Para Pencatut Nama Nabi
Seorang lelaki Bani Israil punya hobi buruk. Ia suka mencatut nama Nabi Musa a.s. Kalau berbicara dia hampir selalu mengutip kata-kata beliau. “Nabi Musa a.s. bersabda padaku begini begini,” katanya kepada orang-orang. Terkadang dia menyebut beliau dengan gelar beliau, yang diberikan Allah, seperti “kalimullah” (orang yang diajak bercakap oleh Allah), “shafiyyullah” (orang pilihan Allah) dan semacamnya.
Padahal, lelaki itu tidak pernah bertemu dengan Nabi Musa a.s. Satu kali saja tidak pernah. Beliau juga tidak pernah melihat orang tersebut, meski beliau mendengar namanya.
Bertahun-tahun berlangsung seperti itu. Suatu hari seorang lelaki datang kepada Nabi Musa a.s. sambil menuntun babi. “Wahai Nabinya Allah, apakah Baginda kenal dengan si fulan (disebut nama lelaki yang suka mencatut nama beliau tadi)?” katanya.
“Aku pernah mendengar mengenai dia,” jawab beliau.
“Dia adalah babi ini,” ujar lelaki itu lagi. Rupanya, lelaki pembual tadi telah dikutuk Allah menjadi seekor babi.
Beliau langsung memanjatkan doa kepada Allah. Beliau meminta Allah mengembalikan orang itu ke bentuk aslinya karena beliau hendak bertanya kepadanya mengapa Allah berbuat demikian kepadanya. Allah menjawab, “Musa, kalaupun kamu berdoa padaku dengan doa seperti Adam dan orang-orang setelahnya, Aku tidak akan mengijabahinya. Tetapi Aku akan memberitahumu mengapa Aku berbuat begini padanya. Yaitu karena dia telah memakan dunia dengan agama.”
Begitulah, ternyata ada pula pemalsu hadis dari Nabi Musa a.s. “Hebatnya”, itu terjadi ketika beliau masih hidup. Lalu kala beliau sudah meninggal, pemalsuan terjadi lebih hebat lagi. Tidak hanya hadis yang mereka palsukan, tetapi juga kitab suci. Mereka mengubah-ubah isi kitab Taurat, menambah-nambah serta menguranginya.
Terhadap kitab suci Al-Quran, pemalsuan tidak bisa dilakukan karena Al-Quran, sejak awal, telah dibukukan dengan baik. Dan sebelum pembukuan berlangsung, para sahabat menjaga keasliannya dengan sangat ketat, melalui hafalan mereka.
Memang pernah ada usaha-usaha sengaja dari para orientalis untuk mengubah-ubah beberapa bagian dari isi Al-Quran, atau menambahinya. Tetapi usaha mereka gagal total karena hal demikian segera terdeteksi. Begitupun, terkadang, terjadi kesalahan cetak secara tak sengaja oleh penerbit milik muslim. Tetapi, sekali lagi, hal itu cepat terdeteksi berkat banyaknya para penghafal Al-Quran. Para penghafal Al-Quran memang telah berjasa untuk menjaga keaslian Al-Quran.
Lebih Mudah
Terhadap hadis Nabi SAW upaya pemalsuan lebih mudah dilakukan mengingat hadis tidak terbukukan sejak awal. Meski ada sejumlah sahabat yang mendapat perintah khusus dari beliau untuk menuliskan apa-apa yang beliau sabdakan, namun secara umum beliau melarang penulisan hadis. Hal itu tidak lain, supaya sabda beliau tidak dikacaukan dengan Al-Quran.
Menyusul berakhirnya masa-masa Khulafaur Rasyidun (pasca-terbunuhnya Ali bin Abi Thalib r.a.), orang mulai berani membuat hadis-hadis palsu. Seiring dengan berjalannya waktu, pemalsuan hadis semakin menghebat.
Menurut para ahli hadis ada sejumlah faktor yang melatar-belakangi dan menjadi alasan timbulnya hadis palsu. Di antaranya, perselisihan politik (khususnya antara aliran Syiah, Khawarij dan Ahlus Sunnah sebagai golongan mayoritas). Hadis-hadis palsu dibuat menyerang kelompok lain dan melegitimasi kelompok sendiri. Itulah yang dalam firman Allah kepada Nabi Musa a.s. di atas disebut “memakan atau mengunyah dunia dengan agama.”
Ada pula hadis-hadis palsu yang dibuat oleh musuh-musuh Islam (kaum zindiq) yang tidak suka dengan kebesaran Islam. Hadis-hadis palsu itu dikarang untuk melemahkan Islam dan merobohkan bangunan keagungannya. Mereka adalah para musuh dalam selimut. Dan tentu saja, perbuatan yang dilandasi niat jahat terhadap Islam itu merupakan bentuk perlawanan kepada Allah dan Rasul-Nya, yang berarti kufur.
Tak sedikit hadis palsu yang dibikin para ulama su’ untuk menjilat pada penguasa. Hadis-hadis palsu yang dibuat itu berisi pujian dan sanjungan pada penguasa. Atau, berisi pembenaran terhadap apa-apa yang dilakukan penguasa serta keluarganya. Sama seperti yang pertama, ini pun masuk dalam kategori, “mengunyah dunia dengan agama.”
Masih ada motivasi-motivasi lain. Terkadang karena ingin dipandang hebat karena mengeluarkan hadis yang tidak diketahui orang lain. Terkadang karena fanatisme mazhab, dan hadis yang dikarang berisi pujian terhadap imam mazhabnya atau celaan kepada imam mazhab lain. Atau karena tujuan agama alias dakwah. Supaya orang merasa mantap, maka dikaranglah hadis. Dia, sama dengan yang lain-lain, adalah pencatut nama Nabi s.a.w.
Apapun motivasinya, mengarang hadis palsu adalah dosa besar. Sebuah bentuk kebohongan kepada Rasulullah SAW yang dicela oleh beliau dalam sabda beliau:
من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار
Artinya: “Barangsiapa berdusta atas aku, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.”
Terkadang orang tidak membuat hadis palsu. Dia pun tidak mengubah-ubah ayat Al-Quran. Hanya saja, dia membelokkan tafsir ayat-ayat Al-Quran atau hadis Nabi SAW untuk tujuan dunia. Entah demi kekuasaan, entah demi memperkokoh posisi partainya, kelompoknya atau apapun, entah untuk menggaet uang dari penguasa, atau demi melemahkan posisi Islam. Rasanya, hal-hal ini juga masuk dalam kategori “mengunyah dunia dengan agama” yang dicela oleh Rasulullah SAW. Atau masuk kategori “menjual ayat-ayat Allah, dengan harga yang murah”, seperti disitir dalam firman-Nya:
اشْتَرَوْا بِآَيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِهِ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu.” (At-Taubah: 9). Ust. Hamid Ahmad