Haram ! Rayakan Tahun Baru Masehi
Dialog bersama Habib Abu Bakar Hasan Assegaf
Tidak sedikit muslimin yang tidak mengenal Islamnya sendiri. Terkadang justru lebih memahami, “orang lain”. Runyamnya sikap itu berakibat sirnanya kepedulian mereka terhadap kebiasaan atau budaya agama sendiri, malah dengan sengaja meninggalkannya. Misalnya, ketika Muharram tiba, bisa dihitung dengan jari orang yang mengaku beragama Islam merayakan Tahun Baru Hijriyah itu.
Sementara, ketika datang malam 1 Januari ada sebagian muslimin yang tidak pernah ketinggalan bersenang-senang, berpesta pora, beramai-ramai naik mobil atau motor dan sepeda pancal keliling kota. Kemudian memadati tempat-tempat hiburan yang notabene tempat kemaksiatan, untuk memarakkan Tahun Baru Masehi.
Fenomena apa ini?. Dan, bagaimana kiat mengubah, bahkan memalingkan saudara kita sesama muslim dari “kebiasaan buruk” itu agar dapat kembali ke ajaran agamanya? Jawabnya, adalah ikuti hasil wawancara Reporter Djoko Sujanto dengan Habib Abu Bakar Hasan Assegaf, seorang ulama muda kharismatik kota Pasuruan,mantan PU/Pemred CN:
Habib, gejala apa yang sedang terjadi sehingga sebagian saudara kita sesama muslim lebih suka merayakan Tahun Baru Masehi dibandingkan Tahun Baru Hijriyah?
Memang, fenomena itu bisa kita lihat setiap pergantian Tahun Masehi, tepatnya setiap malam tanggal 1 Januari. Saudara-saudara kita saat itu ikut berhura-hura merayakan tahun baru orang lain. Ini tentu sangat memprihatinkan kita umat Islam, karena ini pertanda bahwa umat Islam mulai tidak kenal dengan Islamnya. Justru mereka lebih mengenal lambang-lambang kebesaran agama di luar Islam. Ini sebuah gejala mulai tereduksinya nilai-nilai keislaman dari umat Islam itu sendiri.
Kita semua tahu kan, tahun baru masehi itu identik atau sebagai rangkaian dari perayaan Natal. Makanya, merayakan tahun baru masehi berarti sama dengan merayakan Natal. Dalam kacamata hukum Islam merayakan tahun baru masehi hukumnya haram. Beberapa alasan yang mengukuhkannya, pertama melakukannya berarti membesarkan syiar kaum Nasrani. Kemudian, ada unsur tasyabbuh (meniru atau menyerupai) kegiatan orang-orang kafir. Dan ketiga, ada unsur memperbanyak jumlah anggota suatu kaum (kafir).
Hadits Nabi Muhammad SAW menyatakan, “Man katstsaro tsawaada qoumin fahuwa minhum”. Artinya, orang yang memperbanyak komunitas suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum itu. Pada hadits lainnya disebutkan, “Barang siapa menyerupai suatu kaum berarti dia termasuk bagian dari kaum itu”.
Yang lebih memprihatinkan, perayaan tahun baru masehi rawan dengan berbagai kemungkaran, di antaranya pesta minuman keras, berhura-hura, dan sebagainya. Juga hal-hal yang tidak ada gunanya, seperti meniup terompet. Perbuatan konyol seperti itu jelas-jelas tidak bermanfaat. Selain bertentangan dengan syariat Islam, juga tidak satu pun kontribusi dari perayaan itu untuk negara. Makanya, perlu segera disikapi dengan tegas umat Islam, agar dapat segera diubah dan diatasi.
Menurut Antum upaya apa yang paling ampuh untuk mengubahnya?
Gejala itu terjadi karena faktor umat Islam tidak kenal dengan Islamnya. Jelas di sini akibat kurangnya sosialisasi persoalan itu terhadap umat Islam, terutama di Indonesia. Ini merupakan tugas para pemimpin dan tokoh Islam, terutama yang ada di ormas-ormas Islam atau lembaga-lembaga keislaman, seperti MUI, NU, Muhammadiyah, dan lainnya.
Lembaga-lembaga itu seharusnya melakukan upaya sosialisasi. Itu bisa dimulai dari hal-hal remeh atau ringan-ringan dulu, misalnya mengenalkan bulan-bulan hijriyah. Lembaga-lembaga keislaman yang menerbitkan kalender alangkah baiknya menonjolkan hijriyahnya dari pada masehinya. Sosialisasi demikian juga bisa melalui media, seperti majalah Cahaya Nabawiy sebagai salah satu media dakwah Islam. Karena masih banyak orang Islam tidak hafal urutan bulan hijriyah. Kalau urutan bulannya saja tidak hafal atau tidak kenal, apalagi dengan yang lebih besar dari itu.
Apakah selama ini sosialisasi itu masih kurang?
Bukan hanya kurang, tapi amat sangat kurang dan jarang disampaikan dalam ceramah-ceramah agama. Jarang sekali saya mendengar tokoh-tokoh agama Islam atau para da’i dan mubaligh mensosialisasikan tahun baru Islam. Memang, terkadang mereka bercerita tentang Muharram, tapi tidak dilengkapi penjelasan perlunya mengenal bulan-bulan hijriyah mulai Muharram hingga Dzulhijjah.
Juga, jarang dijelaskan secara mendalam pentingnya memuliakan Tahun Baru Hijriyah yang sarat dengan nilai-nilai sejarah kemenangan Islam, dari pada 1 Januari yang sama sekali tidak bermakna apalagi memberi manfaat bagi muslimin.
Makanya, dibutuhkan sebuah evolusi, perubahan pelan-pelan tapi pasti. Sebab, kalau melakukan revolusi, yakni perubahan langsung secara drastis mungkin berat. Karena ini sudah terlanjur, atau bisa dibilang sudah mulai mengakar pada muslimin Indonesia yang terjebak budaya latah, ikut-ikutan merayakan tahun baru masehi.
Tahu haram atau tidak bermanfaat, mengapa para pimpinan formal (muslim) justru mendukung perayaan tahun baru masehi. Malah, ikut-ikutan meniup terompet dan segalanya?.
Makanya tadi saya katakan, kita membutuhkan evolusi untuk melakukan perubahan. Kalau kita mencoba melakukan revolusi nanti berat tantangannya. Bisa jadi akan timbul pro-kontra dan sebagainya. Sebab, tidak dapat dipungkiri kita ini hidup di sebuah negara yang bangsanya plural atau majemuk dalam berbagai aspek. Sehingga yang pas adalah perubahan secara evolusi.
Pemerintah kan punya lembaga resmi yang menangani keagamaan selain Depag, yaitu MUI. Jadi perubahan itu bisa dimulai melalui MUI. Misalnya, menjelang datangnya 1 Januari MUI mengeluarkan fatwa atau minimal himbauan yang menyatakan orang Islam haram merayakan tahun baru masehi, dengan penjelasan alasan-alasannya. Sedangkan bagi non Islam tetap disilakan merayakannya.
Selain itu, bagi yang merayakan Tahun Baru Masehi harus menghindarkan hal-hal yang mungkar, seperti miras, pesta pora dan sebagainya. Nah, dari fatwa MUI tersebut, selain didukung oleh ormas-ormas Islam yang masih eksis dengan keislamannya, kemudian di-follow up-i (ditindaklanjuti, Red) oleh pemerintah, termasuk aparat kepolisian yang mengawasi proses perayaan tahun baru itu.
Sambil berfatwa MUI juga diharapkan memperkenalkan Tahun Baru umat Islam, Kalender Hijriyah lengkap beserta bulan-bulan Islam. Sehingga umat Islam semakin mengenal dan memahami Islamnya. Akhirnya mereka akan merayakan tahun barunya sendiri, dan tidak akan lagi merayakan tahun baru orang lain. Sebab, memang amat berbeda atau berbeda sama sekali perayaan tahun baru masehi dengan perayaan Muharram.
Bisa disebutkan perbedaan itu, apa sebenarnya makna Muharram bagi muslimin ?
Perayaan Tahun Baru Hijriyah jelas sekali memiliki muatan dan nilai sejarah Islam yang patut menjadi sebuah renungan. Yang fenomenal adalah peristiwa hijrah, yang memperkaya khazanah sejarah Islam kita dan memiliki nilai strategis. Karena hijrah itu merupakan tonggak kemenangan dan kejayaan umat Islam. Umat Islam mengalami masa keemasan di era Rasulullah SAW pasca peristiwa hijrah tersebut.
Jika ditanya maknanya, Tahun Baru Hijriyah sangat besar maknanya bagi umat Islam. Selain bulan Muharram itu merupakan salah satu dari 4 bulan hurum yang dimuliakan Allah SWT, juga di dalamnya ada ajaran-ajaran yang sudah disyariatkan dan disunnahkan oleh Rasulullah SAW untuk diamalkan.
Firman Allah SWT
¨bÎ) no£Ïã Íqåk¶9$# yZÏã «!$# $oYøO$# u|³tã #\öky Îû É=»tFÅ2 «!$# tPöqt t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ßöF{$#ur !$pk÷]ÏB îpyèt/ör& ×Pããm 4
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram”. Salah satu dari arbaatun hurum (empat bulan mulia) itu adalah Muharram. Sedangkan amalan yang disunnahkan diantaranya berpuasa di bulan Muharram, kemudian menyantuni anak yatim, terutama di hari Assyuro, yaitu hari ke sepuluh bulan Muharram, dan amal ibadah lainnya.
Puasa di bulan Muharram amat dianjurkan, karena itu memang anjuran khusus Nabi Muhamad SAW, terutama di hari Assyuro. Lebih afdol lagi jika dimulai dengan puasa Tasu’a (hari ke sembilan bulan Muharram). Karena waktu itu, ketika Nabi SAW hijrah, begitu sampai di Madinah tepat di hari Assyuro Nabi mendapati orang-orang Yahudi berpuasa.
Nabi bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian berpuasa di hari ini”. Lalu mereka menjawab, “Kami sedang merayakan kemenangan Musa As yang selamat dari kejaran tentara Fir’aun, ketika Musa membawa bani Israil”. Kemudian Nabi SAW berkata kepada mereka, “Nahnu ahaqqu bi Musa minkum” (kamilah yang lebih berhak merayakan kemenangan Musa dari pada kalian). Selanjutnya Rasulullah SAW berkata kepada para sahabatnya, “Saksikanlah jika aku diberi umur panjang sampai tahun yang akan datang, maka aku akan mulai puasa dari hari ke sembilan Muharram”.
Pernyataan Nabi Muhammad SAW itu untuk menghindarkan tasyabbuh dengan cara puasa orang-orang Yahudi. Jadi Nabi SAW menganjurkan puasa Muharram dari tanggal 9 sampai 10 (Tasu’a dan Assyuro). Dari sini kita dapat memahami selain kandungan makna hijrah yang begitu sarat sejarah yang patut kita renungkan dan kita aplikasikan dalam kehidupan kita, dengan amalan-amalan tertentu, juga ada pesan moral dari junjungan kita SAW melalui amalan puasa itu.
Jadi dapat kita ambil sebuah kesimpulan, bahwa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk tidak menyerupai cara ibadah orang lain, apalagi dalam melakukan hal-hal lainnya, termasuk perayaan tahun baru. Kalau muslimin merayakan tahun baru masehi bukan lagi tasyabbuh, malah sudah melakukan amalan orang lain. Disayangkan memang, terkadang justru orang Islam sendiri lebih barat dari orang-orang barat dalam merayakan tahun baru masehi, memprihatinkan sekali.
Sebagaimana berlaku dalam manajemen perusahaan, menjelang pergantian tahun dijadikan momen introspeksi dan evaluasi kinerjanya, sekaligus saat tepat memprogram kegiatan setahun ke depan. Bagaimana pergantian tahun itu bagi kita umat Muslim?
Ya, kalau untuk hal demikian saya setuju. Kita mengekspresikan perayaan sebuah pergantian tahun termasuk Tahun Baru Masehi dengan introspeksi diri, dalam bahasa agama disebut muhasabah, itu boleh-boleh saja. Kalau konteksnya dengan tahun baru masehi, walaupun sebenarnya tidak ada ajaran khusus dalam Islam ber-muhaasabah saat itu, sah-sah saja.
Katakanlah jika kita berpijak pada ayat Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 190 yang berbunyi:
cÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@ø©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tUy Í<‘rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berakal”. Kalau kita hubungkan dengan ayat tersebut boleh-boleh saja, dan itu positif melakukan sebuah perenungan. Nah, khusus Muharram sudah jelas merupakan momen paling tepat untuk melakukan muhasabah. Karena otomatis pergantian tahun berarti bertambahnya usia kita, yang berarti pula semakin berkurang jatah umur kita.
Alangkah baiknya melakukan muhasabah ketika Muharram tiba, sambil introspeksi diri dengan menghitung kembali amal kita tahun lalu, mana yang dominan antara amal taat dengan maksiat, sementara saat itu kita dalam keadaan berpuasa. Introspeksi itu akan melahirkan sebuah perubahan menuju yang lebih baik.
Ingat, dalam Islam kita kenal konsep nabawiy atau konsep muhammadi, bahwa manusia itu ada tiga macam karakter, yakni orang yang rugi, orang celaka, dan orang yang beruntung. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Man kana yaumuhu mitsla amsihi fahuwa maghbun. Wa man kana yaumuhu syarran min amsihi fahuwa halik. Wa man kana yaumuhu khairan min amsihi fahuwa raabih”.
Artinya, orang yang hari ini sama dengan kemarin adalah orang yang rugi, terpedaya, tertipu, atau orang dungu. Dan orang yang hari ini lebih buruk dari kemarin maka dia orang yang celaka, atau binasa. Barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin itulah orang yang beruntung.
Kalau kita kaitkan dengan musibah yang bertubi-tubi terjadi selama ini di Indonesia atau di berbagai penjuru dunia, bagaimana sikap kita ketika memasuki Tahun Baru Hijriyah?
Dengan muhasabah itu kita bisa mengarah ke sana. Selain merenung untuk diri kita sendiri, saat itu kita juga memikirkan saudara- saudara kita sesama umat Muhammad SAW, yang tertimpa musibah di daerah-daerah lain. Melalui perenungan seperti itu, pertama akan melahirkan rasa syukur kepada Allah SWT, karena musibah itu tidak menimpa kita. Kedua, akan menumbuhkan sebuah keprihatinan (tepa slira, bahasa Jawa), kepekaan dan kepedulian sosial.
Ini sesuai dengan yang disabdakan Rasulullah Muhammad SAW yang mewanti-wanti (mengingatkan, Red) kita. Beliau menyatakan, “Man lam yahtamma bil amri muslim falaisa minhum”. Artinya, barang siapa yang tidak peduli urusan yang menimpa umat Islam, dia bukan termasuk golongan mereka. (*)