Pemimpin Sejati Siap Dikritikisi dan Disakiti
Suatu kali Nabi Muhammad SAW berkhutbah di hadapan para sahabat. “Kaum muslimin sekalian, aku bersumpah atas nama Allah, dan demi hakku atas kalian, bila ada di antara kalian yang pernah aku zalimi, silakan berdiri dan membalas!”
Tak ada reaksi. Beliau mengulangi kata-kata beliau. “Kaum muslimin sekalian, aku bersumpah atas nama Allah, dan demi hakku atas kalian, bila ada di antara kalian yang pernah aku zalami, silakan berdiri dan membalas!”
Semua orang diam. Tak ada yang bergerak, apalagi berdiri. Ai, siapa pula berani berbuat lancang kepada junjungan mereka? Lagi pula, mana mungkin beliau berbuat zhalim? Tidak ada yang merasa pernah dizalami.
Nabi SAW masih mengulangi kata-kata tadi. “Kaum muslimin sekalian, aku bersumpah atas nama Allah, dan demi hakku atas kalian, bila ada di antara kalian yang pernah aku zalami, silakan berdiri dan membalas, sebelum pembalasan di hari kiamat!”
Seorang lelaki tua renta, bernama ‘Ukasyah, berdiri. Dia berjalan maju, melewati orang-orang, hingga berdiri tepat di hadapan Rasulullah SAW Dari mulutnya yang keriput terlontar kata, “Demi ayah dan ibuku, andai saja Baginda tidak mengulang-ulang tawaran Baginda, saya tidak akan maju untuk hal yang satu ini. Saya pernah bersama Baginda dalam suatu peperangan. Setelah Allah memberi kemenangan pada kita dan membantu nabi-Nya SAW, kami dalam perjalanan pulang. Di tengah perjalanan, unta saya berjajar dengan unta Baginda. Saya turun dari unta dan mendekati Paduka. Saya ingin mencium paha Paduka. Tiba-tiba Paduka mengangkat cemeti dan memukulkannya pada paha saya. Saya tidak tahu, apakah itu sengaja Baginda lakukan pada saya ataukah Baginda hendak memukul unta.”
“Aku berlindung pada kebesaran Allah bahwa Rasulullah sengaja memukulmu. Bilal, pergilah ke Fathimah. Ambilkan cemeti kecil-panjang.”
Bilal keluar dari masjid seraya tangannya ditaruh di atas kepala. “Wahai, ini Rasulullah SAW menyerahkan dirinya untuk di-qishash (dibalas),” serunya penuh keluh.
Sampai di rumah Fathimah r.a., dia mengetuk pintu. “Wahai putri Rasulullah, ambilkan aku cemeti kecil-panjang,” panggilnya.
“Apa pula yang akan diperbuat ayahku dengan cemeti itu, sementara sekarang bukan musim haji, bukan pula hari peperangan?”
“Fathimah, mengapa Anda lupa dengan apa yang diperbuat (hari-hari ini) oleh ayahanda Anda. Rasulullah SAW sedang menitipkan agama, hendak berpisah dari dunia dan menyerahkan diri beliau untuk di-qishash (dibalas).”
“Bilal, siapakah yang sampai hati membalas Rasulullah SAW? Bilal, katakan pada Hasan dan Husain supaya mereka bangkit untuk menggantikan Rasulullah SAW guna menerima qishash dari lelaki itu. Jangan sampai mereka membiarkan itu lelaki membalas pada Rasulullah SAW”
Putihnya Perut
Bilal kembali ke masjid sambil membawa cemeti. Rasulullah SAW menerima itu cemeti dan langsung memberikannya kepada ‘Ukasyah r.a. Ketika Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. melihat hal itu, keduanya serentak berdiri. “’Ukasyah, kami berdua kini berdiri di depanmu. Balaslah pada kami dan jangan membalas pada Rasulullah SAW”
“Aba Bakar, dan kau Umar,” tegur Nabi SAW, “biarkan dia, minggir kalian. Allah telah mengetahui tempat kalian berdua.”
Selanjutnya Ali bin Abi Thalib r.a. berdiri, dan berkata, “’Ukasyah, sepanjang hayat dikandung badan, aku akan selalu berada di hadapan Rasulullah SAW Aku tidak rela Rasulullah SAW dipukul di hadapanku. Ini dia punggungku dan perutku. Balas aku dengan tanganmu. Pukullah aku seratus kali, tetapi jangan membalas pada Rasulullah SAW”
“Ali, duduklah!” sergah Nabi SAW “Allah telah mengetahui tempatmu dan niatmu.”
Giliran Hasan r.a. dan Husain r.a. berdiri. “’Ukasyah, tidak tahukah kamu bahwa kami ini cucu-cucu Rasulullah SAW Membalas pada kami sama saja dengan membalas kepada Rasulullah SAW”
Nabi SAW menukas, “Duduklah kalian berdua, ai permata hatiku. Mudah-mudahan Allah tidak melupakan maqam kalian.” Lalu beliau berpaling pada ‘Ukasyah r.a. “’Ukasyah, pukullah kalau kamu hendak memukul.”
“Rasulullah, Baginda memukul saya dalam keadaan perut saya terbuka.”
Beliau pun membuka baju beliau di bagian perut. Serentak para sahabat menangis. “Tidakkah kamu lihat, wahai ‘Ukasyah si pemukul Rasulullah SAW?” kata mereka.
Akan halnya ‘Ukasyah, begitu melihat putihnya kulit perut Rasulullah SAW, dia tidak tahan. Dia langsung menubruk, dan mencium perut itu. “Demi ayah dan ibuku, siapatah yang sanggup membalas pada Baginda?” ujarnya.
Beliau bertanya, “Apakah kamu hendak membalas atau kamu memaafkan?”
“Saya telah memaafkan Baginda karena berharap Allah mengampuni saya di hari kiamat.”
Beliau bersabda, “Barangsiapa ingin melihat kawanku di sorga, pandanglah orang tua ini.”
Bukan Basi-basi
Cerita di atas sungguh menggetarkan. Pernahkah Anda melihat pemimpin seperti ini? Seorang pemimpin yang meminta kepada anak buahnya untuk membalas kepada dirinya. Mungkin tidak pernah Anda lihat, terutama di zaman sekarang. Tetapi Rasulullah SAW, pemimpin tingkat dunia itu, yang namanya menjulang tinggi, mendesak sahabatnya untuk membalas pada beliau. Dan beliau bersungguh-sungguh. Bukan basa basi. Seandainya pun Ukasyah benar-benar memukul tubuh beliau dengan keras, beliau pasti akan menerima. Dan beliau bersedia melakukan itu karena beliau takut akan ada pembalasan di akhirat.
Coba lihat, beliau saja takut akan pembalasan di hari akhirat. Padahal beliau adalah pemimpin yang hatinya dipenuhi kasih sayang. Tidak sekali pun beliau berbuat zhalim kepada mereka. Sedang pemimpin lain, sudah banyak dia berbuat zhalim kepada anak buah atau rakyatnya, toh dia tidak mau mengakui kesalahannya. Dia merasa gengsinya jatuh bila melakukan itu. Dia merasa gengsinya jatuh bila minta maaf atas kesalahan yang diperbuat kepada bawahan, anak buah atau rakyatnya. Apalagi meminta mereka membalas.
Memang, salah satu godaan yang dihadapi para pemimpin ialah, mereka menjadi sangat peduli dengan gengsi. Semakin tinggi ketokohannya, semakin tinggi pula gengsinya. Sampai-sampai, tak sedikit pemimpin sekarang yang ogah mengalah dalam berbagai urusan. Maunya menang-menangan. Maunya di depan terus.
Begitupun, bila menyangkut materi, pembagian rezeki, mereka selalu menuntut bagian paling banyak. Tidak mau disamakan dengan orang lain, apalagi dikalahkan. Mereka minta didahulukan, diistimewakan. Sebaliknya, bila menyangkut hal tidak enak, mereka menyuruh anak buah untuk maju ke depan. Mereka merasa jatuh gengsi bila melakukan hal-hal tidak nyaman. “Ah, urusan seperti itu, serahkan saja kepada anak buah,” begitu biasanya orang menyarankan, dan si pemimpin menurut saja.
Nabi SAW bukan tipe seperti itu. Beliau tipe pemimpin yang berbanding terbalik. Bila ada kenikmatan, beliau selalu mengajak orang lain, tidak menikmatinya sendiri. Bahkan orang lain didahulukan. Seperti ketika beliau diundang makan oleh Abu Thalhah r.a. Beliau langsung mengajak seluruh jamaah di masjid untuk ikut. Ada sekitar 70-80 orang. Abu Thalhah langsung belingsatan, bingung, karena Ummu Sulaim r.a., istrinya, hanya punya makanan untuk Rasulullah SAW saja. Namun, berkat izin Allah dan mukjizat beliau, semua orang bisa makan dan kenyang. Begitulah kalau ada kenikmatan.
Sebaliknya, bila menyangkut urusan tidak enak, beliau berada paling depan. Dalam setiap pertempuran, misalnya, beliau selalu maju terlebih dahulu dan berada di garis terdepan. Begitupun dalam kesempatan lain. Misalnya, pernah pada malam buta, ketika semua orang terlelap, beliau menunggang kuda sendirian. Ketika mendengar suara gaduh – seperti ada musuh –, beliau langsung bangkit dari tidur beliau dan memacu kuda untuk mendatangi sumber suara. Beliau tidak menyuruh sahabat atau pembantu beliau pergi ke sana, misalnya, guna mencari tahu apa gerangan yang terjadi. Beliau bahkan tidak membangunkan orang-orang untuk diajak berbondong-bondong ke tempat tersebut. Subhanallah. Inilah pemimpin sejati.
Pemimpin sejati bukanlah pemimpin yang cengeng. Yang maunya enak melulu. Yang maunya dimanja terus. Disanjung terus. Yang merem melek bila dinina-bobokkan. Tidak mau disakiti. Tidak mau dikritik. Tidak mau disanggah pendapatnya.
Nabi SAW adalah sosok pemimpin yang berbeda 180 derajat dengan pemimpin seperti itu. Beliau selalu mengajak para sahabat bermusyawarah, dan menerima pendapat mereka, meski berbeda dengan pendapat beliau – seperti dalam Perang Uhud. Beliau siap berkorban – tanpa basa basi. Beliau siap tidak enak. Siap untuk disakiti, demi kebahagiaan umatnya.
Betapa luhur pribadi beliau. Pantaslah beliau dipuji dalam Al-Quran:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: “Dan sungguh kamu memiliki budi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4)
Hamid Ahmad