedang yang pandai dapat menghafalkan sesudah pengajian usai.

Sepeninggal KH. Dimyathi, kepemimpinan Tremas dilanjutkan oleh KH. Hamid Dimyathi (1934 – 1948). Beberapa usaha yang beliau lakukan adalah memperbaiki keorganisasian pesantren. Kedua, menghilangkan pengajian-pengajian yang dilaksanakan di kamar-kamar dan diganti dengan pengajian di asrama. Ketiga, penambahan beberapa kitab yang belum diajarkan pada masa KH. Dimyathi.

Beliau juga memasukkan mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Sejarah dan Ilmu Bumi, Berhitung dan sebagainya dalam pelajaran madrasah salafiyah. Bahkan beliau juga berhasil membangun sebuah perpustakaan dengan koleksi yang cukup lengkap. Tidak hanya kitab, bahkan majalah-majalah Islam dari dalam dan luar negeri sudah menjadi koleksinya.

Dengan terjadinya serangan Jepang ke Indonesia, dilanjutkan dengan tragedi  PKI pada tahun 1948, masa KH. Hamid Dimyathi ini seakan merupakan masa titik balik (turning point) kejayaan pesantren Tremas.

Pahlawan Kemerdekaan

Dalam suasana perjuangan yang semakin memuncak pada tahun 1945, Kiai Hamid Dimyathi ikut menerjunkan diri dalam kancah perjuangan. Beliau masuk ke dalam KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan masuk dalam Masyumi yang saat itu merupakan satu-satunya partai Islam. Karena itulah beliau jarang berada di pondok, sampai pada saat meletusnya pemberontakan PKI pada tahun 1948.

Dalam suasana mencekam itu, suatu hari beliau bersama rombongan berjumlah 15 orang berangkat ke Yogyakarta dengan tujuan untuk melaporkan ke pemeirntah pusat yang saat itu pusat pemerintahan sementara waktu dipindahkan ke Yogyakarta. Untuk menghindari PKI, beliau menyamar seperti orang biasa. Namun ditengah perjalanan, ketika tengah beristirahat di sebuah warung di daerah Pracimantoro, beliau dan rombongannya dicurigai dan ditangkap PKI.

Setelah beberapa saat ditahan di daerah Baturetno, kemudian dipindah ke daerah Tirtomoyo. Disinilah beliau dan rombongan dibunuh dan dimasukkan dalam satu lobang. Kecuali Pak Soimun yang tidak dibunuh. (pembantu beliau). Menurut persaksian Pak Soimun, beberapa bulan kemudian, setelah keadaan aman, diadakan penggalian. Namun setelah di gali, lobang yang seharusnya berisi 14 jenazah itu ternyata hanya berisi 13 jenazah, dalam keadaan sangat mengenaskan dan sulit dikenali. Akhirnya ke 13 jenazah tersebut dimakamkan di pemakaman pahlawan di Jurug Surakarta.

Sejak meninggalnya KH. Hamid Dimyathi (tahun 1948),maka Pondok Tremas mengalami kevakuman kepemimpinan sampai pada tahun 1952. Bangunan pondok kini kosong ditinggal para santri dan mulai banyak yang rusak. Kondisi prihatin ini diperparah dengan adanya agresi Belanda II pada tahun yang sama, 1948. Saat itu Pacitan termasuk daerah sasaran Belanda. Pacitan pun dalam keadaan darurat. Kabupaten Pacitan dipindah ke Arjosari (sekarang menjadi kecamatan). Dan atas ijin sesepuh pondok, Bupati Pacitan memutuskan untuk memindahkan sebagian lembaga pemasyarakatan ke pondok Tremas yang sudah tak berpenghuni. Selain itu pondok Tremas juga menjadi penampungan orang-orang yang terlantar akibat penjajahan Jepang.

Kebangkitan Tremas

Pada tahun 1942, KH. Haris Dimyathi pulang dari menuntut ilmu di Madrasah Salafiyah Kauman Surakarta dibawah bimbingan KH. Dimyathi Abdul Karim. Baru tiga tahun membina Tremas, pada tahun 1945 beliau kembali menuntut ilmu di pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.

Barulah pada pada tahun 1952, ketika adik KH. Hamid Dimyathi yaitu KH. Habib Dimyathi pulang dari pondok pesantren Krapyak Yogyakarta. Demikian pula halnya dengan KH. Haris Dimyathi yang pulang setelah sekian lama berada dalam pengungsian. Begitu pula dengan KH. Hasyim Ikhsan yang kembali mengajar di Tremas. Murid KH. Dimyathi ini sebelumnya menjadi pemuka agama di daerah Tegalombo (kira-kira 4 Km ke arah Ponorogo dari Tremas).

Tiga orang Kyai inilah yag kemudian menjadi pelopor kebangkitan kembali Tremas. Gedung-gedung pondok perlahan dibenahi kembali dari sisa-sisa penjajahan Jepang, tragedi PKI dan agresi Belanda II. Dibangunlah gedung untuk Aula, Perpustakaan dan asrama santri.

Kebangkitan Tremas sangat terasa dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini benar-benar dilakukan pembaruan menyeluruh dengan tetap mempertahankan nilai-nilai salafi. Secara lengkap, lembaga-lembaga pendidikan yang ada di lingkungan pondok Tremas yaitu : Taman Kanak-Kanak At-Tarmasie, Taman Pendidikan al-Qur’an at-Tarmasie, Madrasah Diniyyah, Madrasah Salafiyah Tsanawiyah Masa’i putra, Madrasah Salafiyah Tsanawiyah Masa’i putri, Madrasah Salafiyah Tsanawiyah Shobahi putra, Madrasah Salafiyah Tsanawiyah Shobahi putri, Madrasah Salafiyah Aliyah Shobahi putra, Madrasah Salafiyah Aliyah Shobahi putri. Selain dalam bidang pendidikan madrasah, kebagkitan juga terasa dengan semakin banyaknya pengajian-pengajian yang dilaksanakan oleh kyai.

Kegiatan pengembangan bakat dan kreatifitas santri pun tidak luput dari perhatian pengasuh. Seperti semakin lengkapnya koleksi kitab di perpustakaan. Adanya kegiatan Pramuka, Muhadloroh (latihan ceramah), Tazayyun (menghias dan merawat lingkungan pondok). Juga pembentukan organisasi-organisasi santri daerah turut menyemarakkan kebangkitan ini. Akhirnya ikhtiar mulia ini berhasil mengembalikan kejayaan At-Tarmasie sebagai pesantren besar. Kini jumlah santri di pondok Tremas mencapai 2.500 orang santri.

Hingga akhir hayatnya, KH. Habib Dimyathi masih memikirkan dan memberikan wasiat kepada putra-putranya agar tetap mengembangkan pesantren ini. Beliau berpulang ke rahmatullah pada hari Sabtu tanggal 18 September 1998 bertepatan dengan 24 Rabi’ul Awwal 1419 H. sebagian besar masyayikh Tremas dimakamkan di komplek Makam Lembu yang berjarak kurang lebih 300 meter ke arah Barat pesantren. Terletak di atas bukit kecil nan sepi. Sepeninggal beliau, Tremas kini dipimpin oleh putra beliau KH. Fuad Habib. Muhammad Nawawi

DIBUATKAN BOX

Data Pondok

Nama

Perguruan Islam Tremas

Pendiri

KH. Abdul Manan

(istri beliau bernama Nyai Inayah Sholihah memiliki memiliki 3 anak : 1 putra dan 2 putri)

Pengasuh sekarang

KH. Fuad Habib

Jumlah Santri

2500 orang

Jumlah guru putra

120 dengan jumlah santri 2000 orang

Jumlah guru putri

30 dengan jumlah santri 500 orang

Alamat

Alamat Pesantren Jl. Patrem No. 21 Tremas Arjosari Jawa Timur  Telp. 0357-631001

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Telegram
WhatsApp