Rebo Pungkasan Bukan Hari Naas !
Sebagian saudara kita kaum muslimin sejak lama, secara turun-temurun hingga sekarang meyakini bahwa hari Rabu terakhir bulan Sofar (orang Jawa menyebutnya Rebo Pungkasan, Red) merupakan hari naas yang menakutkan. Itu sebabnya, pada hari itu mereka bersemangat melakukan wirid atau amalan tertentu agar dijauhkan dari balak yang dikhawatirkan akan menimpa mereka.
Bagaimana pandangan Islam terhadap anggapan tersebut. Berikut hasil perbincangan reporter Cahaya Nabawiy, Joko dengan Ustadz Habib Taufiq Assegaf mengupas permasalahan itu.
Ustadz, adakah dalil syar’i yang mendasari kebiasaan mereka melakukan amalan itu, yang bahkan dipimpin pemuka agama?
Dalam Islam, sebenarnya hari Rabu atau hari lainnya itu sama saja. Cuma, memang orang-orang Arab dahulu (jaman jahiliyah, Red) meyakini hari Rabu terakhir bulan Sofar itu sebagai hari yang sangat membahayakan. Sehingga, keluar rumahpun mereka tidak berani. Demikian pula, jika mereka berusaha (bekerja, dan sebagainya) mereka yakin tidak akan berhasil. Sikap dan perasaan itu disebabkan pengaruh dukun-dukun mereka (kala itu) yang menyatakan demikian. Sayangnya, anggapan salah tersebut berlangsung sampai sekarang.
Mengapa anggapan keliru itu mampu merasuki perilaku sebagian saudara kita kaum muslimin, kemudian menjadi tradisi yang berlangsung sampai sekarang ?
Salah satunya, karena para ulama kita belum sepenuhnya menyampaikan hal yang sebenarnya. Tokoh-tokoh agama kita hanya mengajak umat membaca wirid dan berdoa bersama, untuk menolak balak. Tapi, tidak menjelaskan sebenarnya balak itu bukan karena datangnya suatu hari, termasuk Rabu terakhir bulan Sofar. Sehingga umat masih kukuh memegang keyakinan bahwa Rabu itu sebagai hari datangnya musibah besar.
Jika demikian, bagaimana sebaiknya kita bersikap terhadap perilaku tidak syar’i itu ?
Sebenarnya, kalau kita membaca wirid, melakukan amalan tertentu atau berdoa untuk mengantisipasi datangnya balak, itu baik, nggak ada masalah. Yang tidak boleh, kalau mengkultuskan atau memastikan suatu hari sebagai hari naas. Ya, ahsan kita tetap berpegang teguh pada Al- Qur’an dan As-Sunnah.
Beberapa hadits Rasulullah SAW melarang kita menghubung-hubungkan sesuatu dengan akan datangnya sebuah musibah. Di antaranya, hadits shohih riwayat Bukhari yang menyatakan, “Laa adwa wa laa tiyaaroka wa laa hammata wa laa shofar”. Artinya, tidak ada penularan penyakit, tidak ada burung, tidak ada suara burung dan tidak ada bulan Sofar.
Maksudnya, hadits ini menepis berbagai anggapan salah orang Arab jahiliyah, yakni keyakinan bahwa setiap penyakit disebabkan oleh penularan, bukan karena Allah. Kata Nabi, “Jangan mendatangkan orang yang memiliki hewan sakit kepada orang yang memiliki hewan sehat, supaya yang sehat tetap sehat, sementara yang sakit harus diobati”. Tapi keyakinan orang jahiliyah tidak demikian. Misalnya, hewannya yang sehat tiba-tiba sakit, itu dianggapnya karena tertular hewan sakit lainnya, meski tidak didatangi hewan yang sakit.
Ada pula hadits riwayat Bukhari yang menyatakan, “Menghindarlah kamu dari orang yang kena penyakit judzam, sebagaimana menghindarnya kamu dari macan”. Ini bukan berarti orang yang berpenyakit judzam itu tertular dari orang lain, yang lebih dulu memiliki penyakit yang sama. Tapi, maksudnya kalau kita sehat sebaiknya menjaga diri jangan sampai tertular.
Sabda Nabi lainnya yang diriwayatkan Abdurrahman bin Auf mengatakan, “Jika kamu mendengar ada penyakit kolera (to’un) di suatu daerah, jangan masuki daerah itu”. Artinya, menghindarlah dari penyakit demi menjaga kesehatan.
Hadits itu juga menafikan keyakinan keliru orang-orang jahiliyah terhadap warna-warni burung yang mereka lihat. Misalnya, ketika mereka sedang melakukan perjalanan, tiba-tiba melihat burung berwarna merah, seketika itu mereka mengurungkan perjalanannya. Sebab, mereka percaya warna merah melambangkan musibah.
Kaum jahiliyah juga mempercayai burung malam yang bersuara buruk sebagai tanda ada ruh orang jelek yang baru meninggal, sedang disiksa di kubur. Ada lagi yang sengaja melepaskan burung sebelum bepergian. Jika burung itu terbang ke arah kiri, maka mereka batal pergi. Mereka mantap itu isyarat buruk. Barangkali, kalau di Indonesia, orang akan memutuskan sesuatu menunggu suara tokek.
Demikian halnya, karena ketakutannya terhadap datangnya bulan Sofar, kaum kafir jahiliyah sengaja mengulur-ulur bulan Muharrom hingga memasuki Sofar atau Sofar dimasukkan ke dalam bulan Muharrom, seakan tidak ada bulan Sofar. Mereka mengatakan keduanya bulan Muharrom. Sehingga Nabi SAW mengisyaratkan, nggak ada sofar-sofaran. Agar kita tidak mengkultuskan sebuah bulan sebagai saat naas.
Kalau tidak ada bulan atau hari naas, apakah Islam memang tidak mengenal saat-saat naas, misalnya hari Selasa atau tanggal 13 yang dianggap sebagian orang sebagai waktu sial ?
Sekali lagi saya tegaskan, Islam melarang kita menisbatkan waktu atau apapun dengan akan terjadinya musibah atau balak. Adapun jika kita berdoa memohon kepada Allah SWT agar terhindar dari suatu balak, itu malah dianjurkan. Ibarat Sedia Payung Sebelum Hujan. Banyak doa yang dianjurkan kita baca agar tertolak dari musibah. Misalnya, a’uudzubillaahi min syarri hadza zamaan……..dan seterusnya. Mohon saja kepada Allah SWT andai hari itu ditakdirkan terjadi musibah, supaya Allah mengangkat balak itu. Bagaimana pun hebatnya musibah yang akan turun, kalau Allah mengangkatnya pasti kita selamat. Asal, jangan kita katakan bahwa hari itu hari selamat atau hari balak, jelas-jelas tidak ada nash-nya.
Meski demikian, Islam mengenal hari-hari pilihan, yakni hari Kamis, Jum’at, bahkan Rabu. Beberapa hadits mengisyaratkan bahwa Rabu merupakan hari pilihan. Misalnya, yang diriwayatkan Baihaqi, “Anna du’aa’a yustajab yaumal arbi’a’ ba’da zawaal”. Artinya, doa itu diterima pada hari Rabu setelah zawal.
Ada lagi, hadits riwayat Jabir Ra, Nabi SAW menerangkan bahwa Rabu itu hari istimewa. Kemudian, Dailami juga meriwayatkan, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang menanam pohon pada hari Rabu, sambil membaca subhaanal baitsil waarits, maka pohon itu akan mengeluarkan buah-buahan yang bagus”. Dan, masih banyak lagi hadits tentang keistimewaan hari Rabu. Nah, jelas bertolak belakang dengan anggapan orang jahiliyah (kafir) yang menyatakan Rabu sebagai hari naas. Makanya, jangan ikuti mereka.
Sementara, ada yang mengatakan pada Rabu Pungkasan itu air Zam-zam mengalir ke seluruh dunia. Sehingga, kita dianjurkan mandi pada tengah malam, agar mendapat berkahnya. Benarkah Ustadz ?
Ada sebagian orang soleh menggambarkan demikian, atau barangkali itu nukil dari kalam orang soleh, tapi bukan nash. Jika memang itu keterangan dari orang-orang arifin atau auliya’, kita husnudzon saja, tidak masalah. Asal jangan ditasyri’. Jangan mensyariatkan hal-hal yang memang bukan ajaran agama, itu bid’ah dan salah besar.
Nah, oleh sebab itu mulailah dari sekarang, jangan beranggapan bahwa balak itu berhubungan dengan hadirnya sesuatu hari atau apapun. Juga, jangan menakut-nakuti orang dengan akan terjadinya musibah. Jika memang kita takut tertimpa musibah, segera saja berdoa, memperbanyak amal soleh, termasuk bersedekah insya Allah, Allah ta’ala menolong kita. Anggapan bahwa sesuatu hari itu adalah hari naas bisa saja atau sekedar menjadi gambaran, agar kita selalu waspada terhadap balak yang siap mengancam kita. Pokoknya tidak diyakini, hari itu pasti akan turun musibah. Apalagi sampai mencegah kita melakukan sesuatu, karena takut gagal, dan sebagainya.
Saya masih ingat, ketika kecil, setiap hari Rabu terakhir bulan Sofar Aba (ayah) mengajak keluarga dan sanak kerabat bersama-sama ke Umbulan (tempat sumber air, sekaligus tempat rekreasi di Pasuruan, Red). Di sana potong kambing (makan-makan), kemudian membaca wirid dan doa. Jika begitu kan senang. Tidak malah takut keluar rumah, seperti kaum jahiliyah.
Bahkan, di Hadramaut, pada hari Rabu itu sebagian besar muslimin pergi ke daerah-daerah perkebunan (istilah sekarang ke villa-villa) untuk memprotes tindakan atau keyakinan salah orang jahiliyah itu. Sayangnya, kalangan tertentu (orang-orang Wahabi) menanggapi lain. Tindakan itu dianggap meneruskan tradisi kaum jahiliyah.
Terpenting bagi kita, tetaplah istiqomah melakukan hal-hal yang dianjurkan syari’at. Juga, jangan tinggalkan tuntunan ulama salaf membaca wirid, dan berdoa pada Rabu terakhir bulan Sofar, itu baik. Tapi, jangan berkeyakinan bahwa hari Rabu itu sebagai hari naas yang menakutkan, karena memang tidak dibenarkan oleh syari’at.