HAUL SOLO DAN KEHEBATAN MAULID HABSYI

Salah satu yang khas pada haul di Solo ialah pembacaan Simthud Durar alias Maulid Al-Habsyi. Acara yang diadakan sehabis shalat subuh ini tak kalah khidmat dibanding majelis haul itu sendiri, yang berlangsung sehari sebelumnya. Juga sama ramainya karena para hadirin dari luar kota umumnya menginap dua malam supaya dapat mengikuti kedua majelis itu sekaligus. Atau, kalaupun mereka tak cukup punya waktu, mereka akan memilih salah satu dari keduanya: kalau tidak majelis haul, ya majelis maulid saja.

Tradisi pembacaan maulid Al-Habsyi ini, sangat boleh jadi, sudah berlangsung sejak haul pertama kali diadakan di Solo oleh Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Al-Habsyi. Maklumlah, penyusun maulid tersebut tidak lain adalah shohibul haul, yaitu Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, ayahanda dari Habib Alwi.

Habib Ali mulai menyusun Maulid Al-Habsyi pada usia 68 tahun. Yaitu pada 10 Shofar tahun 1322 H. Dia tidak menulis, melainkan mendiktekannya kepada putra sulungnya, Habib Muhammad bin Ali. Dikte berlangsung dalam tiga majelis. Pada majelis pertama didikte bagian khutbahnya saja. Usai mendikte, Habib Ali meminta Habib Muhammad membacakannya. “Insya Allah aku akan segera menyempurnakannya,” kata Habib Ali. Dan benar, tak lama kemudian dia menyuruh Muhammad menulis lagi, dimulai dari:

فسبحان الذي أبرز من حضرة الإمتنان

hingga  

و يكتب بها بعناية الله في حزبه

Selanjutnya Simthud Durar disempurnakan pada majelis ketiga yang berlangsung pada hari Selasa awal bulan Rabi’ul Awal pada tahun yang sama. “Maulid ini sangat menyentuh hati karena baru saja selesai diciptakan,” kata Habib Ali seusai putranya membacakan seluruh Maulid. Oh ya, masih ada satu majelis lagi, yaitu pada 10 Rabiul Awal tahun itu juga. Pada majelis ini Habib Ali menyempurnakan karya yang sudah jadi.

Kabarnya, setiap majelis pendiktean berlangsung singkat (khafif). Untaian kata-kata yang merangkai Maulid meluncur begitu saja dari mulutnya, mengalir bak aliran air. “Itu bukan dari dia sendiri, tapi warid (ilham),” kata KH. Humaidi Abdul Majid Pasuruan, yang pernah menerima ijazah Simthud Durar dari Habib Ahmad bin Alwi (Hadramaut) dan Habib Anis bin Alwi (Solo), selain dari Habib Abdul Qadir bin Husain As-Segaf Pasuruan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Habib Ali sendiri, “Ini adalah ilham yang diberikan Allah kepadaku.”

SUDAH LAMA

Mengenai latar-belakang mengapa dia menyusun Simthud Durar, dia berkata, “Sudah sejak lama aku berkeinginan untuk menyusun kisah maulid. Sampai suatu hari anakku Muhammad datang menemuiku dengan membawa pena dan kertas, kemudian berkata kepadaku, ‘Mulailah sekarang.’ Aku pun lalu memulainya.”

Sudah sejak lama Habib Ali menggelar majelis maulid di tempatnya di Sewun, setiap tahun. Seperti diungkapkan cucunya, Habib Abdul Qadir bin Muhammad bin Ali, majelis itu mulai berlangsung pada tahun 1296 H. Yang dibaca saat itu adalah Maulid Ad-Diba’i.

Sejak pertama kali digelar, majelis ini mengundang banyak peminat. Jumlah mereka setiap tahun selalu bertambah dan bertambah. Karena itu tempatnya pun dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain karena tempat yang lama tidak lagi menampung. Kalau mula-mula di dalam ruangan, yaitu di ribath dan kemudian di Masjid Jami’, selanjutnya acara dilangsungkan di tempat terbuka, yaitu di halaman Anisah.

Ada versi yang mengatakan bahwa Habib Ali menyusun Simthud Durar karena mendapati kata-kata yang dirasanya kurang pas pada Maulid Ad-Diba’i. Tepatnya pada bagian yang bercerita tentang kedatangan tiga sosok (malaikat) kepada Nabi Muhammad SAW. Kala itu, beliau yang masih kecil sedang bermain bersama teman-teman beliau. Anak-anak itu lari, lantas ketiga malaikat “mengoperasi” beliau. Mereka mengeluarkan hati beliau lalu membersihkannya. Seterusnya tertulis di Ad-Diba’i:

و نزعوا منه حظ الشيطان

yang artinya: “Dan mereka mencabut dari hatinya, bagian syetan.” Konon, Habib Ali kurang sreg (pas) dengan kata-kata ini karena, menurut dia, di hati Nabi SAW tidak mungkin ada “bagian untuk syetan”. Karena itu, dalam maulidnya, pada bagian yang menceritakan kedatangan tiga malaikat itu, dia menggunakan kata-kata berikut:

ثم أخرجوا من قلبه ما أخرجوا

Artinya: “Kemudian mereka mengeluarkan dari hatinya apa-apa yang mereka keluarkan.”

Tetapi hal ini dibantah oleh Kiai Humaidi, pecinta Simthud Durar. Menurutnya, itu hanya persoalan perbedaan redaksi (pilihan kata) atau perbedaan rasa antara Habib Ali dan Imam Abdur Rahman bin Alil bin Muhammad Asy-Syaibani, penyusun Maulid Ad-Diba’i, sehingga tidak perlu dipertentangkan. “Imam Abdur Rahman itu juga muhibbur Rasul (pecinta Rasulullah SAW),” katanya. Tidak mungkin, lanjutnya, sang imam mempunyai pandangan yang merendahkan Nabi Muhammad SAW.

Lalu dikutipnya tafsir yang pernah dia dengar dari almarhum Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas Bogor sebagai berikut: Nabi SAW adalah rahmat bagi seluruh alam, termasuk manusia, jin dan syetan. Beliau merahmati atau menyayangi mereka. Nah, rasa kasih kepada syetan itulah yang dikeluarkan dari hati beliau.

Dengan demikian, menurut Kiai Humaidi, bukan redaksi Ad-Diba’i tadi itulah yang memantik motivasi Habib Ali untuk menyusun Maulid. Mungkin hal lain. Apa? Mungkin cerita di bawah ini.

Suatu kali, ketika sedang berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah, Habib Ali merasa dirinya tidak pantas menjadi cucu Rasul karena, menurut perasaannya, dia banyak kesalahan. Maka pecahlah tangisnya. Tiba-tiba dia melihat makam Rasul SAW pecah, dan di sana ada sinar yang tembus ke langit. Melihat itu, dia langsung pingsan. “Sejak itu, beliau memiliki dorongan yang kuat untuk menulis Maulid,” ungkap Ustaz Abdul Halim Mas’ud Pasuruan, mengutip kata-kata almaghfur lah Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi Solo.  

Entahlah. Apa memang betul hal itu atau hal lain yang menerbitkan dorongan di hati Habib untuk menyusun Maulid. Tetapi yang jelas, cintanya kepada Rasulullah SAW sangatlah kuat dan mendalam. Dan cinta mendalam itulah yang, menurutnya, membuat Simthud Durar disukai oleh masyarakat. “Pujianku kepada Nabi SAW dapat diterima oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi SAW,” ujarnya. 

Habib tak salah. Setahun setelah dia mendiktekan Simthud Durar, dia membacakannya di hadapan khalayak pada majelis maulid. Ternyata tanggapan sangat bagus.  Maka mulailah maulid ini tersebar luas di Sewun.

Dari Sewun Simthud Durar terus menjalar, hingga keluar dari batas-batas negara. Yaitu ke Mekah, Madinah, Afrika dan Indonesia. Ke Indonesia, diperkirakan mulai masuk sekitar tahun 1920-an, dibawa oleh murid-muridnya yang dipelopori oleh Al-Habib Bin Idrus Al-Habsyi dan diteruskan oleh Al-Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang Jakarta.  

Mula-mula maulid ini lebih banyak dikenal di kalangan para habaib. Namun dalam satu dua dasa-warsa terakhir mulai dikenal di kalangan luas. Bermunculan majelis-majelis maulid Al-Habsyi, berikut hadrah Banjarinya. Acara-acara peringatan maulid, walimah (penganten atau khitan) dan tasyakuran mulai banyak yang diisi dengan pembacaan maulid Al-Habsyi – meski maulid Ad-Diba’i dan Al-Barzanji masih belum ditinggalkan. Begitu pula dengan majelis haul.

Khusus majelis haul ada yang unik. Di beberapa tempat, pembacaan maulid Al-Habsyi dilakukan secara khusus, seusai shalat subuh. Ini mungkin terimbas atau meniru tradisi haul di Solo. Hanya saja, kalau di Solo majelis haul dan majelis maulid dilangsungkan pada hari berbeda, di tempat lain pada hari yang sama: paginya majelis maulid, siangnya majelis haul.

Hadrah Al-Banjari

Simthud Durar sekarang begitu identik dengan hadrah Al-Banjari. Seringkali orang dibuat rancu antara keduanya, seolah keduanya dua hal tak terpisah: majelis Habsyian ya majelis Banjari, majelis Banjari ya majelis Habsyian. Sebab, di mana dibacakan maulid Al-Habsyi, di situ pasti ada hadrah Banjari.

Padahal kenyataannya Simthud Durar dan hadrah Banjari adalah dua hal yang berbeda, terlahir di daerah berbeda. Simthud Durar lahir di Sewun (Hadramaut), Al-Banjari lahir di Banjarmasin (Kalimantan Selatan) sebelum orang setempat mengenal maulid tersebut. 

Perkembangan keduanya juga, pada mulanya, tidak berjalan seiring. Dulu pembacaan maulid di tempat habaib tidak memakai hadrah Banjari. Bahkan hingga kini, dalam rangkaian haul di Darul Hadis Malang (Jawa Timur), majelis maulid seusai salat subuh terkadang memakai rebana (hadrah Banjari) terkadang tidak. (Ketika penulis hadir sekitar tiga tahun lalu, di situ tidak ada rebana Banjari, baik pada maqam-nya maupun di sela-sela pembacaan maulid, walaupun lagu maqam-nya adalah lagu Banjari.)

Adapun pada majelis Maulid Al-Habsyi di haul Solo, menurut Kiai Humaidi, sejak dulu dipakai rebana sebagai pengiring maqam (salawat sambil berdiri) atau lagu-lagu lain. Namun, rebananya bukan rebana Banjari, melainkan rebana khas Hadramaut. Terdiri atas empat rebana, bentuknya beraneka ragam: ada yang bulat, ada yang kotak (bujur sangkar), ada pula yang persegi lima. Ukurannya pun jauh lebih besar, yaitu berdiameter sekitar 50 cm. sehingga cukup berat. “Bunyinya kendor,” kata Kiai Humaidi. Lagunya pun tidak sama dengan lagu Banjari, walaupun agak mirip.

Sebagai ilustrasi lainnya, Kiai Humaidi yang dikenal sebagai pelopor hadrah Banjari di Pasuruan (bahkan di beberapa tempat di Jawa Timur) pada tahun 1971 mulai menggelar pembacaan maulid Al-Habsyi seminggu sekali, tanpa hadrah. Kala itu hadrah Banjari memang belum dikenal di kota Pasuruan (hanya ada di Bangil, dibawa dari Banjarmasin oleh KH. Syarwani, gurunya Guru Zaini Banjarmasin). Baru 17 tahun kemudian (1988) Kiai Humaidi mendatangkan pelatih hadrah Banjari dari Banjarmasin, Semarang dan kota lain. Sejak itu, banyaklah permintaan kepada Kiai Humaidi untuk mengirimkan pelatih Al-Banjari. Antara lain, dari Pondok Pesantren Langitan dan KH. Abdur Rasyid Abdullah Syafi’i Jakarta dan Kiai Zainuddin Lombok Timur.

Saling Dukung   

Kendati demikian, tidak terlalu salah memang bila Simthud Durar diidentikkan dengan hadrah Banjari karena dalam perkembangan berikut keduanya berjalan beriringan. Saling dukung. (Antara lain, Kiai Humaidi pun sudah menyatukan Simthud Durar dan Banjari.) Berkat Simthud Durar, hadrah Banjari sekarang dikenal secara lebih luas. Begitupun sebaliknya, dengan dukungan rebana Al-Banjari, yang nota bene memiliki karakter terbuka terhadap lagu-lagu baru dan terhadap aransemen serta irama baru, Simthud Durar menjadi lebih cepat perkembangannya.

Toh, kehadiran Simthud Durar ataupun Al-Banjari bukan untuk menang-menangan karena dalam agama tidak boleh ada menang-menangan. Lebih tepatnya adalah seperti dikatakan oleh Kiai Humaidi, “lit tanwi’,” alias untuk variasi. ”Niat saya (mendatangkan hadrah Banjari) adalah untuk tanwi’,” katanya. Supaya ada lebih banyak pilihan, supaya ada penyegaran bagi yang menginginkannya.

Kenyataannya sekarang terjadi perkawinan. Misalnya, untuk pembacaan maulidnya digunakan Maulid Ad-Diba’i, sedang untuk maqam-nya dipakai Maulid Al-Habsyi dengan lagu dan hadrah Banjari. Ada pula yang sebaliknya. Hamid Ahmad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Telegram
WhatsApp