TRADISI KHATAMAN SHAHIH BUKHARI DI BULAN RAJAB
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
Artinya: “Sungguh bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya empat bulan haram (mulia).” (At-Taubah: 36)
Keempat bulan mulia itu ialah: Dzil Qa’dah, Dzil Hijjah, Muharram dan Rajab. Kalau ketiga bulan pertama datang secara berurutan, Rajab adalah bulan mulia yang terpisah — mengucilkan diri. Kini kita memasuki bulan mulia yang berdiri sendirian itu.
Ini adalah bulan ibadah. Bulan memohon pada Allah. Bulan membersihkan diri dari dosa-dosa. Tetapi ini juga, di kalangan para habaib, bulan untuk mengaji hadis – bandingkan dengan bulan Ramadhan yang merupakan bulan tadarus Al-Quran. Ini adalah bulan untuk mengenal lebih jauh kepribadian Nabi Muhammad SAW, sekaligus sunnahnya dan ajarannya melalui sabda-sabda beliau dan deskripsi para sahabat mengenai prilaku beliau.
Memang ada tradisi di kalangan para habaib untuk mengkhatamkan kitab Shahih Al-Bukhari selama bulan Rajab. Di Pasuruan, Malang, Surabaya, Gresik, Pekalongan, Solo dan kota-kota lain tradisi ini berlangsung dari dulu, dari generasi ke generasi. Di Pasuruan, misalnya, tradisi ini telah berlangsung sejak Habib Ja’far bin Syaikhon As-Segaf dan masih berlangsung hingga sekarang. Sedang di Gresik sejak Habib Abu Bakar As-Segaf, dan diteruskan oleh anak serta cucu-cucunya hingga sekarang di tempat yang sama. Begitu pula yang terjadi di Solo dan kota-kota lain. Tradisi ini mereka boyong dari kakek-kakek mereka di Hadramaut, di mana pembacaan dan khataman berlangsung lebih semarak dan khidmat lagi.
Di kota-kota tertentu di Indonesia, pembacaan tidak hanya berlangsung di satu tempat. Misalnya, di Pasuruan, selain di petilasan Habib Ja’far juga berlangsung di Pondok Sunniyah Salafiyah di Sungi Kecamatan Kraton, di Pondok Putri Sunniyah Salafiyah di belakang Masjid Agung Al-Anwar dan di cabang Tambak Udan. Hingga tahun kemarin, pembacaan dan khataman berlangsung di tempat-tempat itu. Namun untuk tahun ini, Habib Taufiq berencana untuk menyatukan khatamannya, yaitu di petilasan Habib Ja’far (rumah Habib Taufiq di belakang Masjid Agung).
Sungguh elok tradisi itu. Membaca hadis, di kalangan kaum salaf kita, memang bukan perkara biasa. Itu adalah momen yang istimewa. Para perawi hadis zaman dulu tidak akan membaca hadis sebelum berwudhu’, merapikan diri dengan pakaian yang pantas (jubah putih, peci putih plus serban), memakai wewangian dan duduk dengan tenang. Mereka memang tidak sembarangan menyampaikan hadis dalam kondisi acak-acakan atau di tempat-tempat tidak layak, seperti pasar dan jalanan. Hadis memang bukan berita biasa, melainkan sabda dan warta dari seorang hamba paling mulia, yang tidak pernah berbicara berdasar hawa, melainkan wahyu dari Allah semata. Hadis adalah lautan ilmu yang harus dijunjung, dihormati.
Bergiliran
Tradisi pembacaan Shahihul Bukhari berlangsung dalam bentuk rohah. Rohah adalah membaca secara berjamaah, seperti halnya tadarus Al-Quran. Yaitu, para jamaah duduk melingkar dan secara bergiliran membaca teks hadis. Ada yang, pada tiap giliran, kebagian membaca satu hadis, ada pula yang lebih. Tergantung pada kelancarannya membaca.
Dalam rohah selalu ada pemimpin majelis. Misalnya, di petilasan Habib Ja’fah pemimpinnya adalah Ustaz Habib Taufiq As-Segaf, di petilasan Habib Habib Bakar adalah Habib Abdullah bin Muhsin As-Segaf dan di petilasan Habib Alwi Solo adalah (dulu) Habib Anis Al-Habsyi. Pemimpin majelis ini bertindak mengatur tertib majelis serta menjelaskan hadis-hadis yang dipandangnya penting untuk diterangkan (disebut hadhrah).
Tetapi hadhrah umumnya tidak ada dalam tradisi pembacaan Shahihul Bukhari di bulan Rajab. Sebab, yang dikejar adalah khatamnya. Menurut Habib Taufiq, hanya pada hari khataman ada selingan penjelasan mengenai beberapa hadis.
Bervariasi
Tradisi pembacaan Shahihul Bukhari umumnya dimulai pada awal Rajab. “Ada juga yang dimulai sebelum Rajab,” ungkap Habib Taufiq. Mengenai kapan khatamannya, ini bervariasi. Ada yang di akhir Rajab, seperti di Gresik, ada yang pada minggu ketiga, seperti di Pasuruan.
Tentang waktu pembacaan, ini juga bermacam-macam. Misalnya, di Pasuruan kegiatan berlangsung dua kali setiap hari. Yaitu pada pagi hari mulai pukul 6.00 hingga pukul 8.00 dan sore hari mulai pukul 4.00 hingga maghrib. “Dulu pada zaman walidi (ayahandaku) Habib A. Qadir berlangsung tiga kali, yaitu jam enam hingga delapan pagi, lalu jam sepuluh hingga dua belas siang dan jam empat sore hingga maghrib,” ujar Habib Taufiq.
Sedang di Gresik diadakan satu kali dalam sehari, yaitu di pagi hari. “Ini melanjutkan kegiatan rohah di sana. Hanya saja, kalau biasanya yang dibaca adalah kitab Ihya’ Ulumiddin, maka di bulan Rajab diganti dengan khataman Bukhari,” tutur Ustadz H.M. Fathoni Mukhlish, yang biasa mengikuti kegiatan rohah di petilasan Habib Abu Bakar As-Segaf.
Menurut Habib Taufiq, bahkan ada yang mengadakan pembacaan Shahihul Bukhari terus menerus mulai pagi hingga malam hari, dengan jamaah berganti-ganti. Yaitu bila yang dibaca adalah kitab aslinya Shahihul Bukhari. Maklum, kitab aslinya yang terdiri atas delapan jilid tidak mungkin bisa dikhatamkan selama satu bulan bila tidak dibaca secara maraton seperti itu.
Oya, tidak di semua majelis dibacakan kitab aslinya. Majelis di Solo, misalnya, masih menggunakan kitab aslinya. Namun banyak yang lain memakai versi mukhtashar atau ringkasannya, dalam hal ini kitab At-Tajridush Sharih susunan Az-Zubaidi. Termasuk di Pasuruan dan Gresik.
Khusus di Gresik, hanya pada hari khataman dibacakan kitab aslinya. Yaitu dari bagian Kitabul Ahkam atau Kitabul ‘Itaq di akhir kitab. “Ini menjadi semacam Wadh Dhuha pada khataman Shahihul Bukhari,” kata Fathoni. Artinya, kalau pada khataman Al-Quran pembacaan dimulai dari surah Wadh Dhuha, maka pada khataman Shahihul Bukhari dimulai dari Kitabul Ahkam atau Kitabul ‘Itaq.
Akan halnya majelis khataman, aha, ini lebih semarak dari hari-hari sebelumnya. Di Gresik, misalnya, kalau pada hari-hari biasanya yang hadir sekitar 10-20 orang, maka pada majelis khataman (sore hari) yang hadir biasanya membludak hingga ke jalanan. Dan untuk itu disediakan tenda khusus. Hadirin pun tidak hanya berasal dari Gresik tapi juga dari berbagai kota jauh seperti Solo, Pekalongan, Bandung bahkan Jakarta. “Mereka kalau mendengar ada khataman di mana, mereka akan datang,” kata Fathoni. Mereka adalah “khataman hunters” (pemburu khataman). Mereka adalah para pecinta hadis, para pecinta Shahihul Bukhari.
Mata acara khataman pun lebih variatif dan semarak. Usai pembacaan kitab hingga tamat, lalu ada pembacaan qashidah-qashidah yang kemudian ditutup dengan doa khusus Shahihul Bukhari. Dan, tentu saja, ada makan-makan.
Mengikuti pembacaan Shahihul Bukhari di bulan Rajab, menurut Habib Taufiq, memiliki banyak rahasia (sirr). Di antaranya adalah, ujarnya, sebagai wasilah (perantara) untuk memohon pada Allah supaya hajat kita terlaksana (qadhaul hajah). Kita pun, melalui majelis itu, akan lebih mengenal pribadi dan sifat-sifat Nabi SAW Dan, tentu saja, bila dilandasi niat yang baik, termasuk niat untuk menimba ilmu, maka itu bakal memberi nilai pahala yang besar – terlebih-lebih di bulan Rajab yang mulia. Seperti dikatakan Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Manhaj Dzawin Nazhar:
و أشرف العلوم علم الأثر فصحح النية ثم طهر
Artinya: Dan semulia-mulia ilmu adalah ilmu hadis. Karena itu, luruskanlah niat dan sucikan (hati dari pamrih dunia).
Betapa tidak, kata Syekh Muhammad Mahfuzh At-Tirmisi dalam syarahnya, hadis adalah media penyambung kita dengan Rasulullah SAW Di samping itu pula, semua ilmu lain menghajatkan pada ilmu hadis.
Paling Sahih
Tetapi, ngomong-ngomong, mengapa kitab Shahihul Bukhari? “Karena Shahihul Bukhari adalah ashahhul kutub ba’da kitabillah(sesahih-sahihnya kitab setelah kitab suci Al-Quran),” ujar Habib Taufiq.
Memang sudah menjadi kesepakatan di kalangan para ahli hadis bahwa kitab kumpulan hadis sahih Al-Bukhari dan Muslim merupakan kitab yang paling sahih setelah Al-Quran. Dan di antara keduanya, banyak ulama memilih karya Al-Bukhari sebagai yang lebih unggul.
Ada banyak alasan yang dikemukakan. Di antaranya, Imam Al-Bukhari menentukan kriteria yang lebih ketat mengenai hadis sahih. Dia, misalnya, mensyaratkan bertemunya secara aktual (meski hanya sekali) guru dan murid dalam rangkaian sanad. Akan halnya Imam Muslim (yang juga sangat ketat dalam hal syarat hadis sahih), beliau lebih longgar dibanding pendahulunya itu. Khususnya untuk hadis mu’an’an (hadis yang diriwayatkan dengan menggunakan lafal ‘an, misalnya “’an Sa’id Al-Musayyab ‘an Abi Hurairah r.a.), dia tidak mensyaratkan harus bertemu antara guru dan murid, cukup bahwa keduanya hidup semasa sehingga ada kemungkinan untuk bertemu.
Alasan lainnya adalah, banyak dari hadis Shahih Muslim yang diambil dari Shahihul Bukhari. Sehingga banyak ulama berandai-andai: seandainya tidak ada Shahihul Bukhari, mungkin tidak ada kitab Shahih Muslim.
Al-Bukhari memang tidak hanya pendahulu, beliau juga pelopor. Beliau adalah pelopor pengumpulan (kodifikasi) hadis-hadis sahih saja dalam satu kitab. Dan misi ini (menjaga otentisitas hadis) tampaknya menjadi satu kehormatan yang diberikan padanya dari junjungan beliau, Nabi SAW Sebab, pada suatu malam, beliau bermimpi berdiri di hadapan Rasulullah SAW sambil mengipasi junjungannya itu. Ketika hal ini kepada ahli-ahli ta’bir mimpi, mereka menyatakan bahwa dia akan menjadi orang yang akan membersihkan pembohongan-pembongan kepada Rasulullah SAW
Kitab Shahihul Bukhari terdiri atas 7.275 hadis, termasuk hadis yang diulang-ulang. Jika tanpa pengulangan, jumlahnya mencapai 4.000 hadis. Kitab itu berisi 100 kitab (chapter) dan 3.450 bab.
Al-Bukhari adalah seorang pecinta dan pengumpul hadis yang serius. Tak kurang 90.000 telah didatanginya untuk menimba ilmu dan mengais. Dari mereka didapatinya 600.000 hadis, yang dihafalnya luar kepala.
Tetapi beliau juga penyeleksi yang teliti dan hati-hati. Tak kurang dari 16 tahun dibutuhkannya untuk menuliskan kitab Shahihul Bukhari dan sekaligus untuk menyortir ke-600.000 hadis tersebut guna mendapatkan hadis-hadis yang benar sahih (tinggal 4.000 buah).
Beliau memang sangat cermat dalam menyeleksi hadis. Beliau tidak mau menulis satu hadis pun kecuali setelah beliau mandi lalu salat istikharah dua rakaat dan yakin betul bahwa hadis tersebut benar-benar sahih. Ust.Hamid Ahmad