Polemik Arah Kiblat

Ustadz apakah boleh masjid/musholla yang dalam pengukurannya ternyata salah arah kiblatnya kemudian masyarakat dan ulama’ mempertahankan kiblat yang asal dengan alasan boleh saja arah jihat walaupun sudah diukur kiblatnya. Apakah sah shalat mereka di masjd tersebut, karena ulama di tempat saya berselisih dalam hal sah atau tidaknya? Syukron.

M.Nor Zein Amuntai Kalsel 

085248063xxx

Sesungguhnya persoalan syarat menghadap ke bangunan Ka’bah dalam shalat terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Pendapat yang kuat dalam Madzhab Syafi’i mensyaratkan posisi orang yang shalat harus lurus ke bangunan Ka’bah. Baik bagi yang shalat di dekat Ka’bah maupun yang berjauhan jaraknya. Bagi orang yang berada ditempat yang jauh dari Ka’bah, dibutuhkan petunjuk yang tepat untuk menentukan kebenaran arah posisi yang benar. Dalam hal ini ilmu falak (ilmu astronomi) sangat diperlukan untuk mencari arah yang tepat. Maka tidak heran kalau kita sering menemukan posisi arah kiblat masjid berbeda tingkat derajat kemiringannya di satu daerah dengan daerah yang lain sesuai dengan letak geografisnya. Masalah ini detailnya sudah pernah saya bahas pada CN beberapa edisi yang lalu.

Pendapat kedua menyatakan, bagi orang yang tinggal di tempat yang berjauhan dengan Ka’bah, cukup menghadap ke arah posisi Ka’bah (menghadap jihat Ka’bah). Yakni tidak harus persis pada bangunan Ka’bah. Dalam hal ini negara Indonesia berada di sebelah timur posisi Ka’bah. Sehingga dalam shalat cukup dengan menghadap ke arah barat, tanpa harus memperhatikan kemiringan derajat yang tepat (condong ke kiri atau ke kanan). Pendapat ini cukup kuat dan dipilih oleh beberapa ulama’ Madzhab  Syafi’i, diantaranya Imam Ghazali, Al-Jurjani, Ibnu ‘Ashirun, ibnu Kajjin dan lain-lain. Pendapat ini juga sama dengan yang dinukil dari Imam Abu Hanifah. Lihat. Bughyatu al-Mustarsyidin hal. 39.   

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Telegram
WhatsApp