Kemenangan Dan Kesucian Di Hari Fitri

Ramadhan telah berlalu. Muslimin kembali ditinggalkan bulan istimewa itu. Bisa berharap menemuinya kembali jika Allah SWT memberi usia hingga tahun depan berlaku. Yang patut direnungkan sekarang adalah bahwa telah sebulan Ramadhan umat Islam menjalani rukun Islam ke empat di bulan penuh ampunan. Selama itu pula muslimin berjihad melawan hawa nafsu, berkompetisi untuk memperkokoh iman dan meraih prestasi ibadah.

Sukseskah perjuangan dan upaya umat Rasulullah SAW menjalani penempaan diri dan penggemblengan spiritual di “kawah candra dimuka“ syariat Allah SWT itu? Secara kasat mata, jawabannya tercermin dari perilakunya saat memasuki Syawal.

Tidak semua muslimin mampu memaknai bulan Syawal sebagai momentum evaluasi ibadah di bulan Ramadhan. Malah, tak sedikit memanfaatkannya untuk melampiaskan nafsu buruknya yang merasa “tertekan” selama Ramadhan, dengan berbagai aktivitas yang menantang larangan Allah SWT. Dengan kata lain mereka ingin memuas-muaskan syahwatdi bulan yang mestinya menjadi tolok-ukur keberhasilan ibadah di bulan suci.

Juga masih eksis pendapat sebagian umat Islam di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, bahwa bulan Syawal sebagai lebaran, yang diartikan sebagai bubaran (selesai sama sekali) melakukan ibadah Ramadhan, kemudian bebas melakukan apa saja sekehendak hatinya, termasuk melakukan perbuatan terlarang.

Bagaimanakah seharusnya sikap dan etika umat Nabi Muhammad SAW saat memasuki bulan Syawal, yang dikenal dengan sebutan Idul Fitri itu? Apa pula tanda-tanda muslimin yang ibadah Ramadhan-nya maqbul (diterima Allah SWT)? Berikut petikan wawancara tetap CN dengan Habib Taufiq Assegaf pengasuh Pondok Pesantren Sunniyah Salafiyah kepada Reporter Djoko Sujanto.

Ustadz, seusai Ramadhan kita memasuki bulan Syawal yang juga disebut Idul Fitri. Apa makna keduanya?

Sebelumnya kita harus memahami dulu arti Ramadhan. Ramadhan berasal dari kata ramadha, yarmidhu, adalah sesuatu yang panas dan membakar, karena dapat membakar dosa-dosa orang yang menjalankan puasa, sehingga menjadi suci kembali, seperti bayi baru dilahirkan dari rahim ibunya. Karena itu pula, setelah sukses dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadhan maka disebutlah Idul Fitri, yang juga disebut bulan Syawal.

Idul Fitri berasal dari kata Iedartinya kembali, dan al-fitr artinya suci atau kesucian. Jadi Idul Fitri berarti hari kembali suci. Itu dimaksudkan, muslimin pada saat itu telah kembali suci, karena sudah dibakar dosa-dosanya selama Ramadhan.

Sedangkan Syawal berasal dari kata syala, yasyulu, syaulan, artinya naik atau meningkat. Maksudnya, di bulan Syawal umat Islam diharapkan meningkatkan ibadahnya. Jadi, setelah dosa-dosa dibakar atau dibersihkan di bulan Ramadhan, memasuki bulan Idul Fitri atau Syawal kaum muslimin kembali suci, sekaligus meningkat amal sholehnya.

Jika demikian, berarti setelah Ramadhan umat Islam meningkat kualitas iman dan amal ibadahnya. Namun, mengapa tidak jarang di awal Syawal ada yang membuka kembali pintu kemaksiatan, misalnya menggelar hiburan yang terkadang justru lebih marak dibanding sebelum Ramadhan?

          Ada beberapa hal penyebabnya, di antaranya mungkin mereka tidak mengamalkan ibadah di bulan Ramadhan. Atau bisa jadi mereka menjalankan ibadah Ramadhan, tetapi tidak dengan sebenarnya. Segala sesuatu jika dilakukan tidak dengan sebenarnya, atau tidak sesuai aturan pasti hasilnya tidak nyata dan tidak maksimal.

Demikian juga, jika ketika Ramadhan menjalankan ibadah seadanya, atau asal-asalan, ya jangan harap akan membekas dalam sanubari dan terwujud pada perbuatannya. Orang demikian jika sebelum Ramadhan malas beribadah, sesudahnya akan tetap begitu.  

Tapi kalau ibadah Ramadhan itu dilakukan dengan sebenarnya, termasuk melaksanakan shalat tarawih, tadarrus Al-Qur’an, qiyamullail (shalat tahajjud), insya Allah akan membuahkan hasil. Hamba yang taat demikian akan menjadi orang sholeh. Karena nggak mungkin “resep” dari Nabi SAW yang sudah diatur oleh Allah SWT jika dilakukan dengan benar tidak membuahkan hasil, tidak masuk akal sama sekali. Nah, di sinilah kita bisa melihat tanda-tanda amal Ramadhan seseorang itu diterima Allah, yakni apabila ada peningkatan ibadah atau amal sholeh saat memasuki Syawal.

          Memang masih ada beberapa orang menilai bahwa Syawal itu sebagai Hari Raya untuk bersenang-senang sampai melupakan diri dari Allah. Itu salah besar. Justru, Idul Fitri sebagai Hari Raya umat Islam yang telah sukses melaksanakan ibadah Ramadhan. Seperti dikatakan bahwa:  “Hari Raya itu bukan karena bajunya yang baru, tapi Hari Raya itu karena ibadahnya baru (meningkat)”.

Dikatakan pula bahwa, “Hari Raya itu bukan bagi orang yang mau menampilkan kendaraan barunya, tapi Hari Raya itu adalah orang yang diampuni dosanya oleh Allah SWT”. Itu sebab itu, mereka yang ibadahnya meningkat dan dosanya diampuni-lah yang layak atau berhak merayakan Idul Fitri. Tapi, kalau gagal ibadahnya di bulan Ramadhan apanya yang mau dirayakan. Justru hari itu harus meratapi kerugiannya.

Masih ada juga yang menyatakan Idul Fitri itu sebagai hari Lebaran, yang dikonotasikan sebagai bubaran atau selesai beribadah, diganti dengan bersenang-senang yang menjurus kepada perbuatan maksiat. Bagaimana tentang ini Ustadz?

          Ya, saat Idul Fitri memang telah berakhirlah  ibadah Ramadhan. Tapi, ibadah lainnya sebagai kewajiban seorang hamba kepada Allah SWT sesuai tujuan utama penciptaannya; ya tetap berlanjut. Allah menyatakan, “Aku tidak ciptakan manusia dan jin, kecuali untuk beribadah kepada Aku”.

 Jadi, bukan berarti Ramadhan berakhir, maka berakhir pula amal ibadah, justru di situ seorang hamba harus memperkuat semangatnya dalam beribadah kepada Allah SWT. Harus diluruskan pemahaman yang salah seperti itu, jangan sampai berlarut-larut.

Kalau begitu, bagaimana kiat kita untuk membentengi hasil Ramadhan?

          Saya pernah mengatakan, bagaimana dengan baju kotor yang telah kita bersihkan. Kalau kita jadi orang sadar dan berakal pasti kita akan berupaya agar baju yang sudah bersih itu tetap bersih, jangan sampai kotor lagi. Lain halnya jika langsung kita kotori lagi, itu menunjukkan bahwa kita bukan orang yang sempurna akalnya. Juga ibarat orang yang sakit baru sembuh langsung mengulangi lagi perbuatannya yang menyebabkan sakitnya kambuh lagi, kanperbuatan ini bodoh sekali.

          Karena itu, jika kita telah meraih sukses beribadah di bulan Ramadhan atau ibadah lainnya, hendaknya berupaya lebih keras menjaganya, jangan sampai pahala yang telah berada dalam “genggaman” kita terlepas lagi. Caranya, teruskan istiqomah beribadah, dan jangan coba-coba membuka kembali “pintu syetan”.

Memasuki bulan Syawal kita dianjurkan berpuasa enam hari. Bisa disebutkan fadhilah atau keutamaannya?

Rasulullah SAW bersabda, ”Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian diteruskan enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti beribadah puasa selama setahun”. Mengapa demikian, karena satu amal kebaikan itu dilipatgandakan sepuluh (pahalanya). Jadi, jika kita berpuasa Ramadhan selama 30 hari sama dengan menjalankan puasa 300 hari. Kemudian 6 hari di bulan Syawal sama dengan 60 hari. Jumlahnya menjadi 360 hari, sama seperti jumlah hari dalam setahun.

          Selain itu, ibadah puasa di bulan Syawal bisa menjadi penyempurna ibadah puasa Ramadhan. Lebih bagus jika dilaksanakan 6 hari berturut-turut, mulai tanggal 2 sampai 7 Syawal. Namun, seandainya dilakukan tidak berturut-turut juga boleh, yang penting dilakukan selama enam hari di bulan Syawal.

 Ada amal sholeh lainnya yang dianjurkan khusus di bulan Syawal, Habib?

Kalau anjuran khusus nggak ada, tapi seluruh amal kebaikan dianjurkan untuk ditingkatkan di bulan Syawal. Yang ada amal wajib, yakni pada malam 1 Syawal atau malam Hari Raya kita diwajibkan mengeluarkan Zakat Fitrah. Kewajiban tersebut bagi setiap orang Islam yang hidup di malam itu. Tidak peduli kecil atau besar, wanita atau pria, yang penting mampu.

Kita disunnahkan memperbanyak takbir di malam 1 Syawal atau malam Hari Raya, mengapa demikian?

          Allah menyatakan,

(#rçŽÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4†n?tã $tB öNä31y‰yd öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ

Artinya, hendaknya kamu bertakbir kepada Allah atas pemberian hidayah-Nya kepada kamu, niscaya kamu menjadi hamba yang bersyukur. Rasululah juga bersabda, “Hiasi (ramaikan, syi’arkan) Hari Raya kamu dengan pembacaan takbir”.

Kita disunnahkan memperbanyak bacaan takbir (Allahu Akbar, Red) artinya mengagungkan Allah SWT pada malam Hari Raya, karena kita telah mendapatkan petunjuk, bimbingan, pertolongan dan kekuatan dari Allah, sehingga dapat menjalankan ibadah Ramadhan. Kalau Allah tidak memberikan hidayat kepada kita, pasti kita bergelimangdalam kekufuran, dan tidak akan bisa melaksanakan ibadah dengan baik, meski dalam bulan yang mulia itu.

Dengan bantuan Allah pula kita dapat mengalahkan musuh yang paling berbahaya dan bisa menyebabkan kita masuk neraka, yaitu syetan dan nafsu. Karena itu kita harus mensyukuri nikmat Allah tersebut dengan memperbanyak takbir. Itu cara kita merayakan kemenangan di bulan Ramadhan dengan bertakbir. Jadi, Idul Fitri dirayakan untuk mengagungkan Allah, bukan malah untuk melupakan-Nya. Jangan membuka lagi pintu-pintu syetan setelah kita mengalahkannya.

Bagaimana dengan tradisi Halal Bihalal?

          Halal Bihalal itu istilah di Indonesia, kalau di negara Timur Tengah (Arab) dinamakan “uwad”. Sebetulnya Halal Bihalal itu sebagai sarana atau upaya untuk mengokohkan persaudaraan kita, dengan bersilaturrahmi dan saling memaafkan. Halal Bihalal, maksudnya saya halalkan kesalahan kamu, dan kamu halalkan kesalahan saya. Saling tukar-menukar dengan halal yakni saling menghalalkan.

Kita ber-Halal Bihalal untuk menyempurnakan pembersihan dosa kita. Kita maklumi ibadah bulan puasa dapat menyucikan atau mengampuni dosa kita terhadap Allah SWT (hubungan secara vertikal). Namun, dosa atau kesalahan terhadap sesama manusia (secara horizontal) nggak akan diampuni lewat ibadah. Allah tidak akan mengampuni dosa itu sebelum yang disalahi memaafkannya.

Itu sebabnya, perlunya melakukan Halal Bihalal, dengan bersilaturrahmi kemudian saling memaafkan satu sama lainnya. Dengan begitu dosa atau kesalahan terhadap sesama manusia diampuni. Akhirnya, sempurnalah pembersihan dosa kita.

          Tapi perlu difahami, untuk berhalal bihalal harus dengan cara yang halal pula. Sebab, kalau halal bihalal dengan cara yang haram percuma saja. Perbuatan taat itu harus dilakukan dengan cara yang taat pula (dibenarkan syari’at), jangan campuri dengan cara-cara yang dilarang. Misalnya, membangun masjid dengan uang korupsi, tidak akan mendapat pahala, malah berdosa.

Dalam ber-hahal bihalal hindari bersalaman dengan lain jenis yang bukan mahram, itu hukumnya haram. Tak satu ulama pun yang membenarkan cara itu. Memang biasanya orang-orang demikian masih menilai ibadah dengan cara adah (adat/tradisi). Halal bihalal itu bisa masuk kategori ibadah dari sisi silaturrahmi dan saling memaafkan. Nah, setiap ibadah itu sudah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya, jangan diubah-ubah, apalagi dilanggar. Sebab, jika nggak sesuai aturan ya bukan ibadah namanya, malah yang demikian itu bernilai maksiat kepada Allah SWT.

          Ibarat ada makanan bagus, ada madu, susu tapi juga ada tahinya, meski sedikit, pasti menjijikkan dan najis semuanya. Begitu juga ibadah jika kecampuran keharaman, menjadi haram semuanya. Kata pepatah “Nila setitik merusak susu sebelanga”.

Demikian juga dengan halal bihalal, itu kegiatan bagus, saling memaafkan bagus, diadakan dzikir bersama bagus, ceramah agama bagus, tapi kalau ada haramnya, akhirnya merusak yang lainnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Telegram
WhatsApp