HAJI BERSAMA PARA WALI

Suatu kali aku berhaji. Pada malam Arafah aku tidur di Mina, di masjid Al-Khaif. (Ini mengikuti sunnah Nabi SAW Yaitu, pada tanggal 8 Dzil Hijjah pergi ke Mina lalu bermalam di sana. Esoknya baru ke Arafah.) Dalam tidurku, aku melihat dua malaikat. Seolah mereka turun dari langit. Mereka (menjelma manusia yang) mengenakan baju hijau.

“Ya Abdallah (hamba Allah),” salah satu dari keduanya berujar.

Labbaik, ya Abdallah,” sahut yang lain.

“Tahukah kamu, berapa jumlah orang yang berhaji ke Tuhan kita tahun ini?”

“Tidak.”

“Enam ratus ribu orang berhaji. Tahukah kamu berapa dari mereka yang diterima hajinya?”

“Tidak.”

“Yang diterima hanya enam orang.”

Setelah bercakap begitu, mereka terbang naik ke atas, lantas lenyap. Aku terbangun dengan rasa takut. Hatiku hampa. Gundah. Sedih sekali. “Kalau yang diterima hajinya hanya enam orang, lha bagaimana aku? Apakah aku termasuk yang enam orang itu?” aku berkata sendiri. Esoknya, ketika aku berwuquf di Arafah, aku berdiri tercenung. Kupandangi para jamaah haji yang begitu banyak, tetapi begitu sedikit yang diterima hajinya. Aku terus berpikir hingga mengantuk, kurebahkan diriku. Tiba-tiba kulihat dua malaikat yang tadi malam. Mereka turun dari langit persis seperti dalam mimpiku semalam. Mereka berdialog seperti semalam.

“Tahukah kamu, berapa jumlah orang yang berhaji tahun ini?”

“Tidak.”

“Enam ratus ribu orang. Tahukah kamu berapa orang yang diterima hajinya?”

“Tidak.”

“Enam orang. Tahukah kamu apa yang diputuskan Tuhan kita malam ini?”

“Tidak.”

“Allah telah menganugerahi setiap satu dari enam orang itu fasilitas untuk menggandeng seratus ribu orang.”

Aku seketika terbangun dengan bunga-bunga di hati. Hatiku bahagia tak terkira.

Begitulah Imam Ali bin Muwaffaq menyudahi kisahnya. Dari ceritanya kita bisa menarik dua pelajaran.

Pertama tentang pentingnya jamaah. Dalam cerita di atas disebutkan, dari 600.000 jamaah haji, hanya enam orang yang diterima hajinya. (Barangkali yang dimaksud adalah, haji mereka diterima secara utuh, 100 persen). Sebab, merekalah yang memenuhi syarat-syarat kesempurnaan haji, yang antara lain adalah “lam yarfuts wa lam yafsuq”, tidak berbuat keji (seperti zina) atau tidak berkata-kata kotor dan tidak berbuat kefasiqan (maksiat). Di samping itu, merekalah yang benar-benar memiliki niat murni (ikhlas) karena Allah. Mereka tidak hanya memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun haji, tapi juga melaksanakan seluruh adab berhaji. Baik tatakrama lahir maupun tatakrama batin. Alhasil, merekalah yang melaksanakan haji dengan totalitas yang maksimum, sehingga mereka dengan serta merta diterima hajinya. Barangkali keenam orang itu memang orang-orang pilihan: orang-orang saleh, para wali abdal, wali autad dan semacamnya.

Dibanding keseluruhan jamaah haji, jumlah orang yang diterima hajinya begitu sedikit. Satu persennya pun tidak sampai. Bahkan sepersepuluh persen juga tidak. Melainkan hanya perseratus ribunya. Tetapi berkat mereka, haji seluruh 600.000 ribu jamaah diterima oleh Allah. Begitu tingginya kualitas haji mereka sehingga dapat menghela haji-haji yang lain untuk diterima oleh Allah.

Ini sama dengan shalat jamaah. Walau shalat kita kurang sempurna (misalnya, kurang khusyu’), tetapi karena imamnya adalah orang saleh yang bagus shalatnya, atau ada di antara para makmum ada yang memiliki kualitas demikian, maka Allah menerima shalat kita dan shalat seluruh jamaah lainnya. Bahkan, hanya dengan berkumpulnya para jamaah itu, meski di antara mereka tidak ada yang memiliki kebaikan, Allah akan menerima shalat seluruh jamaah. (Asalkan semua syarat dan rukun shalat dipenuhi.) Seperti kata ulama salaf, “Apabila shalat jamaah didirikan, Allah akan melihat ke hati imamnya. Jika di dalam hatinya ada kebajikan, Allah akan meridhai seluruh jamaah, menerima shalat mereka dan mengampuni mereka. Jika di dalam hati imam tidak ada kebajikan, Allah melihat hati para makmum. Jika di antara mereka ada yang memiliki kebajikan di hatinya, Allah akan meridhai menerima shalat mereka. Jika tidak ada yang memiliki hati yang baik, Allah melihat pada kumpulnya mereka dalam shalat serta berdirinya mereka bersama-sama di hadapan-Nya. Maka Allah akan meridhai, menerima shalat dan mengampuni mereka.” Begitulah fadhilah jamaah. Dalam istilah sosial, di sini berlaku subsidi silang. Yang sempurna shalatnya atau yang sempurna hajinya akan menyubsidi (menyeret) yang lain.

Agungnya Arafah

Kedua, tentang betapa agungnya kedudukan amal wuquf di Arafah. Jika kita perhatikan, pada malam Arafah baru enam orang yang ditetapkan hajinya diterima. Namun, setelah wuquf di Arafah, Allah memutuskan menerima haji seluruh jamaah, berkat keenam orang dimaksud. Itulah keagungan amal di Arafah.

Ini bisa dimengerti, mengingat di Arafahlah seluruh jamaah melaksanakan ibadah yang sama pada saat bersamaan. Lain halnya dengan amal-amal haji lainnya, seperti thawaf, sa’i dan lain-lain. Pasti tidak bisa dilaksanakan secara berbarengan oleh seluruh jamaah. Padahal, semakin besar jumlah jamaah, semakin besar nilai amal tersebut.

Selain itu, wuquf di Arafat adalah amal paling agung dalam haji. Sampai-sampai Rasulullah SAW bersabda:

الحج عرفة

  Haji itu (wuquf di) Arafah.

Sebenarnya, seperti kita tahu, amal haji bukan hanya Arafah. Ada thawaf, sa’i dan lain-lain. Mengapa hadis itu menegaskan bahwa haji itu (hanya) Arafah? Ini untuk menunjukkan betapa agung amal wuquf itu. Begitu agungnya seolah-olah Arafah merupakan keseluruhan ibadah haji. Seperti bulan purnama yang begitu terang menerangi bumi. Mungkin saat itu ada sinar bintang-bintang, namun karena besarnya sinar purnama, seolah hanya bulan purnamalah yang menerangi bumi.

Wuquf adalah puncak haji. Di Arafah lah orang akan merasakan kekerdilan dirinya. Di Arafah, di tengah tanah lapang, kita berdiri terpaku atau duduk terpekur, guna menyatakan kenistaan kita di hadapan-Nya. Guna menyatakan kekurangan kita. Guna mengakui dosa-dosa kita.

Dan di Arafah, pada hari wuquf itu, segala doa, zikir, munajat, tadharru’ dari jutaan manusia berpadu, lalu membubung ke langit. Dan jangan lupa, di antara jutaan umat itu ada orang-orang saleh, para wali, para autad, para abdal, yang juga memanjatkan doa, zikir dan munajat mereka. Mereka memelas, merajuk khusyu’ dan menangis pada Allah.

Arafah adalah tempat yang mulia. Seperti ditulis Imam Al-Ghazali, Arafah di hari wuquf pasti tak lepas dari orang-orang saleh, wali autad dan wali abdal dari seluruh penjuru dunia. Mereka berbaur dengan jutaan jamaah lainnya. “Manakala himmah (keinginan) mereka berpadu, dan hati mereka terfokus untuk hanya memelas (tadharru’) dan berdoa dengan segala keseriusan (ibtihal), tangan mereka tadahkan pada Allah, kepala mereka julurkan pada-Nya dan mata mereka arahkan ke langit, seluruhnya berpadu dalam satu keinginan: mencari rahmat Allah, maka jangan pernah kamu menyangka bahwa angan-angan mereka akan dikandaskan, usaha mereka disia-siakan dan rahmat bakal dikekang dari mereka,” tulis Al-Ghazali dalam Ihya’. Dan rahmat dari hadirat Allah, masih kata sang imam, pasti menjamah seluruh jamaah haji di Arafah berkat hati yang mulia dari para autad dan abdal ini.

Alhasil, di Arafah pula segala doa didengarkan oleh Allah. Segala dosa akan diampuni. Sampai-sampai Nabi SAW diriwayatkan bersabda:

أعظم الناس ذنبا من وقف بعرفة فظن أن ألله تعالى لم يغفر له

  “Manusia yang paling besar dosanya ialah orang yang berwuquf di Arafah lalu dia menduga bahwa Allah tidak mengampuni dosanya.”

Sebentar lagi jamaah haji bakal datang. Marilah kita sambut mereka sebagaimana kita menyambut para tentara yang menang perang. Atau sebagaimana kita menyambut orang-orang yang dimuliakan oleh Allah sebagai tetamu-Nya. Mereka telah dibersihkan dari dosa. Mintalah doa dari mereka. Hamid Ahmad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Telegram
WhatsApp