Waspadalah dalam Memilih Panutan Hidup

Wawancara dengan KH. Muhammad Subadar

Akhir-akhir ini tidak jarang kita jumpai tokoh ulama atau kyai berlaku nyleneh, hingga melampaui batas syariat Islam. Misalnya, ada yang mendanai suatu pertandingan salah satu cabang olahraga, hal yang tidak lazim dilakukan seorang kyai. Ada juga yang menjadi promotor sebuah pagelaran seni, bahkan sampai berjoget dengan biduanita di atas pentas. Terakhir ada yang menyebarkan ajaran “wahdatul wujud”. Padahal dia selama ini menjadi panutan umat, bahkan umat terlanjur fanatik terhadapnya.

Disayangkan, mereka tidak menyadari dirinya telah menjadi sosok yang diikuti masyarakatnya, menjadi figur idola dan dambaan umat. Sehingga dikhawatirkan perilaku nylenehnya akan diikuti khalayak luas. Mengapa itu terjadi, bagaimana dan adakah kiat ampuh menghentikan serta mencegah meluasnya sikap mereka. Berikut pendapat KH. Muhammad Subadar, Pengasuh Pondok Pesantren “Roudhotul Ulum” Besuk, Pasuruan, yang juga Wakil Ketua Rois Syuriyah NU Propinsi Jawa Timur yang disampaikan kepada reporter Cahaya Nabawiy, Djoko Sujanto, ketika mewawancarainya.

Bagaimana pendapat Kyai terhadap perilaku nyleneh beberapa tokoh ulama atau kyai akhir-akhir ini. Misalnya, ada yang berjoget dengan artis, menjadi promotor sebuah pagelaran seni, terakhir malah menyebarkan faham wahdatul wujud ?

          Perilaku kyai yang Anda maksudkan atau contohkan itu bukan lagi nyleneh, tapi mungkar. Jadi sebutan yang pantas untuk mereka adalah kyai mungkar, sebab telah menyalahi syariat. Bayangkan berjoget dengan artis di khalayak terbuka. Apalagi artis itu bukan wanita mahramnya, jelas haram. Siapapun yang melakukan begitu tetap saja haram, tak peduli kyai atau bukan.

          Kalau istilah nyleneh itu artinya aneh (berpenampilan atau bersikap beda dengan khalayak umum, Red) tapi masih di jalan yang benar, tidak sampai keluar dari aturan syariat. Umpamanya, ada kyai makan rujak di tepi jalan, memakai busana robek-robek, itu tidak masalah, karena tidak melanggar hukum. Namun yang anda tanyakan itu, ya bisa saja disebut nyleneh tapi nyleneh yang mungkar. Jelas-jelas menerajang ajaran Islam. Kalau mungkar ya harus dinahi (dicegah).

          Zaman dulu memang ada, bahkan tidak sedikit kyai nyleneh, tapi tidak bertentangan dengan syariat. Ada yang bajunya hanya disampirkan di pundak, atau berbaju tapi tidak menutup kancingnya, juga berpakaian kelombor (kebesaran, Red). Ada lagi yang gundulan (tak pernah bersorban atau berpeci, Red). Pokoknya tidak seperti kebanyakan orang.

Yang demikian itu nggak apa-apa, nggak haram, nggak dosa. Jadi nyleneh itu ada dua, nyleneh yang menyimpang dari syariat dan yang tidak. Yang tidak bertentangan dengan ajaran Allah nggak masalah, hanya saja perilaku nyleneh itu mengurangi muru’ah (kurang pantas, Red) dan tidak jarang mengundang perhatian dan membingungkan umat.

          Sementara kyai yang mengajarkan wahdatul wujud tidak sesuai dengan isi kitab kita, jelas mungkar. Terhadap kyai-kyai demikian kita berkewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar. Jadi kalau mungkar siapapun wajib dinahi. Jika sudah menyangkut amar ma’ruf nahi mungkar tidak membedakan antara kyai dan bukan kyai, tanpa pandang bulu. Amar ma’ruf nahi mungkar itu kewajiban seluruh muslim, fardlu kifayah. Sama dengan perlakuan terhadap jenazah antara ulama atau bukan tidak dibedakan.

Seperti apa upaya kita, jika perilaku kyai itu sampai mempengaruhi umat, karena umat menganggap perilaku itu benar. Alasannya, tokoh ulama itu sudah terlanjur menjadi panutan, bahkan sebagian masyarakat fanatik terhadapnya ?

          Kalau yang memulai dihukumi mungkar, yang meniru juga ikut mungkar. Salah sendiri mengapa masyarakat mengikuti perilaku orang mungkar seperti itu, keliru juga mereka.

          Maaf Kyai, yang saya maksudkan bagaimana upaya para kyai lainnya, misalnya yang lebih senior atau kharismatik untuk mengingatkan kyai yang bersangkutan, terus bagaimana bentuknya ?

          Wah, kalau yang ini saya tidak bisa menjelaskan secara rinci. Sebab, dalam amar ma’ruf nahi mungkar ada ilmu khusus, sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab Ihya’ Imam Ghozali, ada syaratnya. Tapi yang prinsip atau secara garis besar kita harus berpedoman, bahwa amar ma’ruf nahi mungkar itu tidak pandang siapa pun, dan semua muslim wajib melakukan terhadap siapa pun, tak peduli kyai maupun lainnya. Demikian pula terhadap para pengikut kyai yang mungkar tersebut. Tentang bagaimana caranya, ini yang tidak bisa saya jelaskan secara detail. Ada ilmunya

Masalahnya Kyai, orang awam, apalagi yang menjadi pengikut kyai yang bersangkut tidak berani mengingatkan.

          Wah, kalau sudah ndak berani, ini namanya terkena penyakit wahan. Bagaimana lagi, wong nggak berani. Sama saja ada kewajiban kifayah memandikan jenazah, orangnya nggak berani, ya repot kalau demikian. Mestinya harus berani.

Barangkali kyai-kyai senior atau kharismatik, maaf-maaf termasuk antum bersatu dalam satu wadah, misalnya semacam dewan kehormatan memanggil yang bersangkutan untuk diingatkan.

          Begini ya, ini sudah menyangkut teknis. Saya jelaskan sekali lagi, orang amar ma’ruf nahi mungkar itu fardu kifayah. Hanya, terkadang ada amar ma’ruf nahi mungkar yang apabila dilakukan dengan cara tertentu malah akan semakin menjadi-jadi kemungkaran itu. Kan ada seperti itu, pernah terjadi lho. Itu sebabnya, cara demikian, yang anda maksud itu harus dijauhi. Sebaiknya bukan memanggil yang bersangkutan, justru seyogyanya para kyai yang mendatanginya. Memang, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar butuh kearifan.

Saya setuju dan bagus ada kyai-kyai berkumpul membahas cara atau solusi menangani kemungkaran, tapi harus dengan cara yang diperbolehkan syariat, cocok dengan ajaran agama. Sebab, amar ma’ruf nahi mungkar itu sendiri merupakan kewajiban yang ada ilmunya juga. Jika salah melakukannya, malah bisa berakibat tidak baik.

Jadi kalau kumpul-kumpul kiai membahas bagaimana sebaiknya mengubah kondisi umat yang sedang dilanda “musibah”, itu bagus. Tapi saya kira ndak usah pakai wadah, sebab sejak dulu di zaman kyai siapapun, termasuk di era Kyai Hamid nggak pernah ada wadah untuk kumpul-kumpul kyai menyoal penanganan mungkarat. Jadi ndak perlu diadakan organisasi.

Baiklah, jika demikian. Sekarang, bagaimana upaya kita agar perilaku mungkar itu tidak melebar, terutama terhadap kalangan masyarakat awam?

Sebaiknya “memagari” masyarakat yang belum terasuki faham dan perilaku mungkar itu. Paling tidak kita harus sering memberi penjelasan kepada masyarakat bahwa itu perbuatan mungkar. Kemudian memberi pencerahan agar masyarakat mampu memilih dan memilah mana yang benar dan yang salah, termasuk bisa membedakan kyai sholeh dan kyai mungkar. Asal masyarakat belum tertumpangi hawa nafsu, yang menyebabkan mereka fanatik buta terhadap seseorang.

Sebab, siapa pun yang fanatik terhadap seorang tokoh, dia akan memandang tokoh panutannya itu selalu berperilaku positif, meski sebenarnya menyimpang dari norma. Runyamnya, jika sang tokoh memiliki pengikut dalam jumlah besar, kemungkarannya dikhawatirkan cepat meluas dan menjangkiti masyarakat lainnya.

Itu sebabnya, kita berharap penjelasan kepada masyarakat itu dapat membentengi umat. Sehingga apabila ada salah seorang tokoh ulama atau kyai keliru, masyarakat pada umumnya, juga khusus para pengikutnya memahami kekeliruan itu, tidak malah menirunya. Ingat, siapapun yang tidak benar tidak boleh diikuti. Nabi Muhammad SAW menyatakan, “Laa tho’atan li makhluqin fi ma’shiyatil kholiq. Artinya, tidak ada ketaatan kepada makhluq yang bermaksiat (bersalah/mungkar) kepada Kholiq (Allah SWT).

Kyai, kalau yang dipanuti sudah berbuat mungkar, masyarakat awam ini jadi bingung, figur mana lagi yang bisa diikuti, atau bagaimana cara kita memilih figur yang dapat kita panuti ?

Al Qur’an sudah jelas menyebutkan,

قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

 “Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”  

Kita bisa kok membedakan kyai fulan yang satu dengan kyai fulan lain, mana yang lebih baik, cocok dengan syariat. Orang awam pun bisa melakukan itu. Asal tidak terlanjur kemasukan hawa nafsu, fanatik buta terhadap seseorang, seperti saya katakan tadi. Terus, mau berpikir jernih sesuai syariat, semua bisa memilih panutan yang terbaik.

Coba kita bandingkan, mana sih yang lebih baik kyai yang berjoget dengan biduanita dengan kyai yang istiqomah memutar tasbih (senantiasa baca wirid mengingat Allah SWT, Red). Sebodoh-bodoh orang pasti tahu itu. Jadi sudah jelas berbeda mana yang batil dan yang haq. Tidak harus orang yang sudah bisa baca kitab mampu membedakannya, saya yakin orang awam bisa njawab, mampu memilih dan memilah hal itu. Asal jangan fanatik palsu. Kalau sudah fanatik, jangankan orang seperti kita-kita, bagi mereka yang terlanjur fanatik, ditambah lagi hatinya hasud, Rasulullah SAW pun dinilai jelek

Ada lagi Kyai, jika dulu para kyai, misalnya sekaliber Al ‘Arif Billah Kyai Hamid Pasuruan, sikapnya dirasakan mengayomi umat, tapi sekarang tidak sedikit kyai yang memporakporandakan persatuan umat, dan pernyataannya tidak jarang membingungkan. Bagaimana ini Kyai, apakah memang sudah zamannya atau apa ?

Sebenarnya kejadian itu menandakan kebesaran Kyai Hamid. Sekarang masih belum ada orang sebesar beliau. Kalau bicara zaman, Rasulullah SAW bersabda, ”Tidak ada hari, tidak ada bulan, tidak ada tahun melainkan sesudahnya lebih buruk”. Biarlah zamannya buruk, kita saja jangan ikut-ikutan buruk.

Zaman itu wadah, jika wadahnya kotor yang diwadahi saja, kita semua ini berupayalah jangan sampai menjadi manusia kotor. Kalau dikatakan zamannya buruk, artinya kebanyakan orang di zaman itu buruk, tapi tidak semuanya. Nah, sebaiknya kita senantiasa berusaha tetap menjadi manusia baik.

      Rasulullah SAW sudah memprediksi kondisi jaman sekarang dan yang akan datang sejak sekitar lebih dari 1400 tahun lalu. Kalau Rasulullah yang menyatakan, pasti terjadi dan menyangkut seluruh kehidupan dunia, bukan cuma di Indonesia. Jadi, kebanyakan orang di zaman Sahabat pasti lebih baik dibandingkan manusia di zaman Tabi’in. Demikian pula, masyarakat dunia di zaman Tabi’in jauh lebih bagus dibandingkan di masa Tabi’ut Tabi’in, demikian seterusnya. Apalagi jika dibandingkan dengan zaman kita sekarang, yang kita ketahui sendiri kerusakan moral merata di mana-mana dan makin terang-terangan.

Baiklah Kyai, saya yakin keterangan antum bisa dipahami masyarakat. Terakhir, barangkali ada pesan dan harapan Kyai untuk masyarakat, kaitannya dengan problema ini.

Ya, saya harapkan masyarakat tidak gelisah, ikuti saja ulama yang sebenarnya. Siapa ulama yang sebenarnya, ya yang sesuai garis Allah SWT dalam Al Qur’an, yaitu

  3 $yJ¯RÎ) Óy´øƒs† ©!$# ô`ÏB Ínϊ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$#

 “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”

Yakni, orang yang paling takut kepada Allah itulah ulama yang sebenarnya. Jadi misalnya ada dua orang ulama, kita bandingkan saja keduanya, mana yang benar-benar lurus sesuai syariat.

Gampangnya, misalnya ada orang alim yang sholat dengan orang alim tidak sholat, pasti yang benar yang sholat. Atau, ada dua ulama, yang satu membina umat untuk mengikuti kewajiban puasa Ramadhan, sementara lainnya menyatakan tidak apa-apa tidak berpuasa, jelas yang perlu kita ikuti ulama pembina umat itu. Yang penting kita jangan putus asa, jika ada kesempatan beri tahu umat agar tetap mengikuti yang benar, yakni mengikuti jalan para salafunas sholihin. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Telegram
WhatsApp