PENTINGNYA MENGOKOHKAN AKIDAH
Cakupan masalah Aswaja sebenarnya luas sekali. Bukan saja soal konfrontasi paham Asy’ariyah versus Mu’tazilah atau lainnya. Tidak pula hanya seputar masalah akidah dan keyakinan semata. Pada dasarnya hal ini menyangkut sikap totalitas dalam beragama yang meliputi masalah keimanan, keislaman dan keihsanan. Sekali pun demikian, yang lebih ditekankan pada umumnya adalah masalah akidah. Hal itu sah-sah saja, sebab akidah merupakan landasan dalam kehidupan beragama. Ia harus ditanamkan dengan kuat dalam jiwa sehingga menjadi benar-benar terikat dan tak akan lepas lagi.
Akidah adalah hal yang fundamental. Ibarat sebuah gedung, pondasi merupakan bagian yang harus didahulukan dan harus kokoh. Pondasi mutlak diperlukan oleh sebuah bangunan. Nasib sebuah gedung secara umum lebih ditentukan oleh pondasinya. Pondasi yang kuat akan menjadikan gedung stabil dan kuat. Begitu pula sebaliknya. Pondasi memang bukan segalanya bagi sebuah gedung, tapi perannya tak terbantahkan dan tak terpisahkan. Begitu pula dengan akidah sebagai pondasi kehidupan beragama.
Islam adalah agama yang memadukan antara keyakinan, perilaku, sikap dan keindahan. Semua unsur itu harus terpadu secara utuh. Tidak cukup orang hanya meyakini kebenaran Islam dan percaya kepada Allah, namun di sisi lain tidak mau mengerjakan shalat dan anti peradaban. Tidak cukup pula orang mengerjakan shalat dan ibadah lainnya tetapi hatinya menyimpan keraguan pada ajaran Allah. Tidak sempurna pula ketika seseorang begitu antusias pada peradaban termasuk moral, tetapi dia tak punya keyakinan yang benar dan tidak melakukan ibadah.
TENTANG AGAMA SAMAWI
Islam adalah agama samawi yang diturunkan untuk seluruh umat manusia. Tak ada satu bangsa atau komunitas pun yang boleh luput dari dakwah Islam. Islam adalah penyalin agama-agama samawi sebelumnya. Islam hanya menuntaskan agama-agama wahyu terdahulu. Akal empirik manusia tak cukup untuk merumuskan kebenaran secara mutlak, tetapi wahyu Tuhan-lah yang punya otoritas untuk itu. Manusia tak tahu apa pun soal ketuhanan dan nasib jiwa pasca kematiannya tanpa informasi dari Tuhan.
Jika seorang rasul telah menunjukkan kekuatan mukjizatnya sebagai penguat dari apa yang diklaimnya bahwa dirinya adalah utusan Tuhan, maka akal tak punya otoritas untuk menolak klaim ini. Apa yang disampaikannya adalah kebenaran yang teruji meski akal sehat tidak langsung sanggup mencernanya secara logis. Agama adalah penyempurna hukum alam yang datangnya jauh lebih awal di dunia ini.
Alam tak menguasai kekuatannya sendiri. Alam hanyalah obyek dari Sang Maha Perancang dan Pencipta. Hukum-hukum yang terjadi pun bukan sebuah fenomena kebetulan atau kelaziman yang tak terkontrol atau tanpa subyek. Termasuk hukum ketidak-teraturan yang terjadi ini bukanlah terjadi tanpa desainer. Keteraturan mau pun ketidak-teraturan pada dasarnya adalah efek desain dari subyek. Oleh sebab itu maka pada hakikatnya akal tak punya otoritas penuh atas penilaian benar-salah secara absolut, sebab akal cenderung berpikir dengan pola hukum kausa yang ditangkap oleh indra.
Akal empirik kita seolah mengisyaratkan bahwa tak ada apa pun setelah kematian. Bahwa kematian adalah akhir dari perjalanan jiwa. Pahala dan siksa itu tak nyata, sebab hingga kini akhirat belum kongkret. Benda jatuh ke bawah, pisau yang tajam yang dapat memotong, api bersifat membakar, matahari dari timur ke barat, hujan harus mendung dahulu, air laut menenggelamkan, proses hidup dari bayi, menua dan berakhir kematian, semuanya itu adalah kebiasaan dalam semesta. Seolah tidak ada “faktor lain” yang berperan di balik semuanya. Padahal tidak demikian adanya. Semua menjadi seperti itu karena memang dibikin demikian, dan sama sekali bukanlah keniscayaan bagi semesta.
Jika orang larut dan terlena dengan pemikiran filosofis, maka begitulah yang akan ditangkap oleh nalarnya. Ketika agama datang dengan memberitahukan bahwa pasca kematian ada alam barzakh dan akhirat, ada malaikat di sisi kanan kiri kita sepanjang usia, bahwa besok akan ada hari kebangkitan, perhitungan amal, pahala dan siksa, ternyata banyak manusia yang mentertawakan dan mengolok-olok orang yang menyampaikan itu semua. Berbagai argumentasi mereka pakai untuk memilih tidak mempercayai berita-berita agama. Allah SWT berfirman :
وَمَا مَنَعَ النَّاسَ أَنْ يُؤْمِنُوا إِذْ جَاءَهُمُ الْهُدَى وَيَسْتَغْفِرُوا رَبَّهُمْ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ قُبُلًا
“Dan tidak ada (sesuatu pun) yang menghalangi manusia untuk beriman ketika petunjuk telah datang kepada mereka dan memohon ampunan kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum Allah (yang telah berlaku pada) umat yang terdahulu atau datangnya azab atas mereka dengan nyata.” (QS Al-Kahf [18]: 55)
Akidah harus ditanamkan dalam-dalam di hati umat agar menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan dan tak tergantikan. Jika akidah sudah mendarah-daging maka orang akan mampu menerima ajaran agama secara utuh (kaaffah) dan legowo. Dia akan menyadari apa perlunya akal mempersoalkan segala macam ajaran agama jika ia memang datang dari Sang Maha Pencipta.
BUKAN WILAYAH LOGIKA
Mempersoalkan ajaran agama sebagaimana pernah dilakukan oleh kelompok liberal atau lainnya, timbul karena faktor belum menyadari posisi agama dalam kehidupan manusia. Mereka tidak menganalisa dengan cermat bahwa ketika agama sudah dipahami pada awalnya sebagai sebuah ajaran Tuhan yang didukung oleh kekuatan mutlak, dan ketika akal menerimanya secara garis besar sebagai sebuah kebenaran, maka apa pun yang bersumber darinya adalah kebenaran pula. Oleh karena itu kebenaran tidak semestinya dipersoalkan.
Mengapa pola wudhu’ harus seperti yang kita kenal, hitungan rekaat shalat berbeda seperti itu, mengapa ibadah haji itu sedemikian rupa, mengapa tidak dibolehkan melakukan hubungan badan ketika isteri sedang menstruasi padahal secara medis tidak masalah, mengapa jika tak menemukan air cara bersuci untuk ibadah boleh dengan tayamum atau mengusapkan tanah, mengapa waktu shalat lima waktu adalah sedemikian rupa, semua itu bukan wilayah nalar kita. Ia lebih sebagai wilayah sikap hati bagi hamba untuk menerima dan tunduk terhadap ajaran agama.
Sebelum seseorang melakukan ibadah kepada Allah SWT, maka dia harus memahami terlebih dahulu siapa sesungguhnya Allah itu? Bagaimana seharusnya sikap hati dalam beribadah kepadaNya, dan bagaimana pula tata-cara lahiriyah yang harus dijalani dalam beribadah. Ibadah menjadi tidak berarti manakala seseorang tidak memahami siapa sebenarnya obyek ibadahnya. Allah menciptakan akal sehat dengan tujuan agar manusia menggunakannya untuk mengenaliNya. Tidak etis jika seseorang beribadah tanpa mengenal eksistensi Tuhannya, sebab mengenal Allah (makrifat) adalah perintahNya juga.
Jika seseorang telah mengenal Allah dengan benar, maka ia akan menempatkanNya sesuai dengan apa yang diperintahkanNya. Mengenal Allah harus sesuai dengan tata-cara yang diajarkan Rasul. Seseorang tidak cukup dikatakan beriman kuat hanya dengan mengatakan bahwa dirinya siap dibunuh jika disuruh berpaling dari Allah, namun di sisi lain dia tidak tahu-menahu siapa Allah itu sesungguhnya. Artinya, dia tidak mempunyai pendirian yang kuat berdasar nalar yang benar.
Orang yang imannya hanya didasari situasi dan kondisi tertentu tanpa pendirian dan dasar yang benar, akan rentan dibelokkan oleh paham kelompok lain. Bisa-bisa ia akan menganggap semua agama adalah benar. Pengertian yang dangkal akan hakikat ajaran Islam sangat rentan menjebak seseorang pada penyimpangan paham dan keyakinan. Akhirnya kesimpulan mereka tentang agama akan berbeda dengan pengertian yang semestinya. Allah mengingatkan orang-orang yang ibadahnya tanpa didukung akidah yang kuat :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (tidak dengan keyakinan), maka jika dia memperoleh kebajikan dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.” (QS Al-Hajj [22]: 11)
PINTU KEMUNAFIKAN
Orang yang beragama tanpa didasari keyakinan yang kuat akan mudah terombang-ambing oleh keadaan dan kepentingan. Tidak mustahil orang seperti itu rentan terjebak kemunafikan, yang bahkan rela menjual keyakinannya dengan sesuatu yang murah. Agama menjadi semacam pelengkap yang tak lebih dari kedok untuk penyesuaian kondisi dan situasi berbasis kepentingan duniawi. Na’udzu billahi min dzalik.
Islam harus menjadi totalitas bagi umatnya. Keimanan harus senantiasa dipelihara. Memelihara iman tak cukup dengan mempertahankan keyakinan semata, tetapi harus dengan implementasi riil, sebab iman bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Indikatornya adalah kuantitas dan kualitas amal seseorang. Iman bukan sekedar keyakinan belaka, melainkan juga implementasi amal nyata. Bahkan kebersihan dan menyingkirkan sesuatu yang membahayakan lalu-lintas pun juga bagian dari iman.
Orang munafik akan terlihat melalui sifat plin-plan dan malasnya pada ajaran agama. Agama “diikuti” hanya untuk menghindarkan diri dari sanksi sosial dan hukum di dunia. Mereka menampakkan keimanan agar tetap diterima di kalangan umat Islam dengan aman, agar tampak bersatu dengan kaum mukmin meski sebenarnya hati mereka jauh dari iman. Allah SWT berfirman :
وَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْ وَمَا هُمْ مِنْكُمْ وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ
“Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah bahwa sesungguhnya mereka termasuk golonganmu, namun mereka bukanlah dari golonganmu, tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu).” (QS At-Taubah [9]: 55).
Kedangkalan pada pemahaman agama merupakan pintu lebar masuknya kemunafikan pada diri seseorang. Oleh sebab itu Islam harus kita yakini seyakin-yakinnya sebagai satu-satunya totalitas jalan hidup yang akan menyelamatkan kita. Dengan demikian maka tak ada alasan untuk tidak mendalami dan mengamalkannya…(*) Anshori Huzaemi