YANG MENDAPAT BERKAT DAN YANG KUALAT
ADAB ITU DI ATAS ILMU
Di masa mudanya Syaikh Abdul Qodir Jilani gemar sekali menuntut ilmu. Beliau memiliki dua teman akrab, Ibnu Saggar dan Ibnu Abi Isrun. Beliau suka berteman dengan keduanya karena mereka sangat cerdas. Bertiga mereka banyak melakukan diskusi dan menyelesaikan bebagai persoalan. Suatu hari mereka berkumpul dan sepakat untuk mengunjungi seorang wali Qutb (Al-Ghauts), beliau ini seorang ahli ibadah yang sholeh. Meski tinggal di pinggir kota, banyak orang berkunjung ke sana. “Aku akan menanyakan persoalan yang sulit agar ia bingung dan tidak bisa menjawab,” kata Ibnu Saggar. “Aku punya persoalan yang menurutku tak akan bisa dijawabnya,” kata Ibnu Abi Isyhrun, ”bagaimana dengan kamu ya Abdul Qodir?”
Abdul Qodir Jilani menjawab dengan tawadu’, “Aku hanya ingin berziarah untuk mengambil berkah darinya, aku tidak akan menanyakan apapun padanya. Orang seperti dia itu sibuk dengan sesuatu yang lebih penting, yaitu Al- hadrah al- ahadiyah as- shomadiyah.” Lalu berangkatlah mereka bertiga kepada Al-Ghauts. Setelah mengetuk pintu rumah, mereka dipersilahkan masuk oleh Al-Ghauts. Namun setelah menunggu agak lama Al-Ghauts baru keluar lagi untuk menemui mereka. Ia keluar dengan mengenakan pakaian kewalian dan raut muka yang membayangkan kemarahan.
”Kamu, hai Ibnu Saggar, berkunjung kemari untuk mengujiku dengan persoalan demikian, jawabnya adalah demikian, ” Al-Ghauts menjelaskan jawabannya berikut kitab yang dapat dijadikan rujukan.
Ia kemudian berkata kepada Ibnu Saggar “keluarlah kamu! aku melihat api kekufuran menyala-nyala di antara tulang-tulang rusukmu.”
“Sedangkan kamu, hai Ibnu Abi Isyhrun, kamu kemari dengan tujuan menayakan permasalahan ilmiyah, jawabnya adalah demikian,” ia lalu menjelaskan jawabannya berikut kitab yang membahas persoalan itu.
“Keluarlah kamu! Aku melihat dunia mengejar-ngejar kamu.”
Terakhir, Al-Ghauts berkata pada Abdul Qodir Jilani. “Sedangkan kamu, wahai anakku Abdul Qodir, kamu datang untuk mendapatkan berkahku. Apa yang kamu inginkan Insya Allah akan tercapai. Aku melihat bahwa kamu nanti akan berkata, “kedua kakiku ini berada di atas leher setiap wali.”
Mereka bertiga kemudian keluar dari rumah Al-Ghauts.
Tak lama setelah itu Ibnu Saggar diperintah raja untuk berdebat dengan pemuka agama Nasrani. Perdebatan ini atas permintaan raja kaum Nasrani. Penduduk negeri telah sepakat bahwa mereka sebaiknya diwakili oleh Ibnu Saggar.
“Dialah orang yang paling cerdas diantara kita,” kata mereka.
Sesampainya di negeri kaum nasrani, ternyata Ibnu Saggar terpikat oleh seorang wanita cantik pada pandangan pertama. Ia lalu menghadap ayah si wanita untuk meminangnya. Ayah perempuan itu menolak, kecuali jika Ibnu Saggar mau memeluk agama mereka, ia pun dengan serta merta memeluk agama mereka, menjadi seorang Nasrani.
Adapun Ibnu Abi Isyhrun, ia ditugaskan raja untuk menangani urusan wakaf dan sedekah. Dunia selalu datang menggodanya dari berbagai penjuru sampai akhirnya ia jatuh dalam pelukannya. Ia sadar bahwa ini karena doa Al- Ghauts, tapi ia tidak memiliki daya untuk menolaknya. Sedangkan Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani, kedudukannya terus membumbung tinggi sampai suatu hari beliau berkata, ”Kedua kakiku ini berada di atas leher setiap wali.” Suara beliau didengar dan dipatuhi seluruh wali. Begitulah kebiasaan para wali, mereka merendahkan diri, menjaga adab, dan taat kepada Al-Qutb.