“PINTU DARURAT’ POLIGAMI ITU

Pernikahan ataukah perselingkuhan? Dua kata tersebut  sejak awal Desember lalu menyita perhatian masyarakat. Keduanya menyuguhkan pilihan, yang satu mendapat restu agama, sedangkan yang kedua adalah  maksiat yang rupanya sudah ‘membudaya’. Dua isu nasional yang bersifat sangat privat itu sempat mendominasi pemberitaan nasional beberapa saat. Pertama, adalah kabar perkawinan kedua (poligami) Abdullah Gymnastiar, da’i kondang dari Bandung. Kedua, isu skandal seks anggota DPR RI, berinisial YZ dengan ME di Jakarta. Blow-up pers tersebut juga sempat melupakan (sejenak) keprihatinan orang terhadap musibah Lumpur Panas dan kelangkaan Minyak Tanah. Padahal kedua-duanya menyangkut urusan masyarakat luas.

Ada keganjilan terjadi, yakni opini yang “setengah” dipaksakan dibentuk untuk “menilai” poligami yang legal (sah) ini sehingga dianggap seolah penyimpangan yang harus terus-menerus mendapat kritik, tanpa dilihat persoalannya secara proporsional. Sehingga terasa “kritik-kritik” pedas terhadap poligami ini seperti “mewakili’ kebencian kelompok Non Muslim selama ini terhadap doktrin Islam. Mereka tentu saja tak mampu mengeritik Al-Qur’an, Sunnah Nabi dan ajaran esensial lainnya, maka praktik poligami inilah yang kemudian diangkat mereka seolah “kejahatan seksual” yang tak terampunkan. Sementara perselingkuhan seksual yang komplet dengan penyebaran video porno secara bebas dianggap sebagai kecelakaan yang biasa. Sampai kemudian skandal seks ini menggebrak Gedung DPR RI.

Undang-undang Pornografi dan Pronoaksi yang selama ini alot dan tidak mendapatkan porsi  di parlemen, karena mungkin dientengkan, akhirnya kini sudah menjadi kenyataan yang memprihatinkan dan merisaukan masyarakat luas. Tiba-tiba isu umum ini berbelok ke kasus individual? Rasanya nuansa politisasi dan tarik-menarik kepentingan sesaat tampak dengan jelas.

Berhari-hari masyarakat mendapat ‘suguhan’ pemberitaan melalui media cetak maupun elektronik soal perdebatan tentang poligami dan ‘perang’ dua pihak pelaku skandal seksual. Sangat kentara sekali pers berulang-ulang menayangkan poligami Aa` (begitu panggilan sang Ustadz sehari-hari) dengan memberi kesan seakan ini perbuatan jahat. Namun sebaliknya kisah perselingkuhan dan skandal seks biduwanita yang membuka aibnya sendiri dengan menyebarkan gambar-gambar pornografi ini (Na’udzubillah min Dzalik!) dikesankan seakan tayangan hiburan biasa, yang di luaran jadi guyonan. Sampai-sampai pihak Non Muslim yang tidak ada urusan, kepentingan dan kaitan apapun dengan Islam diwawancarai dan diminta komentarnya. Pihak stasiun TV rupanya bermaksud mau menyusupkan tokoh dan artis Non Muslim  tersebut untuk ikut “mengobok-ngobok” dan “memanas-manasi” umat Islam di Indonesia melalui simpati dari para ibu yang tak setuju poligami. Padahal ini masalah serius masa depan bangsa.

Bayangkan, masalah poligami yang secara syar’i dasar dan aturannya sudah jelas dalam agama Islam, dicoba dibongkar lagi dengan perdebatan setuju dan tidak setuju. Kalangan “Islam Liberal” yang ide-idenya selama ini mendapat resistensi umat, begitu terjadi perdebatan poligami mereka serentak melakukan serangan bersama “musuh dalam selimut Islam”. Kemudian dimunculkannya posisi menikah lebih dari satu itu “dalam pro dan kontra” atau setuju dan menolak poligami.

Padahal, siapapun tahu bahwa poligami itu dalam syari’at Islam hukumnya adalah mubah (boleh) serta merupakan pilihan, dan pihak yang memilih bisa menolak untuk tidak melakukannya. Karena memang poligami ini bagi pria adalah ibarat “pintu darurat” dalam pesawat terbang. “Pintu darurat” ini hanya bisa digunakan jika ada kejadian yang khusus dan mendesak untuk menyelamatkan penumpang. Namun jika dalam keadaan normal “pintu darurat” dibuka, bisa diduga akan timbul masalah, serta dapat juga menelan “korban” para penumpang lain yang berada di dalam pesawat. Pesawat ini adalah rumahtangga yang berisi penumpang-penumpang lain, bukan hanya pilot. Pilot yang baik tentu tidak saja mahir dalam mengendalikan pesawat dengan piawai, tetapi juga sekaligus memahami kemungkinan terjadinya keadaan “darurat”.

Pemerintah kemudian mau ikut campur dalam mengatur ketentuan syari’at ini dengan undang-undang, atau usaha untuk, katanya, menyempurnakan UU yang ada. Padahal, pemerintah sesungguhnya tidak boleh mengatur cara beragama masyarakat, apalagi sampai menyangkut urusan privasi dalam rumahtangga. Pemerintah hanya berkewajiban membantu melancarkan kehidupan beragama agar tetap kondusif dan baik. Supaya umat lancar dalam melaksanakan ibadah secara seksama, maka pemerintah berkewajiban menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai, serta menjamin keamanan dan kenyamanannya Adapun soal aturan pelaksanaan ibadah itu, maka hendaklah diserahkan kepada agama itu sendiri tanpa ikut campur pemerintah.

Soal poligami misalnya, dalam syari’at Islam sudah diatur ketentuan-ketentuannya. Jika ada penyimpangan dalam menjalankannya, maka hal ini sudah ada juga konsekwensi-konsekwensinya. Memang kondisi sosial umat Islam di Indonesia masih terpengaruh poligami yang disimpangkan oleh para penguasa di sini di masa kerajaan dan penjajahan dulu kala. Sehingga poligami menjadi stigma buruk dan diidentikkan dengan perseliran, konkubin, kawin kontrak dan sebagainya yang ujung-ujungnya merendahkan martabat wanita, dengan menjadikan wanita tak ubahnya seperti barang. Tapi Islam  menerima poligami dengan syarat-syarat yang ketat, dan hanya dapat dilakukan oleh orang yang memahami benar persoalan ini, dan juga punya kemampuan fisik dan finansial yang memadai untuk hal itu.

Malaysia, negeri tetangga kita misalnya, rata–rata ummat Islamnya memahami poligami. Karena kondisi sosial masyarakat yang tidak resisten menerima poligami, maka praktik poligami di sana berjalan secara alami, dan tanpa sensasi dan publikasi seperti di sini. Karena hal ini sudah jelas menyangkut urusan dalam rumahtangga orang. Masyarakat Malaysia malah menganggap poligami sebagai solusi sosial. Pertama memiminalisasi terjadinya perzinahan, kedua mengurangi “daftar tunggu” gadis-gadis (ma’af, sebab seperti mungkin di sini di semenanjung Melayu itu konon perbandingan angka pria dan wanita sangat senjang, lebih banyak wanita), ketiga memberi kesempatan kepada para isteri untuk tidak melakukan reproduksi saja, namun juga dapat mengembangkan karier seperti pria, sehingga alokasi waktu bertemu suami tidak terlalu sering secara kuantitatif, tapi meski jarang pertemuan dapat berlangsung lebih berkualitas. Untuk itu, maka perlu dipikirkan bagi mereka yang mau melangkah ke arah poligami beberapa hal berikut ini, Pertama: niat utama yang harus bulat adalah menikah untuk ibadah atau dakwah, bukan untuk bersenang-senang saja. Kedua: harus siap untuk bertindak adil (proporsional) di dalam memimpin rumahtangga. Ketiga: harus sudah masuk kategori “darurat” seperti yang tersebut di atas. Jika tidak, maka poligami akan dianggap seperti “reklame buruk” bagi para wanita, yang diakibatkan para pelaku yang tidak mengerti “ilmu poligami” ini. MBH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Telegram
WhatsApp