FILOSOFI PERNIKAHAN RASUL

       Kita memang tidak perlu merasa heran tatkala mendengar bahwa Islam dihujat dari berbagai arah. Sejak dahulu kala sampai kini, musuh-musuh Islam senantiasa berusaha mencari celah yang dapat mereka jadikan instrumen untuk mendiskriditkan Islam. Jauh pada abad ke-15 sudah ada penulis Kristen yang menulis buku berjudul Refutation to The Religion of Muhammad (Penolakan Terhadap Agama Muhammad). Salah satu sudut yang senantiasa dijadikan bagian yang mereka anggap mudah dijadikan bahan propaganda adalah kelonggaran yang diberikan Islam kepada penganutnya untuk menikahi sampai empat wanita (An-Nisaa ayat 3). Mereka tidak menggubris persyaratan ketat yang menggaris bawahi kelonggaran ini. Bagi mereka, kelonggaran ini tidak etis dan tidak menjunjung harkat dan martabat wanita karena hak yang sama tidak diberikan pada para istri.

          Tidak jarang keleluasaan untuk berpoligami yang dibuka oleh Islam dikaitkan dengan libido atau nafsu birahi kaum pria muslim. Mereka kiranya lupa bahwa Islam melarang perzinahan dengan sangat keras. Di dalam surat Al-Israa’ ayat 32 Allah mengingatkan agar kita tidak mendekati perzinahan karena itu merupakan perbuatan kotor dan keji. Dengan syarat-syarat yang tidak mudah, Islam membuka poligami agar manusia terhindar dari perbuatan zina tadi.

          Usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang di luar Islam untuk menyudutkan Islam dalam sisi ini seringkali pula dikaitkan dengan pernikahan-pernikahan Rasul, yang seperti disinggung diatas, dihubungkan pula secara keji dengan dakwaan bahwa Muhammad adalah nabi yang teramat suka kepada wanita, yang melewatkan sebagian besar hidupnya dengan menikahi perempuan-perempuan arab di jamannya. Tulisan ini mencoba untuk meluruskan pandangan-pandangan itu. Dengan tulisan ini perlu kita mencoba membuka mata dan telinga orang-orang itu, menyibakkan pesan dan filosofi suci dibalik semua pernikahan itu.

          Alasan dari pernihakan Rasul yang banyak itu memang bervariasi. Namun demikian, semua pernikahan ini berhubungan dengan perannya sebagai pemimpin umat muslim, serta tanggung jawabnya didalam membimbing umat yang baru, menuju norma dan nilai islami yang hakiki.

          Sebelum dipanggil untuk melaksanakan misinya, Muhammad menikahi Khadijah. Ketika itu Muhammad berusia 25 tahun sementara Khadijah berusia 40 tahun. Dilihat dari lingkungan kultural yang berlaku saat itu, apalagi dengan mempertimbangkan faktor lain seperti usianya yang masih muda, adalah luar biasa bahwa dia memperoleh reputasi untuk kesucian yang sempurna, integritas serta kejujuran.

          Pernikahan Rasul dengan Khadijah meletakkan nilai yang sangat tinggi dan istimewa di mata nabi dan Allah. Selama 23 tahun, kehidupan mereka merupakan periode kepuasan dan kesalehan yang sempurna. Pada tahun ke-8 dari kenabiannya, Khadijah wafat, membuat nabi menjadi orang tua tunggal bagi putra-putranya selama empat atau lima tahun. Nabi tidak menikahi wanita lain pada saat Khadijah masih hidup, meskipun opini publik membolehkannya untuk itu. Ketika dia mulai menikahi wanita lainnya, usia nabi sudah mencapai 55 tahun. Perlu diingat bahwa kita harus menilai langkah nabi ini berdasarkan standar pada masa itu. Rentang hidup (range of life) ketika itu adalah pendek. Usia 55 tahun sudah tergolong usia cukup tua. Berbeda dengan standar era kita yang karena kemajuan medis, riset dan teknologi tidak memandang usia ini tergolong terlalu tua.

          Umat Yahudi dan Kristen yang menyerang nabi karena poligaminya adalah lantaran ketakutan dan kecemburuan serta kebencian mereka kepada Islam. Agaknya mereka lupa bahwa para patriarch Yahudi yang agung, yang disebut nabi dalam Injil dan Qur’an dan dihormati oleh ketiga pengikut agama sebagai contoh kebaikan moral, semuanya melakukan poligami pada skala yang bahkan lebih besar. Menurut Raja-raja 11:3 Solomon mempunyai 700 istri, putri dan 300 selir.

          Poligami bukan berasal dari muslim. Lebih jauh, dalam kasus nabi, praktek ini dilakukan dalam satu pengertian bahwa nabi harus berpoligami untuk mentransmisikan ketentuan dan norma hukum Islam (sunnah). Sekarang mari kita simak beberapa pernikahan nabi yang dilakukan untuk alasan tertentu.

          Khadijah adalah istri nabi yang pertama. Ketika mereka menikah, dia berusia 40 tahun sedangkan nabi 25 tahun. Khadijah adalah ibu dari semua anak-anaknya kecuali Ibrahim yang meninggal ketika bayi. Bagi Muhammad, Khadijah lebih dari sekedar seorang istri. Dia adalah sahabat tempat berbagi suka dan duka. Kehidupan mereka selama 23 tahun merupakan kehidupan yang sangat bahagia. Melalui setiap kemarahan, aniaya dan cercaan yang diarahkan penduduk Mekah kepada nabi, Khadijah tampil sebagai sahabat dan penyejuk sukma. Nabi sangat mencintai Khadijah dan tidak pernah menikahi wanita lain ketiika Khadijah masih hidup.

          Menuduh pria seperti Muhammad terbuai nafsu dan tergila-gila pada perempuan adalah tuduhan tidak berdasar. Selama empat atau lima tahun setelah Khadijah wafat, nabi memberi makan dan mengasuh anak-anaknya seorang diri. Segala kesusahan dan penderitaan dihadapinya dengan tabah. Sementara itu, cinta dan kasih sayangnya kepada Khadijah tak pernah surut. Meskipun percaya dan setia kepada semua istri yang kemudian dinikahinya, dia tak pernah dapat melupakan Khadijah. Di sepanjang sisa hayatnya, nabi sering menyebut-nyebut dan mengenang kebaikan dan kemuliaan wanita ini.

          Wanita pertama yang dinikahi nabi sepeninggal Khadijah adalah Sauda. Pernikahan nabi dengan wanita ini dilatar-belakangi oleh usaha beliau menyelamatkan Sauda dari pengaruh sukunya dan kemungkinan meninggalkan Islam. Nabi menikahi Sauda setelah suami wanita ini meninggal dunia di Abyssinia dengan meninggalkan anak-anak dan janda miskin. Sauda adalah satu dari sekian banyak wanita muslim yang ketika suaminya masih hidup sempat menikmati dignitas yang sangat tinggi di kalangan masyarakat arab. Tatkala suami-suami mereka meninggal dunia, status dan bahkan iman wanita-wanita ini berada dalam bahaya. Misi pernikahan nabi dengan Saudah jelas bukan lantaran nafsu birahi.

          Adalah Aisyah putri Abu Bakar yang kemudian datang dalam kehidupan nabi sebagai istri berikutnya. Abu Bakar adalah sahabat terdekat nabi dan merupakan salah satu sahabat yang paling awal memeluk Islam. Dengan memberikan putrinya Aisyah untuk dipersunting nabi, Abu Bakar berharap merekatkan hubungan dirinya dengan beliau. Penerimaan nabi untuk menikahi Aisyah sekaligus memberikan martabat dan kehormatan tertinggi kepada lelaki yang telah menyertai beliau menanggung masa-masa sulit dan masa-masa gembira di sepanjang misi kenabiannya.

Aisyah memang kemudian tampil sebagai istri dan murid nabi yang bijak dan cerdas. Sepanjang masa, wanita ini terbukti berperan sebagai salah seorang dari otoritas terbesar atas hadits, komentator Qur’an yang luar biasa serta menguasai hukum-hukum Islam dengan baik. Inilah sebabnya nabi diberitahu Allah dalam mimpi bahwa kelak dia akan menikahi Aisyah, padahal tatkala itu Aisyah masih bayi dan tak tahu apapun tentang dunia pria dan segala urusan duniawi. Kiranya Aisyah memang dipersiapkan Allah menjadi wanita yang pantas dimasukkan ke rumah tangga nabi.

Adapun Ummu Salamah, dialah wanita yang beruntung di dunia ini yang menjadi istri nabi sesudah Aisyah. Wanita ini berasal dari suku Makhzum yang pernah menikah dengan sepupunya sendiri. Setelah kembali dari Abyssinia, Ummu Salamah dan suaminya hijrah ke Madinah dengan keempat anak mereka. Suaminya ikut dalam berbagai peperangan dan karena terluka pada perang Uhud, lelaki ini kemudian gugur. Abu Bakar dan Umar pernah mengajukan lamaran pernikahan, karena tahu kebutuhan dan penderitaannya sebagai janda dengan beberapa orang anak. Namun, wanita ini menolak karena baginya tak ada yang lebih baik dari almarhum suaminya.

Ketika nabi kemudian melamar wanita ini, lamaran ini dia terima. Dengan menikahi Ummu Salamah, nabi melakukan apa yang pernah dilakukannya sejak masa muda, yakni menemani orang-orang yang mencari kawan, mendukung orang-orang yang memerlukan dukungan, dan melindungi mereka yang membutuhkan perlindungan. Wanita yang tak pernah takut berkorban dan menderita demi Islam kini sendiri saja setelah bertahun-tahun melewati hidup di tengah-tengah klan arab yang mulia. Tentu wanita yang mempunyai kapasitas dan potensi besar ini tidak boleh dibiarkan menderita sendiri. Maka nabi pun datang menjemputnya. Perlu kita ingat bahwa usia nabi ketika itu menjelang 60 tahun. Pernikahannya dengan seorang janda dengan empat anak dan penerimaan terhadap semua biaya hidup serta tanggung jawab kiranya dapat dipahami hanya dari segi kemanusiaan dan kasih sayangnya yang tiada terbatas.

Wanita yang kemudian muncul dalam kehidupan nabi sebagai istri adalah Hafsa. Putri Umar Ibn Khattab yang kelak menjadi khalifah Islam yang kedua ini, juga pernah ikut ke Abyssinia dan kemudian hijrah ke Madinah. Selama beberapa waktu setelah ditinggal mati oleh suaminya yang gugur di jalan Allah, Hafsa tetap hidup sendiri. Seperti halnya Abu Bakar, Umar pun ingin memperoleh berkah dan anugerah dan menjadi lebih dekat dengan nabi di dunia dan akhirat. Umar sangat berharap nabi menikahi putrinya Hafsa. Ketika nabi memenuhi keinginan Umar untuk menikahinya, nabi ingin menolong dan melindungi janda ini. Bagi nabi, Umar adalah salah seorang sahabat dan murid yang perjuangannya terhadap penegakan panji-panji Islam tidak perlu diragukan lagi.

Kita tidak melihat pernikahan nabi dengan Hafsa dilandasi oleh nafsu birahi. Usia nabi yang sudah lanjut, beban memelihara janda dan segala tanggung jawab dibalik itu tidaklah seimbang dengan gairah dan birahi yang sebagaimana dituduhkan orang selama ini. Kalaupun latar belakang pernikahan nabi ini adalah nafsu dan kegemaran kepada wanita muda (lust and fondness of young women), maka pada tahun-tahun bersama Khadijah itulah hal ini akan dia lakukan. Bukankah pada saat itu nabi masih sangat muda dimana gairah dan birahi masih begitu kuatnya ? Bukankah gadis-gadis muda arab yang cantik menawan dan kultur masyarakat arab yang membolehkan lelaki beristri banyak memungkinkan nabi melakukan itu ?

Istri nabi sesudah Hafsa adalah Zainab putri Khuzaima. Ketika dinikahi nabi, wanita ini dalam kondisi sebagai janda yang telah berusia cukup lanjut. Tatkala ditinggal mati suaminya, Zainab terperosok dalam kemiskinan. Perempuan inilah yang kemudian dikenal dalam sejarah Islam dengan julukan “Ummul Masaakiin” atau ibu kaum papa. Bisa kiranya kita bayangkan motivasi nabi menikahi wanita ini. Keinginan suci untuk menjaga martabat dan dignitas perempuan tua inilah yang kiranya semata-mata menjadi pendorong pernikahan ini. Zainab wafat karena usia tua hanya dua tahun setelah pernikahannya dengan Rasul.

Thomas Carlyle, sejarawan Barat yang sangat ternama di dalam bukunya berjudul Heroes and Heroes’  Worship mengatakan : bertentangan dengan apa yang dituduhkan oleh musuh-musuhnya, Muhammad adalah manusia yang tak pernah terbelenggu oleh nafsu birahi dan gairah seksualitas. Tuduhan terhadap dia hanyalah muncul karena prasangka belaka dan ini benar-benar sikap yang sangat tidak adil.

Kita memang yakin bahwa pernikahan-pernikahan nabi yang dilakukannya pada tahun-tahun terakhir kehidupannya sama sekali tidaklah berlandaskan nafsu birahi. Sayangnya …… niat dan hasrat suci dibalik pernikahan-pernikahan ini tidak berusaha diungkapkan oleh musuh-musuh Islam. Alasan dibalik itu bukanlah karena mereka tidak tahu tetapi semata karena mereka tidak mau ! Kebenaran di dalam hidup ini memang seringkali terinjak-injak oleh kebencian dan prasangka ….. dan kita kaum muslimin, memang seringkali dijadikan pihak yang menderita !   

Oleh Drs. Husein Shahab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Telegram
WhatsApp