JEJAK HADITS DALAM KITAB IHYA’
JAWABAN ATAS TUDUHAN TERHADAP AL-GHOZALI
Mendengar nama Al-Ghazali, yang muncul dalam benak kita bukanlah sosok seorang laki-laki, melainkan kumpulan tokoh-tokoh yang mumpuni dan kredibel dalam berbagai bidang yang berbeda. Al-Ghazali adalah ulama ushul; seorang faqih, imam dan pejuang ahlussunnah dalam bidang teologi, seorang budayawan yang berpengalaman dalam menghadapi problematika lingkungan, rahasia-rahasia yang terpendam dalam sanubari dan problematika hati nurani dan seorang filosof.
Al-Ghazali adalah poros ilmu pengetahuan pada zamannya. Ia selalu merasa haus untuk menyelami berbagai disiplin ilmu dan tidak akan merasa puas sebelum ia menguasai cabang-cabang ilmu tersebut.
Di samping golongan yang mengaguminya -sejak dulu hingga sekarang- ternyata banyak juga tokoh yang mengkritiknya. Mereka menuduh Al-Ghazali kurang memberikan perhatian terhadap ilmu hadits, sehingga karya-karyanya dipenuhi hadits-hadits palsu. Mereka beranggapan, kebanyakan riwayat yang ada dalam kitab Ihya’ Ulumiddin dinukil dari kitab-kitab tasawwuf dan kitab-kitab fiqih terdahulu, sehingga validitasnya pun patut diragukan.
Pendapat para pengkritik di atas, disetujui oleh sebagian orang tanpa terlebih dahulu melakukan peninjauan ulang karena mereka menganggap pendapat tersebut sudah cukup valid. Sebenarnya, kalau kita lakukan penelitian terhadap karya-karya Al-Ghazali terutama kitab Ihya’, akan kita temukan bukti-bukti dan realitas yang bertolak belakang dengan pendapat tersebut. Al-Ghazali menaruh perhatian yang besar terhadap studi ilmu hadits sebelum menulis beberapa karyanya. Ia banyak mengkaji kitab hadits-hadits shahih, terutama Shahih Imam Bukhori dan Imam Muslim. Hadits-hadits yang termuat dalam kitab Ihya’, banyak yang ia nukil dari kitab tersebut.
Ada beberapa hal yang membuktikan bahwa kredibilitas beliau dalam ilmu hadits tak perlu diragukan lagi.
Banyaknya hadits-hadits yang termaktub dalam kitab Ihya (4848) adalah bukti bahwa Al-Ghazali benar-benar mendalami ilmu hadits dan banyak membaca kitab-kitab hadits. Pengumpulan hadits dalam jumlah sebanyak itu dalam satu kitab tidak mungkin dilakukan kecuali oleh seorang yang benar-benar melakukan kajian yang mendalam dalam bidang tersebut. Sebagai catatan, Imam Ibnu Majah dalam musnadnya mengumpulkan 4341 hadits. Sedangkan Imam Abu Dawud meriwayatkan 5274 hadits.
Al-Ghazali menuangkan hasil penelitiannya terhadap ilmu hadits dalam kitab Al Manqul min Ta’liqatil Ushul. Dalam kitab tersebut Imam Ghazali membagi ilmu hadits dalam tiga bagian :
- Ilmu riwayah (ilmu tentang penyampaian hadits)
- Ilmu dirayah (ilmu penelitian hadits)
- Ilmu dirasat ma’ani hadits (ilmu tentang pemahaman makna-makna hadits) tentang hadits-hadits yang berhubungan dengan akhlaq, akidah dan hukum.
Pembahasan Al-Ghazali tentang ilmu dirayah hadits yang tertuang dalam kitab Al Mustashfa. Dalam kitab tersebut Al-Ghazali menerangkan tentang ungkapan-ungkapan yang digunakan para sahabat dalam meriwayatkan hadits, tentang hadits mutawatir, hadits ahad, dan sebagainya.
Beberapa metode sebenarnya telah dilakukan Al-Ghazali dalam meriwayatkan hadits. Pada saat memberikan penjelasan dalam studi ilmu hadits, Al-Ghazali mengatakan bahwa dalam ilmu hadits terdapat beberapa istilah yang perlu dipahami terlebih dahulu, antara lain :
Iqtishar, langkah-langkah untuk menyusun ilmu hadits seperti yang terdapat dalam dua kitab hadits shahih (Bukhari-Muslim)
Iqtishad, langkah yang dapat ditempuh oleh seseorang yang mengkaji ilmu hadits dengan cara menambahkan kategori lain yang tidak terdapat dalam kategori-kategori kedua kitab shahih di atas.
Sedangkan metode yang digunakan Al-Ghazali dalam mempelajari matan (isi, kandungan hadits) dalam kedua kitab shahih, agaknya mengikuti metodologi wijaadah (pembuktian yang kuat). Ia selalu berupaya untuk mengkonfirmasikan secara intensif dengan para ahli hadits (muhadditsin) yang hidup pada masa itu. Misalnya, ia mempelajari dua kitab hadits shahih dengan teliti, kemudian berupaya mengkonfirmasikan analisa teksnya terhadap hadits tertentu kepada seorang yang ahli dalam matan hadits. Hal ini menguatkan kesimpulan di atas bahwa Al-Ghazali sangat mungkin berusaha untuk berhubungan (confirmed) dan mengambil manfaat dari keberadaan para ulama hadits yang masih ada pada saat itu.
Al-Ghazali mempelajari ilmu hadits dan mengetahui pentingnya metode pengambilan sanad (isnad al hadits) dan metode mendengar (sama’ al hadits) dari para ahli hadits. Dan hadits yang ia buktikan kebenarannya dengan cara wijadah (penguatan) dan mungkin pula dengan ijazah dapat terwujud disebabkan oleh intensitas pertemuannya dengan para ahli hadits dalam sebuah pengembaraan intelektual yang sangat panjang sebelum ia mulai menulis kitab Ihya’ Ulumiddin.
Seringkali setelah menyebutkan satu hadits muttafaq alaih, beliau menambahkan beberapa riwayat yang lain. Ini menunjukkan bahwa ia banyak menelaah berbagai riwayat hadits. Dengan kata lain beliau banyak membaca kitab Bukhari Muslim, sama seperti ia juga membaca hadits-hadits lain, sehingga ia sering mengatakan, ‘dalam sebuah hadits lain’, ‘dalam Riwayat lain’, ‘dalam lafadh yang lain’, ‘tertulis dalam banyak lafadh yang berbeda’, itulah yang tertulis dalam banyak khabar’, serta berbagai kalimat yang menunjukkan beliau banyak menelaah kitab-kitab hadits.
Beliau memang menukil hadits dari kitab tasawuf dan fiqh tapi jumlahnya sangatlah sedikit bila dibandingkan dengan hadits yang dinukilnya dari kitab-kitab hadits. Itu pun dilakukanyya setelah mengkaji ulang secara mendalam, sehingga membuahkan keyakinan bahwa tak satupun hadits yang disebutkannya termasuk dalam kategori maudlu’ (palsu). Kajian al Iraqi dan al Murtadha sudah membuktikan kenyataan ini
Perbedaan di kalangan para cendekiawan pun dalam mengomentari hadits-hadits dalam Ihya’, adalah satu bukti, bahwa pemahaman mereka dalam ilmu hadits sangatlah berbeda. Dengan demikian, memvonis bahwa dalam kitab Ihya’ banyak terdapat hadits-hadits palsu serta dipenuhi oleh kebohongan adalah sikap yang terlalu tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan.
Abu Dawud mengatakan, mengutip dari Abu Zar’ah Ar Razy : ”Ada dua puluh ribu pasang mata yang bersama-sama dengan Rasulullah. Tiap pasang meriwayatkan darinya walau hanya satu kata, atau sebuah kalimat tentang beliau SAW. Dan hadits beliau jauh lebih banyak dari itu.” (Al Murtadha, juz I hal 50).
Karenanya, ketika Al-Iraqi mentakhrij hadits-hadits Ihya‘ dan merasa asing atas satu riwayat hadits beliau berkata, “Aku belum menemukan dasar pengambilan hadits ini.” Beliau tidak mengatakan “Hadits ini tidak berdasar sama sekali.” Ini cukup memberikan bukti bagi kita, bahwa al Iraqi sendiri sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan atas apa yang belum diketahuinya, mengingat banyaknya hadits-hadits Nabi yang mungkin saja periwatannya tidak sampai pada sebagian ahli hadits. Dengan demikian tidak selayaknya kita mengatakan sebuah hadits adalah palsu tanpa bukti-bukti yang memadai.
Al-Ghazali menuliskan hadits-hadits dalam kitab Ihya’ yang ia kutip dari berbagai kitab hadits dan kitab-kitab lainnya, seperti kitab tasawwuf dan fiqih, dengan keyakinan bahwa derajat hadits-hadits tersebut tidaklah sama, ada shahih, hasan ataupun dha’if. Tentu saja keyakinan itu ia dapatkan setelah melihat berbagai pendapat para ulama’ hadits dan para ulama’ lainnya yang juga mengetahui banyak hal dalam ilmu-hadits, seperti Syaikh Abu Thalib Al-Makki. Ia mengkaji pendapat-pendapat mereka dan mempertimbangkannya ketika akan menukil berbagai hadits ke dalam karya-karyanya, termasuk Ihya’ Ulumiddin.
Al-Ghazali juga sangat tahu bahwa semua hadits yang ia nukil dalam kitab Ihya’ tidak keluar dari kategori shahih, hasan, dha’if dan tidak satupun yang bisa dikategorikan sebagai hadits palsu (maudlu’). Karena itu, ia tidak melakukan sebuah revisi apa pun dalam kitab Ihya’, setelah ia merampungkan penulisannya dan mengajarkannya kepada murid-muridnya di kota Thus.
Lebih dari itu, Al-Ghazali juga sangat yakin bahwa mengarang hadits palsu dalam hal-hal yang berhubungan dengan keutamaan ibadah adalah perbuatan maksiat. Beliau berkata, ”Ada sebagian orang berasumsi bahwa boleh saja mengarang-ngarang sebuah hadits, bila itu digunakan dalam pembahasan keutamaan amal, ibadah, dan ancaman terhadap kemaksiatan. Mereka beralasan dengan tujuan yang baik, akan tetapi ini adalah asumsi yang salah karena Nabi SAW bersabda, ”Barangsiapa dengan sengaja berbohong atas namaku, maka kelak ia akan mendapatkan tempatnya di neraka” (Ihya’, juz 3 hal. 136). Al Iraqi berkata bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari berbagai jalur periwayatan.
Jika kenyataannya memang seperti itu, maka tidaklah masuk akal, bila Al-Ghazali dengan sengaja menyebut hadits palsu atau meragukan dalam karyanya, karena ia akan termasuk kelompok yang dimaksud oleh Rasulullah dalam hadits di atas. Hal ini sangat dijauhi oleh Al-Ghazali
Sikap yang cenderung tergesa-gesa dari para pengritik Al-Ghazali di atas sebetulnya bisa dipahami sebagai akibat dari sikap antipati berlebihan dan tidak menerima secara lapang ketika sedang melakukan riset dan kajian dengan tujuan mencari kebenaran terhadap karya-karya Al-Ghazali, terutama Ihya’. Oleh karena itulah, mereka tidak bisa melakukan studi kritis yang benar, ilmiah dan objektif. Sehingga tanpa mereka sadari, mereka sudah terjebak sejak awal dalam kesalahan yang tidak semestinya terjadi ketika memberikan penilaian.
Sedangkan para ulama dan ahli hadis yang bersikap arif dalam menilai hadits-hadits dalam kitab Ihya’ bisa dikatakan sikap tersebut merupakan hasil dari sebuah niat yang memang benar-benar tulus untuk mencari kebenaran semata, bukan sekedar subjektivitas, karena itu pula mereka berkenan mengkaji Ihya’ dengan hadits-hadits di dalamnya, melalui kajian yang benar, jujur dan objektif. Sehingga mereka mampu menuliskannya dalam karya-karya ilmiah mereka yang bermutu. Di antara mereka yang bersikap seperti ini adalah Al-Iraqi dan Al-Murtadla. Keduanya telah bekerja keras dan serius ketika melakukan riset ilmiah dan studi kritis untuk mengetahui dan membuktikan hakekat hadits-hadits dalam Ihya’, sehingga mereka tidak terjerembab dalam kesalahan yang fatal. Masun Said Alwy