Jihad dan Sodomi Dalam Pandangan Kaum Ekstrem Wahabi
Dalam mempelajari Islam, seseorang haruslah berpandu kepada guru yang alim dan memiliki sanad ilmu yang jelas. Tanpa bimbingan guru yang demikian, seseorang tentu rawan tersesat jalan. Kita sering mendengar ungkapan “Siapa yang tak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan.” Bukannya mendapat hidayah, murid yang tidak dibimbing guru yang mursyid malah akan terjerumus ke dalam jurang kesesatan.
Imam Malik RA pernah berwejang:“Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan pendidikannya (sanad ilmu atau sanad guru), serta dari orang yang mendustakan perkataan manusia, meski dia tidak mendustakan hadits Rasulullah SAW.”
Apa yang diwanti-wantikan oleh Imam Malik RA berabad silam sekarang benar-benar menjadi kenyataan. Beberapa waktu lalu berbagai situs berita dan situs jejaring sosial gempar dengan fatwa nyeleneh yang dikeluarkan salah seorang tokoh garis keras di Timur Tengah. Fatwa berbahasa Arab yang pertama kali muncul pada bulan Juni 2012 ini disiarkan dan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh MEMRI TV London dan bisa disaksikan di www.tinyurl.com/fakta012.
Fatwa ini dirilis situs berbahasa Arab bernama “Usudus Sunnah” (Singa-singa sunnah). Isinya adalah hukum dibolehkannya sodomi atas nama jihad oleh seorang mufti mereka yang bernama Syekh Abu Dima al-Qassab. Nah, inilah salah satu efek negatif belajar tanpa bimbingan guru.
Dalam berita yang ramai ditayangkan media berbahasa Arab dan Inggris itu disebutkan bahwa seorang “mujahid” minta fatwa atas eksperimen barunya, yaitu memasukkan bahan peledak melalui (maaf) anusnya. Untuk mempermudah memasukkan peledak ini mereka mesti memperlebar lubang anus si mujahid. Caranya dengan melakukan sodomi bergantian. Dengan bahan peledak model baru ini mereka berkeyakinan bakal bisa lebih mudah menyelinap dan meluluh-lantakkan tempat-tempat musuh yang mereka incar.
Jawaban sang mufti sunguh mencengangkan. Bayangkan, ia membolehkan sodomi untuk tujuan pengeboman. Dalil yang ia kemukakan adalah “Innamal a’malu binniyat” yang artinya amal itu didasarkan pada niatnya. Betapa dangkalnya pemahaman yang ia miliki.
Syekh Abu Dima menjelaskan bahwa sodomi memang dilarang Islam, akan tetapi jihad adalah ibadah yang paling utama. Apabila misi jihad tidak bisa tercapai tanpa sodomi, maka hukumnya boleh saja melakukan perbuatan biadab itu. Dia berusaha membenarkan fatwanya dengan kaidah fikih yang umum, Ad-darurat tubihu al-Mahdzurat, yang artinya keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang. Ia berdalih lagi bahwa sarana untuk melakukan kewajiban hukumnya adalah wajib. Menurutnya, tidak ada yang lebih wajib dari jihad. Adakah ia beranggapan bahwa sodomi atau praktek homoseksual itu wajib demi kelangsungan jihad? Astaghfirullah…
Yang menggelikan, ia menasehati para mujahid yang hendak bersodomi ria: “Dan jangan lupa memperbanyak istighfar kepada Allah dan memuji-Nya lebih banyak lagi. Yakinlah anakku, bahwa Allah akan membangkitkan para mujahidin di hari kiamat sesuai niatnya, sedangkan niatmu adalah menolong Islam. Semoga Allah menerima amalmu…”
Fatwa satu ini disambut penuh sorak- sorai oleh media-media anti Islam. Mereka yang selama ini getol melecehkan Islam seolah menemukan celah untuk semakin menjatuhkan harkat agama yang suci ini. Lewat acara-acara talk show, para aktivis anti Islam bersama-sama mentertawakan fatwa konyol ini. Mereka beranggapan bahwa praktik sodomi atau homoseksual adalah salah satu ajaran Islam yang dipraktekkan di madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren.
Anggapan mereka tentu saja salah. Islam sangat menista perilaku homoseksual. Allah SWT berfirman:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81) وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (82) فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ
“Dan Luth ketika berkata kepada kaumnya: mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita. Malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya. Dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu). Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” [QS Al-A’raf:80-84].
Pada ayat lain, Allah SWT mengilustrasikan siksa yang menimpa kaum Nabi Luth waktu itu:
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ (82) مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas berada di bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” [Hud : 82-83]
Ayat-ayat di atas dengan gamblang menjelaskan larangan dan kutukan Allah SWT terhadap pelaku praktik homoseksual. Larangan-larangan ini diperkukuh sederet hadits yang dibawakan para sahabat.
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Baginda Nabi SAW pernah bersabda: “Siapa saja yang engkau dapati mengerjakan perbuatan homoseksual, maka bunuhlah kedua pelakunya!” (ditakhrij oleh Abu Dawud 4/158 , Ibnu Majah 2/856, At-Turmuzi 4/57 dan Darru Quthni 3/124). Dalam riwayat lain Ibnu Abbas mengutip sabda beliau: “Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali)” (HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 No. 7337)
Hadits riwayat Jabir mengungkapkan: “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR Ibnu Majah : 2563, 1457).
Tidak ada silang pendapat di antara para sahabat mengenai hukum keharaman perbuatan homoseksual. Perbedaan pendapat hanya muncul dalam menentukan jenis hukuman yang dikenakan kepada pelaku. Di antara sanksi yang dikemukakan mereka adalah: membakar pelaku dengan api, menindihnya dengan dinding, dijatuhkan dari tempat yang tinggi sembari ditimpuki dengan batu, ditahan di tempat yang paling busuk sampai mati.
Riwayat dari Khalid bin Al-Walid mengisahkan bahwa ia pernah mendapati seorang lelaki yang disetubuhi sebagaimana seorang wanita di sebagian daerah Arab. Ia menulis surat kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq mengenai ihwal ini. Membaca surat Khalid, Abu Bakar Ash-Shiddiq kemudian meminta nasihat kepada para shahabat. Di antara mereka yang paling keras pendapatnya adalah Ali bin Abi Thalib yang berkata:
” مَا فَعَلَ هَذَا إِلاَّ أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنَ الأُمَمِ، وَقَدْ عَلِمْتُمْ مَا فَعَلَ اللهُ بِهَا، أَرَى أَنْ يُحْرَقَ بِالنَّارِ “
“Tidaklah ada satu umat pun dari umat-umat (terdahulu) yang melakukan perbuataan ini, kecuali hanya satu umat (yaitu kaum Luth) dan sungguh kalian telah mengetahui apa yang Allah SWT perbuat atas mereka, aku berpendapat agar ia dibakar dengan api.”
Abu Bakar menulis surat perintah kepada Khalid agar membakar lelaki pelaku homoseksual dan perintah itu dilaksanakan oleh sang panglima.
Demikianlah, betapa tegas Baginda Nabi SAW dan para sahabat dalam mengharamkan perbuatan homoseksual. Begitu pula para alim ulama, baik di masa dahulu mau pun di era belakangan. Perbuatan ini jelas-jelas terlaknat dan tiada ruang sama sekali untuk menghalalkannya. Lalu, bagaimana dengan fatwa Syekh Abu Dima’ al Qassab? Agaknya ucapan yang satu ini tidak usah dianggap sebagai fatwa. Anggap saja omong kosong yang biasa terlontar di obrolan warung kopi. Dalam ranah pengetahuan, orang yang sanad keilmuannya tidak jelas tak perlu digubris.
Tentang Bom
Kasus-kasus bom yang marak di dunia Islam akhir-akhir ini adalah ulah segelintir kaum muslim yang bertaklid buta kepada Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan bermuara pada pola pemahaman Syekh Ibnu Taimiyyah. Pemikiran-pemikiran merekalah yang memicu kaum muslimin saling menumpahkan darah. Di Somalia dan Afghanistan, manusia-manusia yang telah bersyahadat saling bantai gara-gara provokasi para ulama yang berafiliasi pada Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Para pengikut ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab atau yang lebih dikenal sebagai Wahabi ini dikenal paling benci kepada orang-orang sufi. Mereka menganggap bahwa orang-orang sufi menyembah kuburan-kuburan wali sehingga darah mereka halal untuk ditumpahkan. Pemahaman ini bersumber dari akidah mereka yang menyatakan bahwa tauhid itu terbagi menjadi tiga bagian, yakni tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah, tauhid Asma dan Sifat. Menurut mereka, orang-orang sufi hanya percaya kepada tauhid Rububiyyah dan tidak menyakini tauhid Uluhiyyah, dan sebab itulah mereka kafir dan boleh dibunuh. Lebih jauh lagi mereka mengatakan bahwa orang-orang kafir Qurasy lebih bagus tauhidnya daripada orang-orang sufi.
Abuya Prof. Dr. Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam makalahnya pada pertemuan nasional dan dialog pemikiran yang kedua pada 5 sampai 9 Dzulqa’dah 1424 H di Mekkah al-Mukarramah, mengatakan bahwa pembagian tauhid menjadi tiga adalah penyebab utama munculnya ekstremisme atau radikalisme. Pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih sebagai ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin, serta tak ubahnya seperti tongkat yang membuat perpecahan di antara umat Islam.
Al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki, ulama terkemuka abad 12 Hijriah yang semasa dengan pendiri Wahabi, berkata dalam Hasyiyah ala Tafsir al-Jalalain saat menafsiri ayat 7 surat Fatir:
هَذِهِ اْلآَيَةُ نَزَلَتْ فِي الْخَوَارِجِ الَّذِيْنَ يُحَرِّفُوْنَ تَأْوِيْلَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَيَسْتَحِلُّوْنَ بِذَلِكَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمْوَالَهُمْ كَمَا هُوَ مُشَاهَدٌ اْلآَنَ فِيْ نَظَائِرِهِمْ وَهُمْ فِرْقَةٌ بِأَرْضِ الْحِجَازِ يُقَالُ لَهُمُ الْوَهَّابِيَّةُ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ عَلىَ شَيْءٍ أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ الْكَاذِبُوْنَ. (حاشية الصاوي على تفسير الجلالين، ٣/٣٠٧(
“Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum muslimin sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang disebut dengan aliran Wahhabiyah. Mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta.” (Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 3, hal. 307). Sayangnya, pada cetakan setelah tahun 1988, kalimat ini dihapus oleh simpatisan Wahabi. Alhamdulillah, penulis masih menyimpan cetakan lama.
Tokoh ulama mazhab Hanafi, al-Imam Muhammad Amin Affandi yang populer dengan sebutan Ibnu Abidin berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-Muhtar:
“مَطْلَبٌ فِي أَتْبَاعِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ الْخَوَارِجِ فِيْ زَمَانِنَا :كَمَا وَقَعَ فِيْ زَمَانِنَا فِيْ أَتْبَاعِ ابْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ الَّذِيْنَ خَرَجُوْا مِنْ نَجْدٍ وَتَغَلَّبُوْا عَلَى الْحَرَمَيْنِ وَكَانُوْا يَنْتَحِلُوْنَ مَذْهَبَ الْحَنَابِلَةِ لَكِنَّهُمْ اِعْتَقَدُوْا أَنَّهُمْ هُمُ الْمُسْلِمُوْنَ وَأَنَّ مَنْ خَالَفَ اعْتِقَادَهُمْ مُشْرِكُوْنَ وَاسْتَبَاحُوْا بِذَلِكَ قَتْلَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَقَتْلَ عُلَمَائِهِمْ حَتَى كَسَرَ اللهُ شَوْكَتَهُمْ وَخَرَبَ بِلاَدَهُمْ وَظَفِرَ بِهِمْ عَسَاكِرُ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَ ثَلاَثٍ وَثَلاَثِيْنَ وَمِائَتَيْنِ وَأَلْفٍ.” اهـ (ابن عابدين، حاشية رد المحتار، ٤/٢٦٢).
“Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibnu Abdil Wahhab yang keluar dari Najed dan berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti mazhab Hanabilah, akan tetapi mereka meyakini bahwa mereka saja kaum muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka adalah orang-orang musyrik. Oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merusak negeri mereka dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233 H.” (Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, juz 4, hal. 262).
Ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab yang notabene ayah pendiri Wahabi, Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah:
وَكَذَلِكَ ابْنُهُ سُلَيْمَانُ أَخُوْ مُحَمَّدٍ كَانَ مُنَافِيًا لَهُ فِيْ دَعْوَتِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ رَدًّا جَيِّداًبِاْلآَياَتِ وَاْلآَثاَرِ وَسَمَّى الشَّيْخُ سُلَيْمَانُ رَدَّهُ عَلَيْهِ ( فَصْلُ الْخِطَابِ فِي الرَّدِّ عَلىَ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ ) وَسَلَّمَهُ اللهُ مِنْ شَرِّهِ وَمَكْرِهِ مَعَ تِلْكَ الصَّوْلَةِ الْهَائِلَةِ الَّتِيْأَرْعَبَتِ اْلأَبَاعِدَ فَإِنَّهُ كَانَ إِذَا بَايَنَهُ أَحَدٌ وَرَدَّ عَلَيْهِ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى قَتْلِهِ مُجَاهَرَةًيُرْسِلُ إِلَيْهِ مَنْ يَغْتَالُهُ فِيْ فِرَاشِهِ أَوْ فِي السُّوْقِ لَيْلاً لِقَوْلِهِ بِتَكْفِيْرِ مَنْ خَالَفَهُ وَاسْتِحْلاَلِ قَتْلِهِ. اهـ (ابن حميد النجدي، السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة، ٢٧٥).
“Demikian pula putra beliau, Syekh Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), juga menentang terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi SAW. Syekh Sulaiman menulis bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi al-Radd ‘ala Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah SWT telah menyelamatkan Syekh Sulaiman dari keburukan dan tipu daya adiknya meski ia sering melakukan serangan besar yang mengerikan terhadap orang-orang yang jauh darinya. Setiap ada orang yang menentang dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara terang-terangan, maka ia akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat tidurnya atau di pasar pada malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan menghalalkan membunuh orang yang berselisih pendapat dengannya.” (Ibnu Humaid an-Najdi, al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah, hal. 275).
Di antara korban kebengisan Wahabi di negeri Hijaz adalah keluarga Syekh Nawawi Banten. Berikut kutipan kisah pembantaian itu yang telah diceritakan keluarga besar beliau:
“Pada zaman dahulu di kota Mekkah, keluarga Syekh Nawawi bin Umar al-Bantani (pujangga Indonesia yang makamnya ada di Ma’la, Mekkah Saudi Arabia) pun tidak luput dari sasaran pembantaian Wahabi. Ketika salah seorang keluarga beliau bernama Syekh Ahmad Hadi asal Jaha Cilegon Banten sedang duduk memangku cucunya, tiba-tiba gerombolan Wahabi datang memasuki rumahnya tanpa diundang. Dengan kejam mereka membantai Syekh Ahmad Hadi dengan cara disembelih sampai tewas. Dalam pembantaian itu darah Syekh Ahmad Hadi mengalir membasahi tubuh cucunya yang masih kecil di pangkuannya.“
Betapa dahsyatnya efek dari penafsiran yang salah atas teks-teks Al-Quran dan hadits. Semua ini bermula dari cara pembelajaran yang salah, yakni belajar dasar-dasar agama tanpa didampingi guru yang mumpuni dan bersanad. Sudah umum dimaklumi bahwa para tokoh Wahabi garis keras adalah orang-orang yang tak memiliki sanad ilmu yang jelas. Mereka lebih banyak membaca buku lalu mencari tafsir yang sesuai hawa nafsu mereka. Bahkan pakar hadits mereka, Albani, hanyalah sosok lelaki yang gemar membaca buku-buku di perpustakaan. Ia sama sekali tak pernah mengenyam pendidikan dibawah asuhan ulama hadits yang kredibel. Dari sinilah muncul penyimpangan-penyimpangan kelompok radikal… Tim Cn