Dekonstruksi Pemikiran Islam Liberal
Paradigma salaf shalih dan para pemikir Muslim yang konsisten akan mengafirmasi betapa bahayanya menyinggung keabsolutan Tuhan tanpa mempunyai basis filosofis yang jelas sehingga menerabas prinsip-prinsip rasional yang telah mapan dan menjadi dasar bagi semua pemikiran manusia.Sementara menurut para pemikir liberal, sikap “ragu” akan keabsolutan Tuhan adalah hal wajar, dan tidak perlu dianggap serius. Bahkan dalam sebuah kutipan pernyataan orang-orang liberal berbunyi: “Mengapa harus ribut menyalahkan orang ateis bahwa ateis adalah musuh orang ber-Tuhan, sedangkan Tuhan sendiri ateis? Bukankah Tuhan itu tidak ber-Tuhan? (ateis).
Seandainya kaum liberal itu bukan manusia, pastilah mereka Iblis, sebab logika yang digunakan nyaris sama persis! Ingatkah kita tentang keengganan Iblis terhadap perintah Allah untuk bersujud kepada Adam? Iblis secara nyata enggan mengikuti perintah Tuhan, (Q.S. 2:34). Karena menurut Iblis, “Tuhan saja tidak mengikuti perintah siapa-siapa.” Namun kitapun tahu, seandainya Tuhan mengikuti suatu perintah, pasti Ia (Tuhan) akan ditanya. Namun kenyataannya “Tuhan tidak ditanya tentang apa yang diperbuatnya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Q.S. 21:23). Artinya, Tuhan tidak patut mengikuti siapapun, justru siapapun wajib mengikuti perintah Tuhan. Apalah jadinya jika alam ini dipimpin oleh lebih dari satu Tuhan, tentulah keduanya akan binasa (Q.S. 21:22).
Masih dalam konteks ke-Tuhan-an, pemikir liberal mengatakan “….jika ada pemaksaaan nilai-nilai kultur suatu bangsa dengan keharusan berpakaian khas Arab yang bernama jubah dan surban untuk menggantikan blangkon (Jogja) atas nama Tuhan, maka kami akan mengadakan kudeta teologis dan menggantikannya dengan Tuhan yang baru.”
Sikap berani mengkudeta Tuhan ini seakan menemukan pembenarannya dalam ancaman Allah di dalam Hadis; “Barangsiapa yang tidak rela dengan ketentuan-Ku, dan tidak sabar atas cobaan-Ku, dan tidak menerima atas pemberian-Ku, dan tidak bersyukur atas nikmat-Ku, silakan mencari Tuhan selain-Ku.” (Al-Hadith).
Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan, kecuali apa yang disifatkan oleh hamba-hamba Allah yang disucikan (Al-Qur’an). Sungguh ke-Maha Suci-an Allah akan terjaga dari segala yang disifatkan manusia disebabkan tiada terbatasnya Allah dalam logika makhluk-Nya, apalagi yang tertuang dalam bahasa manusia yang sangat terbatas.
Namun bagi hamba-hamba pilihanNya, maka anugerah dan rahmatlah yang diberikan Allah SWT. Bagi hamba-hamba yang selalu mensifatiNya dengan sifat-sifat yang sesuai, dan yang selalu mengakui kekurangan penjelasan mereka setiap kali bermaksud menuangkannya dalam kata-kata, sebab kata-kata memang tidak sanggup menjelaskan hakikat mutlak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tiada mampu kuhitung pujianku kepada-Mu sebagaimana Engkau memuji Diri-Mu sendiri.” (HR Ahmad)
Abu Bakar Shidiq RA pernah ditanya: “Bagaimana engkau mengenal Tuhanmu.” Ia menjawab: “Aku mengenal Tuhan melalui Tuhanku. Seandainya Dia tidak ada, aku tidak mengenalnya.” Bagaimana Anda mengenalnya? Ia menjawab “Ketidakmampuan mengenal-Nya adalah pengenalan” (Al-‘ajzu ‘Anil Idraaki Idraaku).
Atau sebagaimana jawaban al-Ghazali terhadap pertanyaan; Apakah puncak pengetahuan orang-orang ‘Arif tentang Allah? Maka ia menjawab: “Puncak pengetahuan orang-orang ‘Arif adalah ketidakmampuan mengenal-Nya” (Al-Maqshadul-Asma). Karena itulah, penafian mutlak dan paham tasybih, sama absurd-nya, sebab penafian mutlak meniscayakan komposisi dan ketersusunan Tuhan (At-Tauhid). Sebagaimana penggolongan monoteisme dan teisme ke dalam tiga aliran; abstain (nafyi), antrophomorfisme (tasybih) dan penetapan (itsbat) tanpa tasybih. Dua aliran pertama bathil, dan aliran yang ketiga adalah yang benar.
Sebagai kelanjutan penyangkalan kaum Liberal terhadap eksistensi Tuhan, mereka pun tidak percaya adanya hukum Tuhan. Hukum Tuhan yang dimaksud adalah al-Qur’an. Menurut kaum ini, tidak ada bedanya antara teks al-Qur’an dan hadis dengan teks-teks lain seperti buku-buku ilmu pengetahuan atau karya sastra lainnya. Alasanya, karena sama-sama berwujud bahasa dan tersusun dalam teks yang dialogis dan dialektis dengan realitas. Al-Qur’an, al-hadith dan teks-teks yang lain sama-sama berpotensi mengandung penilaian, sehingga karenanya juga berpotensi menghijab nalar (kebenaran) yang tidak diungkap dalam teks tersebut.
Sungguh rumit untuk mendiskusikan persoalan hukum Tuhan ini jika dasar pijakan dalam memandang sumber hukum Tuhan (Al-Qur’an) sebagai sumber “kebenaran” itu sendiri berbeda-beda. Bagaimana mungkin kaum liberal dapat menyelamatkan diri dari relativitas kebenaran, jika kalam Allah sengaja disejajarkan dengan teks-teks buatan manusia yang terbatas? Alih-alih menjadi pribadi yang inklusif — terbuka bagi segala kebenaran yang ada — justru terjatuh dalam nihilisme.
Sebagai orang muslim, bagaimana sebenarnya kaum liberal memandang teks-teks suci lagi valid yang berbicara tentang hukum Tuhan, sbb:
“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa (hukum) yang diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah : 44)
“Dan hendaklah kamu (Muhammad) memutuskan perkara di antara mereka dengan apa (hukum) yang diturunkan Allah.” (QS. Al-Maidah : 49)
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman.” (QS. Al-Baqarah : 221)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. Al-Maidah : 38)
Ayat-ayat di atas sangat jelas menerangkan “hukum Tuhan” yang wajib dilaksanakan umat Islam. Dan akan mendapatkan ganjaran yang sangat keras (Murtad: keluar dari Islam) bilamana seorang muslim mengingkari dalil nash yang bersifat qath’iy al-wurud.
Kami merasa tak perlu menjelaskan secara terpeinci tentang tingkatan kualitas teks yang qath’i (valid) dan zhanni (bermakna ganda) yang terdapat didalam al-Qur’an, sebab kami menduga para pemikir liberal cukup resourceful. Meskipun, berlaku semena-mena (pura-pura tidak tahu) atau bahkan menafikan persoalan ini tentu bukan sikap yang terpuji.
Dalam banyak tulisan kaum liberal, seringkali ditemukan upaya mencampurkan isu-isu yang memperoleh dukungan petunjuk al-Quran yang diangap valid (qath’iy al-wurud) dan-nyaris juga valid maknanya (qath’iy al-dilalah) seperti jilbab dan potong tangan, dengan yang dukungan-tekstualnya bersifat kontroversial seperti memelihara jenggot, memendekkan celana, bahkan hukum rajam (meskipun hukum rajam sama sekali tak disebut dalam al-Quran).
Kenyataannya, keharusan memakai jilbab-dalam makna pakaian yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan-dan kerudung (khumur) secara eksplisit diungkap dalam al-Quran surat al-Ahzab : 59, “Hai Nabi, katakanlah pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”Namun jika kaum liberal hendak menafsirkan secara lain, tentu diperlukan argumentasi yang valid dan meyakinkan. Hal ini sama tidak berdasarnya dengan sebuah pernyataan bahwa yang lebih esensial adalah keharusan untuk memenuhi standar kepantasan umum dalam berpakaian (public decency). Bahkan, pakar tafsir kenamaan sekaliber Quraish Shihab pun berpendapat demikian berdasar kualifikasi al-Quran sendiri atas ayat jilbab itu-yakni potongan ayat yang berbunyi “kecuali yang (selayaknya) terlihat dari (aurat) itu (illaa maa zhahara minhaa).”
Berkaitan dengan hukuman potong tangan pun ulama mempunyai ragam pendapat, mulai penerapan secara “boros” pemotongan telapak tangan, hingga secara reluctant menjadikan pemotongan dua jari sebagai hukuman maksimal bagi tindakan pencurian yang tak memiliki alasan sah.
Persoalan sekularisasi pemahaman Islam tampaknya bukan lagi hal baru dalam kancah pemikiran Islam Indonesia. Masih hangat dalam ingatan kita tentang perdebatan antara Nurcholis Madjid dan HM. Rasjidi yang tidak pernah berujung.
Sesungguhnya wacana sekularisasi dalam pemikiran Islam tidak sepenuhnya problematic — meski bukan berarti harus diterima — jika maknanya adalah usaha memisahkan unsur-unsur yang sakral dari yang profan, dan mengembalikan unsur-unsur profan ke pangkuan pemikiran yang netral agama. Karena hakekatnya, penyerahan masalah-masalah profan ke wilayah pemikiran keagamaan secara tidak semena-mena justru akan mempersulit diri dan mendorong munculnya sikap-sikap reaksioner dan obskurantis, bahkan dapat menimbulkan suasana yang menyesakkan (suffocating) karena ia dapat “menjamuri” kesemua detil aktivitas hidup kita secara tidak perlu. Jika demikian, untuk apa bersusah payah “menganiaya diri” sendiri dengan pemahaman yang “labil”? Bukankah Allah SWT telah menganugerahi akal bersama-sama wahyu-Nya untuk membimbing kita menuju kebenaran?
Akhirnya harus diakui, bahwa sekularisasi ternyata ada “celah” nya. Karena betapa pun agama meniscayakan penerimaan unsur-unsur tertentu sebagai bersifat sakral, namun bukankah batasan antara sekularisasi dan sekularisme tidak pernah jelas? Sementara persoalan moral dan etika akan selalu terlibat dalam segala aspek kehidupan manusia, di manapun ia berada. Dus, mengapa harus ragu untuk tetap “melibatkan” agama, jika kita yakin bahwa ia merupakan sumber aturan moral dan etika?
Namun, “kecurigaan” bahwa peran agama “hanya” sebatas memberikan aturan-aturan moral dan etika pun tampak terlalu berlebihan. Sebab tidak sedikit teks-teks (nash) keagamaan yang juga berbicara mengenai soal-soal teknis yang menyangkut hukum, politik, ekonomi dan lain-lain. Atau seandainya mungkin dianggap tidak lagi relevan untuk masa kini, toh sebagai kaum pluralis tidak bisa menutup sama sekali “pintu” untuknya. Karena siapa tahu teks-teks keagamaan menyangkut keduniaan itu masih dapat menjadi suatu sumber pemikiran di tengah berbagai sumber pemikiran non-keagamaan yang kenyataannya memang problematis.
Janganlah pernah membutakan mata dan menulikan telinga terhadap ambiguitas yang terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia, khususnya dalam bidang politik, hukum, ekonomi, dan demokrasi yang sedemikian terkoyak-koyaknya.
Banyaknya pelacuran politik anggota parlemen, yang notabene “terpaksa” dipilih oleh rakyat karena mereka dalam partai. Masalah kenakalan perangkat keadilan lainnya seperti polisi, jaksa, dan hakim-hakim. Bahkan perangkat hukum kita yang —entah kenapa — masih mengacu pada hukum tinggalan Belanda sampai hari ini. Belum lagi korupsi dan pungli dalam sektor perekonomian. Parlemen yang diharapkan mengawasi pemerintahan malah banyak anggotanya menjadi calo-calo proyek dan jalan-jalan.
Melihat semua itu, dipastikan banyak rakyat Indonesia merindukan perubahan yang sangat mendasar dalam kehidupan berbangsa ini. Karenanya, sebagai kaum pluralis sepatutnya lebih santun dan terbuka dalam menanggapi maraknya upaya sebagian masyarakat untuk menegakkan syariat Islam sebagai alternatif hukum negara.
Phobia berlebihan yang ditampakkan kaum liberal justru semakin menjauhkan mereka dari bersikap obyektif yang menjadi semangat pemikirannya sendiri, bahkan membunuh perlahan ‘kejujuran intelektual’nya tanpa sadar. Jika demikian, kapan pula kaum — yang mengklaim diri sebagai — inklusif ini akan benar-benar menerima pluralisme di negeri ini?
Pernyataan kaum liberal; “Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi, tanpa memandang aspek beliau sebagai manusia yang banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah)”. Namun, “…kita tidak wajib mengikuti Rasul secara harfiah sebab apa yang dilakukannya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada, dan pendapat bahwa Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara “yang universal” dengan “yang partikular”.
Terdapat dua hal yang absurd dari pernyataan di atas: Pertama, adanya kejanggalan dan ambiguitas makna dari pernyataan “Rasul sebagai vigur panutan”, namun pada saat yang sama mereka justru menganjurkan untuk tidak mengikuti Rasul secara harfiah. Logika berpikir seperti ini jelas bukan sistem berpikir orang beriman. Sebab kalau bukan komunis, sangat boleh jadi sekuler. Tidak sedikitpun ada rasa mahabbah ketika mengurai perihal Nabi SAW. Padahal Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah berada di atas akhlak yang agung” (QS 68 : 4).
Bahkan dengan menggunakan berbagai tolok ukur, para pakar dunia bersepakat untuk mengakui Rasul SAW sebagai manusia teragung yang pernah dikenal dalam sejarah kemanusiaan. Demikian kesimpulan Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes, Hero, Worship And The Heros In History yang menggunakan karakter “kepahlawanan” (heroisme) sebagai tolak ukurnya. Demikian pula Will Durant dalam The Story Of Civilization In The Word dengan tolak ukur “hasil karya” Nabi SAW. Marcus Dodds dalam Muhammad, Budha, and Christ, dengan tolak ukur “keberanian moral”-nya. Nazmeluke dalam Muhammad al-Rasul Waal-Risalah dengan tolak ukur “metode pembuktian sejarah”. Michael Hart dalam bukunya Seratus Tokoh Dunia yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, dengan tolak ukur “pengaruh”, dan sederetan pakar lainnya.
Annie Besant dalam The Life and Teachings of Muhammad, menulis: “Mustahil bagi siapapun yang mempelajari kehidupan dan karakter Muhammad SAW, hanya mempunyai perasaan hormat saja terhadap Nabi mulia itu. Sebab ia akan melampauinya sehingga meyakini bahwa beliau adalah salah seorang Nabi terbesar dari sang Pencipta.”
Tampaknya, perlu kami kemukakan beberapa pandangan tokoh terhadap figur Nabi Muhammad SAW, yang mulia ini, yang sebagian besar disandarkan pada ayat: “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan” (QS 5 : 15).
Al-Qasimy berpendapat yang dimaksud dengan Nur dalam ayat tersebut adalah al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an, yang membuka tirai kegelapan syirik dan keraguan serta daripadanyalah jelas perihal apa yang tersembunyi pada manusia tentang kebenaran, atau dengannyalah jelas kelemahan manusia. Sedangkan Nabi Muhammad yang memberi petunjuk secara gamblang, dan sebagai pelita yang menerangi.
Al-Qurthuby menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Nur dalam ayat tersebut adalah cahaya, ada juga yang mengatakan al-Islam, bahkan ada yang mengatakan Nabi Muhammad SAW.
Al-Maraghy berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Nur adalah Nabi Muhammad SAW. Karena ia diutus untuk memberi penerangan yakni ibarat nur bagi penglihatan. Kedudukannya ibarat pancaran cahaya, yang sekiranya tanpa Nur itu, maka penglihatan akan kabur dan tidak akan mampu menjangkau sesuatu yang terlihat.
Rasyid Ridha mengartikan kata Nur dengan tiga pengertian; pertama Nabi Muhammad SAW, kedua al-Islam dan ketiga al-Qur’an.
Syihabuddin Sayyid Muhammad al-Alusy berpendapat yang dimaksud dengan Nur dalam ayat tersebut adalah cahaya dari segala cahaya, yaitu Nabi Muhammad SAW, Nabi pilihan Allah SWT.
At-Thabary berpendapat bahwa pengertian Nur dalam ayat tersebut adalah Nur Muhammad, yang datang dari Allah SWT. Allah menerangi dengan cahaya kebenaran untuk menenangkan Islam serta menghapuskan syirik. Dia adalah cahaya yang bersuluh dengannya.
Lebih lanjut, An-Nabhani mendasari hubungan Nur Muhammad dengan Allah swt antara lain dengan dalil: “Sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan sebelum segala sesuatu itu Nur Nabi-mu yang berasal dari Nur-Nya (Nur Allah). Sementara Al-Burhanpuri berpendapat, Nur Muhammad adalah makhluk ciptaan Tuhan yang pertama, dengan dasar hadis: “Mula pertama yang diciptakan Allah adalah Nur Nabimu (Nur Muhammad). Dilihat dari sisi kejadian, Nabi Muhammad SAW adalah Nur Zat Allah, dengan demikian ia dapat berhubungan langsung dengan Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang ingin berhubungan dengan Allah yang Qadim, mutlak melalui Nur Muhammad, karena Nur Muhammad memiliki posisi Qadim dan posisi baru.
Al-Qur’an selalu menunjukkan posisi Nabi Muhammad pada maqam yang sangat tinggi, berbeda dengan Nabi dan Rasul lainnya. Sebagai bukti, Allah SWT. menyeru nabi-nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW langsung dengan nama-nama mereka, seperti; “Ya Adam” (Q.S. 2:33, 35; Q.S. 7:19; Q.S. 20:117, 120, 121). “Ya Musa” (Q.S. 5:22, 24; Q.S. 7:115, 117, 134, 138; Q.S. 10:87; Q.S. 20:49, 57, 77; Q.S. 26:52; Q.S. 27:9, 10). “Ya Ibrahim” (Q.S. 19:46; Q.S. 21:62), dan “Ya Isa” (Q.S. 3:55; Q.S. 5:110, 112, 116).
Adapun untuk memanggil Rasulullah SAW, Allah SWT justru menyeru dengan panggilan kemuliaan seperti; “Ya Ayyuha al-Nabiyyu” (Q.S. 8:64, 65; Q.S. 8:70; Q.S. 33:1, 6, 28, 45, 50, 59; Q.S. 60:12; Q.S. 65:1; Q.S.66:1, 9). Atau dengan panggilan “Ya Ayyuha al-Rasul” (Q.S. 5:41, 67).
Sering pula Allah memanggil Rasul dengan panggilan-panggilan mesra, seperti; “Ya Ayyuha al-Muzammil” (Q.S. 73:1). Atau “Ya Ayyuha al-Mudatstsir” (Q.S. 74:1). Kalaupun ada ayat yang menyebut nama Rasul SAW, maka selalu diikuti dengan gelar kehormatan, sebagaimana yang tertera dalam Q.S. 3:144,Q.S. 33:40, Q.S. 48:29, dan Q.S. 61:6
Nyatalah, kedudukan Rasul selalu disejajarkan dengan Allah, sebagaimana yang tersebut dalam surat-surat berikut; Q.S. 3:32, 132; Q.S. 4:59, 69, 80; Q.S. 5:92; Q.S. 24:54. Bahkan dalam beberapa surat, penyebutan nama Allah dan Rasul Muhammad SAW terungkap dalam satu dhamir, seperti dalam surat-surat berikut; Q.S. 9:62, Q.S. 48:8. Kata-kata seperti; yurdhûhu, tu’azziruhu, tuwaqqiruhu dan tasabbihuhu, yang seharusnya menggunakan dhamir mutsanna (bentuk dua) namun ternyata digunakan dhamir mufrad (bentuk tunggal) untuk menunjukkan betapa dekatnya, bahkan tidak dapat dipisahkannya Allah dan Rasulullah SAW. Argumentasi ini diperkuat dengan salah satu hadis Nabi SAW; “Barang siapa yang telah melihat saya, maka sesungguhnya ia telah melihat Allah SWT”.
Kedua, mengenai pandangan tentang belum selesainya pekerjaan Rasul Muhammad SAW di Madinah yang memiliki banyak kendala dan kelemahan, sungguh tidak sulit untuk memahaminya. Sebab di situlah letak tugas penerus Rasul, termasuk ulama dan intelektual, untuk membawa kehidupan pada tujuan penciptaan dengan upaya-upaya ijtihad mereka. Juga mudah dimengerti, karya Rasul merupakan “hasil maksimal” dari negosiasi antara nilai-nilai ideal Islam yang dibawa dengan kenyataan masyarakat Arab di masanya. Karena itu, bersifat historis dan — setidaknya sampai batas tertentu-bersifat partikular dan kontekstual.
Namun, menisbahkannya ketidaksempurnaan itu kepada kekurangan-kekurangan sang Rasul SAW sungguh membutuhkan suatu penjelasan. Dalam sejarah pemikiran Islam, sudah merupakan pandangan mainstream ulama Sunni, dalam kesempatan tertentu Rasul ditegur atau diluruskan oleh Allah. Juga, Rasul disebut-sebut sebagai mengakui kekurangannya sendiri seraya menunjuk orang sebagai lebih tahu darinya dalam hal-hal duniawi (antum a’lamuu bi umuuri dunyakum). Tetapi, tak satu pun di antara para ulama itu yang berpendapat, Rasul bisa salah dalam menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan. Al-Quran secara eksplisit menyatakan hal ini dengan menyebutnya sebagai “tak berkata-kata dari hawa-nafsunya” dan bahwa semua yang disampaikannya dalam hal ini “tak lain adalah wahyu yang diturunkan.” Bahkan, dalam memastikan makna ini, para penafsir bersusah-payah dalam membedakan peran Rasul sebagai-menggunakan istilah al-Quran sendiri — basyar (manusia secara biologis) yang bisa salah dan perannya sebagai Rasul yang ma’shum (infallible).
Pada umumnya, banyak orang terkecoh dengan ketegasan redaksi dan kelembutan bahasa al-Qur’an: “Aku tidak lain kecuali manusia seperti kamu, tetapi aku diberi wahyu….” (QS 18:110). Makna di balik penggunaan kata basyar dan bukan insan dalam ayat tersebut sesungguhnya menjelaskan kesamaan Rasul dengan manusia lain hanyalah pada basyariah-nya (fungsi fisik dan kebutuhannya) dan bukan insaniyah-nya (sifat-sifat dan keagungan). Dengan sifat-sifat yang agung dan universal ini, Allah SWT mengangkat Rasul SAW, sebagai teladan yang baik, untuk dicontoh, ditiru dan ditaati;
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran dihari kemudian” (QS 33:21).
Kebesaran seseorang terletak pada pribadinya yang agung. Kepribadian adalah salah satu bentuk keajaiban dunia. Rasulullah SAW mempunyai keperibadian yang dapat menimbulkan keajaiban di dunia. Rasul mempunyai nilai yang abadi bagi siapa saja yang berada langsung di sekitarnya, dan juga bagi mereka yang datang kemudian. Akan timbul rasa hormat (ta’zhim) yang dalam jangka panjang menghasilkan ketaatan yang pasti. Kepribadian yang agung mengilhami orang-orang lain dengan jiwa dan semangatnya, dan akan mewarnai orang-orang dengan warna dari dirinya. Ia mengubah pikiran-pikiran dan menimbulkan revolusi pemikiran orang-orang sezamannya. Ia menciptakan suatu dasar yang baru bagi kepercayaan-kepercayaan dan perbuatan-perbuatan generasi demi generasi seluruh ummat manusia. Ringkasnya, ia menciptakan langit baru dan dunia baru. Rasul Muhammad SAW memiliki kepribadian seperti itu, dan dalam hal itu, dia satu-satunya. Tidak ada seorang pembaharu lain, Nabi yang lain, bahkan tidak pula seorang manusia yang dianggap jelmaan Tuhan, dapat memperoleh dan menuntut kecintaan, pengabdian dan ketaatan sebagaimana yang diberikan kepada Nabi Muhammad oleh para pengikutnya.
Demikian antara lain kesempurnaan Rasulullah SAW yang dapat diungkap dari berbagai aspek oleh para pakar di bidangnya, meskipun tentu masih banyak sisi-sisi lain yang belum mampu diungkap oleh manusia karena keterbatasannya. Keagungan Rasul SAW, semakin membenarkan keterjebakan kita selama ini dengan kalimat “saya hanya manusia seperti kamu”, tanpa melihat lebih dalam terhadap kalimat selanjutnya, yakni “Yuha”, yang diberi wahyu (oleh Allah SWT). Artinya, meskipun Rasul SAW, adalah benar seorang manusia biasa, namun jangan pernah lupa, bahwa dialah manusia pilihan Allah SWT yang diberi wahyu oleh-Nya dengan segala kelebihan dan keagungannya.ES/MB.
(Disarikan dari ceramah ilmiah, dialog dan makalah Prof. Hamadi bin Husein di PP Sidogiri, 8 Juni2007