TAHUN BARU: Proses Desakralisasi Psikografi Umat Islam

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ

“Katakan bahwa perhiasan dunia itu sedikit (artinya)….”

(QS AN NISAA: 77)

            Sebentar lagi Tahun Baru Masehi (1 Januari 2022) akan datang dan masyarakat di seluruh dunia siap untuk merayakannya hingga larut malam yang merupakan acara puncaknya. Nampaknya sudah menjadi tradisi turun-temurun bahwa peringatan Tahun Baru Masehi dirayakan oleh semua  bangsa di seluruh dunia, tidak peduli ras dan agama apa pun mereka. Fenomena (peristiwa) ini menjadi trend baru invasi (penyerangan) Judo-America (orang Amerika-Yahudi) yang oleh Gramsci (1999) disebut sebagai Americanism (Gerakan Amerikanisasi) dan Fordism. Amerikanisme ini menawarkan kesenangan dunia dengan filosofinya yang terkenal Hedonisme  (filsafat kesenangan) dan Materialisme (filsafat cinta akan materi) yang selalu seiring dan sejalan dalam mengadakan ekspansi (serangan) budaya  populer (pop culture).

Kalau kita amati peristiwa Tahun Baru ini, sebut saja di toko-toko buku, kita akan menjumpai bahwa kartu-kartu ucapan selamat banyak dicetak dan dibeli  konsumen  yang  selalu bertuliskan: Merry Christmas and Happy New Year  (Selamat Natal dan Tahun Baru). Kartu-kartu ini tercetak jauh lebih banyak ketimbang kartu Lebaran (‘Idul Fitri) padahal komunitas Nasrani jumlahnya kecil di Indonesia. Mengapa  konfigurasi (potret) realitas ini begitu menarik? Dan mengapa kemunculan Hari Natal selalu berbarengan dengan Tahun Baru Masehi? Peringatan Tahun Baru ini seakan-akan dirasa kurang harmonis bila dirayakan  tanpa didahului peringatan Hari Natal. Dengan kata lain, Tahun Baru adalah puncak acara kebaktian Natal.

            Secara ontologis dan epistemologis,  cerita tentang prosesi kelahiran Kristus (dalam peringatan Natal) tidak didasari oleh fakta historis yang cukup rasional dalam bentuk bahan penunjang  untuk menguji validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keajegan) data. Konon, tanggal kelahiran Kristus yang terjadi tanggal 25 Desember, yang selalu diperingati sebagai Hari Natal, sebenarnnya, menurut Irene,  adalah hari kelahiran “Dewa Api” bagi warga Romawi. Mereka selalu memperingati pesta ini secara glamor dan penuh kegembiraan. Tradisi ini susah untuk dirubah karena telah terjadi selama turun-temurun dan merefleksikan ethno-religion (corak agama leluhur yang diyakini secara turun-temurun).

Oleh sebab itu, misionaris Nasrani, khususnya kaum evangelist (penginjil), mengadakan “invasi kultural” agar bisa menyebarkan agama Nasrani di Romawi. Diluar dugaan bahwa masyarakat Romawi ternyata mau mengakui agama Nasrani dan menjadikan Nasrani sebagai agama mereka dengan syarat para misionaris itu menganggap bahwa hari kelahiran Kristus itu harus disesuaikan dengan tanggal peringatan kelahiran “Dewa Api” yaitu tanggal 25 Desember yang sarat dengan atmosfir hedonistik. Inilah fakta historis yang terjadi dan memberi kontribusi (sumbangan) yang luar biasa besar bagi perkembangan agama Nasrani (Kristenisasi?) sehingga agama Nasrani berkembang dengan pesat di sana hingga sekarang yang merupakan sentra kota suci umat Nasrani.

 Implementasi strategi Kristenisasi  ini senada dengan yang dikatakan oleh Lari  dalam  Western Civilization Through Muslim Eyes  (Peradaban Barat Dalam Perspektif  Orang Islam) yang mengatakan bahwa tujuan gereja selain menerbitkan surat kabarnya yang berjudul L’Osservatore Romano,  dengan oplah mencapai 300.000 eksemplar per hari, 50 jurnal bulanan, dan 32,000 sekolah dasar, universitas dan rumah sakit; ia juga memiliki tiga tujuan yang sangat substantif, yaitu: (1) penerjemahan Kitab Perjanjian Baru ke berbagai bahasa,  (2) pembangunan gereja dan tempat ibadah lain, dan (3) pengiriman misionaris ke seluruh dunia. 

Nampaknya, paradigma (pola pikir) yang ketiga inilah yang akan diulas karena berkenaan dengan perayaan Tahun Baru Masehi. Pengiriman misionaris ini bukan hanya dalam wujudnya sebagai manusia akan tetapi juga produk yang dihasilkan dan dipasarkannya, khususnya di negara-negara muslim. Pernahkah kita makan di KFC, McDonald, King Doughnut, dll.? Sudahkah kita tahu bahwa usaha ini adalah sebuah lisensi dan pemiliknya harus membayar lisensinya ke Amerika berkisar antara 20% – 30%? Untuk apakah uang itu buat Amerika yang sudah kaya? Rahasia inilah yang harus kita perhatikan bersama seiring dengan hadirnya Tahun Baru Masehi.

Bukankah potret realitas di atas adalah suatu tindakan koersif (kekerasan) pop culture (budaya pop) yang ditawarkan oleh peradaban Barat yang dianggap superior  oleh Huntington dalam tulisannya yang cukup kontroversial dengan judul Clash of Civilization (Benturan Peradaban)? Ia menawarkan satu premis bahwa Islam dan Konfusianisme adalah “budaya rendahan” dan akan menjadi ancaman bagi supremasi Amerika pasca-Uni Sovyet. Untuk itu Barat “menjajah” negara-negara Timur dengan ekspansi produk-produk unggulan mereka dalam wujudnya sebagai budaya pop yang digemari oleh anak-anak muda, bahkan remaja muslim sendiri.

Desakralisasi Psikografi (Peta Keberagamaan) Umat Islam

            Melihat paparan di atas bahwa peringatan Tahun Baru Masehi identik dengan suasana glamor atau kegembiraan ini, maka umat Islam perlu menengok ke belakang akan ajaran agama mereka yang sakral dan tidak terkontaminasi oleh apa pun dan siapa pun. Inilah bentuk desakralisasi (proses ketidaksucian) yang dilakukan oleh Barat terhadap agama kita yang luhur dan  kaaffa  (suci) dalam bentuknya yang sinergis yaitu ikatan budaya Barat (Western culturally bound). Perayaan Tahun baru Masehi ini telah memporakporandakan struktur masyarakat yang Islami menjadi masyarakat yang bimbang dan tidak mau tahu akan ajaran agama mereka.

Inilah bentuk dekonstruksi (pembongkaran)  kultur internal yang arif dan sederhana di tubuh umat Islam menuju budaya yang beringas dan hedonistik yang ditawarkan oleh perayaan Tahun Baru. Umat Islam yang terkenal akan kesantunan dan kesalehannya kini larut dalam pesta pora kaum Hippies, komunitas pergaulan remaja Amerika dengan segala perilaku mereka yang menyimpang, termasuk  Free sex, cohabitation, dsb. Kelompok ini jaya di tahun 1960-an karena dianggap sebagai couter-balance (tandingan) bagi peradaban Uni Sovyet yang kaku dan membelenggu. Ini sebenarnya merupakan pola adaptasi budaya Yahudi ke masyarakat Amerika pada mulanya.

            Sekarang prototipe ini ditiru oleh sebagian bangsa Indonesia dengan cara menciptakan kebisingan, dengan cara meniup terompet, menciptakan kemacetan lalu-lintas karena pawai di jalan-jalan, mengecat rambut dengan  hair-style yang funky dan memakai asesoris yang tidak lazim dipakai kaum lelaki atau perempuan, serta makan-makan di tempat yang istimewa, seperti rumah makan yang siap saji yang nota bene  adalah produk dan lisensi Amerika hingga larut malam. Aktifitas ini adalah cermin dari infiltrasi (penyusupan) budaya Barat yang telah dikonsumsi oleh umat Islam. Pola perilaku seperti ini adalah sebuah proses imitasi jalan-jalan setan yang diperingatkan oleh Allah dalam firman-Nya: “Masuklah ke dalam Islam secara kaaffa; dan janganlah kamu ikuti jalan-jalan setan. Sesungguhnya dia (setan) itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

            Tradisi yang memporak-porandakan  “infrastruktur umat Islam” ini hendaknya dihalau secepat mungkin agar tidak terjadi “desakralisasi psikografi” yang sedang kita bangun bersama. Dampak peringatan Tahun baru di Indonesia dirasa ironis sekali jika kita melihat perubahan peringatan pesta Tahun Baru di dunia Barat. Orang Barat  sendiri sekarang mulai menganggap perlunya sentuhan spiritual dalam peringatan itu seperti yang dikatakan oleh Freud, seorang psikoanalis: “Dalam kepenatannya akibat Era Industrialisasi ini masyarakat Barat mulai mencari agama untuk menenangkan jiwanya dan mereka juga  mendeklarasikan bahwa abad ke-20 adalah The Age of Religion (Zaman Agama).”  Peristiwa religious utopia (utopia keberagamaan) seperti inilah yang oleh Skinner dikatakan bahwa agama itu sebagai tension-reducing behavior. (perilaku untuk mengurangi ketegangan) (untuk lebih lanjut, lihat Rakhmat, 2003 dalam Psikologi Agama: Sebuah Pengantar)

            Melihat semaraknya peringatan Tahun baru di bumi Indonesia nampaknya kita cukup prihatin dalam menyikapi fenomena global ini. Orang-orang yang sudah melampau batas ini hendaknya memposisikan diri mereka ke dalam firman Allah Surat Al-Mu’min: 81: ”Dan Dia memperlihatkan kepada kalian tanda-tanda-Nya; maka tanda-tanda Allah yang manakah yang kalian ingkari?”  Aktifitas di Tahun Baru adalah satu proses signifikasi (penandaan) maka tanda yang positif apakah yang akan dipilih oleh umat Islam yang “tersesat” itu? Hanya mereka yang memperoleh hidayah Allah yang akan selamat dari hiruk-pikuk dunia yang fana ini. Bagaimanakah langkah-langkah konkret yang harus dilakukan umat Islam sebagai satu alternatif menghindari pengaruh yang dahsyat dari Tahun Baru ini?

Revitalisasi Teologi Sosial

            Rangkaian peristiwa (chains of events) di atas benar-benar memberi gambaran yang nyata akan degradasi moral yang dilakukan oleh sebagian umat Islam yang kurang menginternalisasikan ajaran agama mereka. Untuk konsiderasi (pertimbangan) inilah maka mereka hendaknya memahami teologi (tauhid) sosial yang dalam bentuknya, seperti: menghindari perbuatan yang tercela karena perbuatan itu bersifat destruktif (merusak), menjauhi teman-teman yang terlibat dalam kegiatan itu, memahami bahwa Allah selalu bersama mereka, seperti  firman-Nya dalam Al-Qur’an: “Allah adalah Cahaya langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya.” Dengan begitu mereka tidak akan melakukan perbuatan yang kurang baik itu.

            Teologi sosial ini merupakan cermin bagi manusia untuk bertindak agar mereka berperilaku sesuai dengan yang disarankan oleh Allah SWT.  Nampaknya, aktifitas kesalehan sosial ini terlupakan sehingga mereka larut dalam perbuatan yang kurang  memiliki  “ruh Islam” dalam implementasinya. Manusia, yang menurut kategorisasi saintifiknya, juga disebut sebagai Homo Ludens  (Makhluk yang suka bermain) yang memiliki naluri ingin keterbukaan dan kebebasan. Namun demikian, anggapan seperti ini hendaknya dibarengi dengan ketundukan individual dalam bingkai teologi sosial agar mereka mampu menyaring yang baik dan yang buruk.

Akselerasi (Percepatan) Kesalehan Sosial

            Meskipun Tahun Baru sudah di depan mata, namun umat Islam harus memiliki sikap positif untuk “menantang” eksistensinya dengan melakukan aktifitas kesalehan sosial bukannya tindakan yang koersif. Adapun wujudnya adalah aplikasi (penerapan) rasa syukur kepada Allah atas segala rahmat yang telah dilimpahkan dan mempercepat perilaku Islami lainnya demi terciptanya tatanan “kosmos ruhani” (God Spot) dalam kehidupan manusia. Inilah yang,  menurut Isutzu (1994), disebut sebagai Interelasi Antara Tuhan dan Manusia. Dengan aktifitas kesalehan inilah maka manusia mengharap akan segera memperoleh maghfirah dari Allah dalam kondisi yang hiruk-pikuk ini.

            Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.: “Saya suka sekali kalau amal perbuatanku yang saleh dibawa  naik ke langit dalam saat ini.” (Wujud akselerasi diterimanya amal saleh?) Dengan kesalehan sosial ini manusia akan mampu menemukan jati diri mereka yang selalu mengharap ridha Allah semata tanpa adanya pretensi (kepura-puraan) apa pun. Dalam kondisi yang seperti ini manusia akan memperoleh satu tingkat keutamaan yaitu insan kamil (manusia seutuhnya). Untuk mencapai tingkat seperti ini manusia hendaknya memperhatikan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah: 152: “Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” Inilah janji Allah yang harus dijadikan pijakan umat Islam dalam menciptakan aktifitas Islami.

Sikap Tidak Mudah Menyerah

            Dalam mempertahankan sebuah prinsip umat Islam tidak boleh menyerah karena prinsip ini didasari oleh satu ideologi komunal yang menyebabkan mereka sadar akan segala jerih payahnya. Meskipun umat Islam mengalami suasana  chaos  (kacau balau), namun mereka  hendaknya tidak mudah menyerah dalam beribadah (melakukan aktifitas suci). Sebagaimana sabda Rasulullah: “Melaksanakan ibadah pada masa yang kacau, seperti berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim) Untuk inilah umat Islam hendaknya menciptakan aktifitas tandingan vis-a-vis  Tahun Baru Masehi guna memurnikan ajaran Islam dari pengaruh budaya asing dalam bentuknya yang arif,  bukannya hura-hura semata.

            Sikap seperti ini bisa diwujudkan dalam bentuk tetap konsisten dalam “garis edar” Islam, yang selalu mengitari God Spot,  yaitu tetap berkhidmat kepada Allah dan tidak ikut arus modernisasi yang kebablasan itu. Umat Islam harus yakin dan tetap merayakan dan memeriahkan Tahun Baru Islam (Hijriyah) untuk menandingi Tahun Baru Masehi. Hal inilah yang kurang diperhatikan oleh umat Islam sendiri sehingga umat Islam terperosok dalam arus modernisasi yang tidak memiliki arah pemberdayaan nilai-nilai religiusitas dan spiritualitas. Dengan peringatan Tahun Baru Islam kita tunjukkan bahwa Tahun Baru Islam sarat dengan renungan-renungan suci (taqarrub ilaa Allah) yang mengembalikan manusia pada jati dirinya yang sebenarnya.

Kesadaran Akan Tugas Sebagai  Khalifa fii al-Ard

            Kesadaran akan khalifa (pemimpin) di bumi ini akan menguatkan usaha manusia di bumi ini guna menuju  ridha Allah semata. Seorang  khalifah hendaknya memberi tauladan yang baik bagi orang-orang yang dipimpinnya agar tercipta kepemimpinan yang adil dan bijaksana dengan tanpa merugikan orang lain sebagaimana sabda Nabi: “Orang Islam adalah kaum muslim yang terhindar dari gangguan lidah dan tangannya; sedangkan orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kasus Tahun Baru di atas telah memberi gambaran kepada umat Islam supaya meningkatkan kewaspadaannya dalam pergaulan karena umat Islam menjadi suri tauladan yang baik. Kalau seseorang yakin tentang dirinya sebagai seorang pemimpin, maka ia akan menggunakan hak kepemimpinannya atas manusia lain dengan penuh keimanan dan kasih sayang (Ar-Rahman dan ar-Rahiim) guna terciptanya keselarasan alam semesta. Inilah pola kepemimpinan dalam Islam yang sangat bertolak-belakang dengan pola kepemimpinan Barat yang sarat dengan strategi ketidakadilan dan menghalalkan segala cara.

Akhirnya, semoga kerangka pemikiran di atas menjadi satu solusi yang faktual (nyata) untuk meng-counter eksistensi Tahun Baru Masehi yang sarat dengan nuansa kultur Barat dan merupakan misi agama Nasrani ini. Atas pertimbangan inilah hendaknya umat Islam mengadakan koreksi diri (self-correction) dan unjuk diri (self-assertiveness) agar mampu menjaga kemurnian ajaran Islam. Selain itu, mereka harus menunjukkan bahwa tradisi dan peradaban Islam itu jauh lebih besar dan luhur, seperti yang pernah dikatakan oleh H.A.R Gibb: “Islam is not indeed a system of theology but it’s a complete civilization….” (Islam bukan hanya sekedar  sebuah sistem teologi akan tetapi Islam adalah suatu peradaban yang lengkap….) Wa Allahu’alam bii ash-shawab.

 AGUS HARIANTO, MM  adalah Pembina  Islamic Studies  di Kota Pasuruan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Telegram
WhatsApp